Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Thursday, June 2, 2011

Seni: Sebuah Absurdisme Tanpa Apresiasi


Tidak ada hukuman yang lebih mengerikan daripada sekadar pekerjaan yang tak berguna. Ketika Sisifus dihukum Dewa untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar ke puncak sebuah gunung. Dari puncak itu, kemudian, oleh gravitasi, oleh beratnya sendiri batu itu kemudian kembali jatuh ke dasar gunung.1

Adalah sebuah kekonyolan yang sangat repetitif namun sekaligus begitu arif. Atau mungkin sebuah kearifan yang begitu konyol yang sangat repetitif. Sungguh, tak ada istilah yang tepat untuk mengatakan apa yang telah terjadi itu selain absurd.
Jika membuka lelembar kamus leksikan, maka bisa didapat dengan sangat definitif apa itu absurd. Absurd is not reasonable, foolish and ridicoulus.2 Atau secara rinci bisa berarti:
“Absurd is having no rational or orderly relationship to human life: meaningless (an absurd universe). Lacking order or value (an absurd existence). absurdism is a philosophy based on the believe that the universe is irrational and meaningless and that the search for order brings the individual into conflict with the universe”3.
Di sini absurd dapat diterjemahkan sebagai hal yang sungguh tidak rasional dalam hubungannya dengan kehidupan manusia: tiada artinya (alam/dunia absurd). Kurang bermakna atau tidak berharga (eksistensi absurd). Maka absurdisme adalah sebuah filosofi berdasarkan kepercayaan bahwa alam semesta adalah tidak rasional dan tidak berarti dan bahwa pencarian makna membawa seseorang ke dalam konflik dengan alam.
Begitulah, jika merunut kepada bahasa yang lebih tua: Bahasa Latin, maka kata 'Absurd' berasal dari kata 'Absurdus' yang berarti tuli atau bodoh, Ab-surdus.
Dalam sebuah esainya yang berkisah tentang Sisifus, Albert Camus mulai memperkenalkan Absurdisme dalam upaya pencarian makna yang 'sia-sia' oleh manusia, kesatuan dan kejelasan dalam menghadapi dunia yang tidak bisa dipahami, yang tidak memiliki tuhan dan kekekalan.
Lalu, apakah realisasi tentang absurd ini harus selalu dijawab dengan bunuh diri??
Pertanyaan bagus. Namun Camus justru menjawabnya, Tidak. ”Yang dibutuhkan sejatinya adalah pemberontakan dan perlawanan,” ucapnya dalam artikel tersebut4.
Kemudian ia pun membentangkan sejumlah pendekatan terhadap kehidupan yang absurd, dimana bab terakhirnya adalah pembandingannya absurditas kehidupan manusia dengan situasi yang dialami oleh Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk selama-lamanya untuk terus mengulangi tugas yang sia-sia dengan mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu kembali jatuh, dan ia pun harus mendorongnya lagi ke puncak gunung. Lalu jatuh lagi. Begitu seterusnya.
Dalam esainya itu, Camus menyimpulkan bahwa sejatinya perjuangan itu sendirilah yang telah cukup untuk mengisi hati manusia. Lalu, secara radikal, kemudian ia meminta kepada kita untuk tidak membayangkan bahwa Sisifus menderita dengan keadaanya.”Sisifus cukup bahagia,” ucapnya.5.
Esai filsafatnya sendiri terbit pada 1942, yang terdiri atas 120 halaman dengan judul asli Le Mythe de Sisyphe, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Justin O'Brien, yang diterbitkan pada 1955.
Sesuai esai Camus, Sisifus dalam Le Mythe de Sysiphe merujuk dari mitologi yunani karya Homer. Oleh Camus kemudian dideskripsikan sifat-sifatnya secara bijaksana, selalu waspada, namun pada kisah lain ia cenderung menjadi perampok atau pembuat onar.
Hubungannya tentang penculikan Egina, putri dari Aesop, yang membuat para dewa menjadi murka. Pertempuran dengan Dewa kematian. Tentang kesetiaan sang istri yang bertentangan dengan kodrat manusia untuk menguburkan jasadnya, sehingga membuat Pluto memberi ijin kepada Sisifus untuk kembali lagi ke dunia untuk menghukum sang istri, namun Sisifus memberontak pada Pluto Sang Dewa, karena kenikmatan dunia yang akhirnya membuat Sisifus tidak ingin kembali ke alam suram neraka.
Akhirnya Merkurius datang untuk mencabut nyawanya dan ia dihukum kembali di neraka untuk melakukan pekerjaan yang absurd: Mengangkat batu besar keatas gunung, kemudian menggelindingkannya kembali kebawah, untuk selamanya. Pekerjaan yang tidak berguna dan tanpa harapan. Namun pekerjaan yang tanpa harapan itu adalah kemenangannya atas pemberontakannya pada Dewa.
Itulah kebahagiaan dari Sisifus.
Sisifus adalah mitologi yang merupakan metafora dari kehidupan modern saat ini, di mana para pekerja ini tak kalah absurnya dengan kutukan yang dialami oleh Sisifus. Namun ketragisannya hanya muncul di saat mereka sadar akan nasibnya.
Begitu pula di dunia seni. Para seniman terus menerus berkarya apakah itu berupa karya seni rupa, seni pertunjukan, bahkan fotografi dan video art. Membuat suatu karya pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit, karena seniman biasanya lebih mengutamakan idealisme. Bagaikan mengangkat sebuah batu besar ke puncak gunung, namun pada saat sang seniman mempertunjukkan hasil karya kepada apreasiator, di situlah saat-saat dia melihat batu besar itu meluncur ke bawah. Di situlah letak kepuasan, terlebih apabila karya tersebut dihargai oleh orang lain baik secara materi maupun non-materi. Namun setelah selesai, dia harus berkarya lagi, dia harus mengangkat batu itu lagi ke puncak gunung.
Seniman, terutama seniman tradisi di Indonesia, tidak bisa dipungkiri belum sepenuhnya memperoleh penghargaan secara profesional dari pekerjaan mereka. Berbeda mungkin dengan seniman-seniman yang sudah memiliki nama besar dan jam terbang tinggi.
Hal ini tak terkecuali, seniman dari seni pertunjukan, seni rupa, termasuk fotografi. Berbeda halnya dengan apa yang terjadi di luar negeri, khususnya di Eropa, Amerika, dan Australia, kesenian, sangatlah dihargai.
Sekadar informasi saja, seorang seniman pertunjukan tari dari Australia, dia bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp. 3 juta (dikurskan rupiah) untuk 1 jam mengajar atau memberi kursus tari, di negaranya. Sangatlah kontras dengan apa yang terjadi dengan apa yang terjadi di negara kita.
Ada yang tahu gaji pengajar tari di sanggar-sanggar tari yang ada di Indonesia? Setahu saya, untuk sebuah pertunjukan Tari Reog Dhodog, sebuah tarian khas daeah Sonopakis, Bantul saja, untuk sekali pertunjukan dengan pemain dan pengiring musik tradisional sebanyak 15-20 orang, bayaran yang didapat hanya rata-rata sekitar Rp. 600.000,00 sampai Rp. 750.000,00. Berarti setiap pemain maksimal hanya mendapatkan bayaran maksimal sebesar Rp. 37.500,00. Sebuah absurdisme yang sangat tidak berapresiatif.

Footnote
1. Camus, Mite Sisifus, Gramedia, Jakarta, 1999. hal 154.
2. Hornby, A.S, Oxford Advanced Learners Dictionary, Oxford University Press, Oxford, 1995, hlm 8.
3. www.universityofliverpool.com.
4. Albert Camus, 2004 The Plague, The Fall, Exile and the Kingdom, and Selected bisa diakses di http://id.wikipedia.org/.
5. http://id.wikipedia.org//wiki/Istimewa:Sumber_buku.

No comments:

Post a Comment