Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Thursday, December 22, 2011

Labuhan Puro Pakualaman

Ngalap berkah di laut Glagah

Pagi itu (6/12) warga sekitar lokasi objek wisata Pantai Glagah kecamatan Temon terkejut dengan alunan suara seruling serta suara snar drum yang ditabuh seiring dengan derap langkah para prajurit pengawal Lombok Abang dan Bregodo Plengkir yang masing-masing mengapit barisan 3 gunungan yang masing-masing disusun dari Wulu Wetu atau palawija dan hasil bumi lainnya, serta padi sebagai simbol makanan pokok masyarakat Jawa dan kain yang biasa dipakai oleh Paku Alam IX.

Sekitar pukul 08.30, setelah menggelar upacara serah terima tumpeng kepada putra Paku Alam IX, Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Danardono, dengan didahului oleh pembacaan doa, barisan pengusung tumpeng yang berasal dari abdi dalem pakualaman dan abdi dalem Girigondo mulai menuju tepi laut di kawasan Joglo Labuhan Pantai Glagah.

Setidaknya lebih dari 100 orang berbaris rapi dengan menempatkan 3 gunungan serta 1 buah tumpeng dan uba rampe lainnya tepat di tengah barisan. Rombongan itu kemudian berjalan sekitar 2 kilometer dari halaman gedung bekas kantor Pakualaman di kawasan Sanggrahan, Desa Glagah menuju ke Joglo Labuhan hingga akhirnya 3 gunungan dan uba rampe itu dilarung di laut selatan.

Barulah, setelah 2 orang abdi dalem pakualaman turun nyaris beberapa puluh meter dari bibir pantai menembus ombak laut selatan yang sepertinya mendadak meninggi, guna melarung masing-masing bagian dari gunungan yang kemudian dibungkus dengan menggunakan kain putih, masyarakat berebut 3 gunungan dan uba rampe itu. ”Itu namanya ngalap berkah,” terang Mas Rio Wirodarmo, 65, seorang tindih prajurit Pakualaman kemarin (6/12) seusai upacara labuhan.

Upacara labuhan itu sendiri, terangnya, adalah upacara rutin yang digelar tiap tahun, tepatnya tanggal 10 sura. Upacara ini adalah rangkaian dari peringatan bulan sura di keraton Pakualaman. ”Dari peringatan tanggal 1 Sura, dilanjutkan tanggal 10 Sura ini dengan labuhan di Glagah ini,” ujarnya.

Dengan menggelar upacara labuhan itu, pihak Pakualaman berharap selain bisa membuang segala kesialan, lantaran disertakannya sukerto, mulai gari guntingan kuku, rambut hingga beberapa hal lain milik keluarga Pura Pakualaman yang diangggap kotor, juga sebagai wujud ungkapan rasa syukur Pakualam IX beserta keluarga terhadap segala rejeki dan kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka dan seluruh warga Yogyakarta. ”Selain itu, juga sebagai ungkapan rasa ikhlas Paku Alam IX beserta keluarga untuk memberikan segala yang menjadi miliknya kepada Tuhan,” ujarnya.

Begitu pula dengan putra Paku Alam IX (GBPH) Danardono, saat ditemui seusai upacara tersebut, mengatakan bahwa pihaknya secara rutin tiap tahunnya menggelar upacara labuhan itu.

Upacara labuhan itu, dikatakannya sebagai wujud bakti keluarganya terhadap para leluhur. Selain itu, diungkapkannya pula, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua yang telah dilimpahkan. ”Acara ini sebelumnya sempat berhenti selama beberapa tahun namun sekarang mulai dilaksanakan kembali untuk melestarikan tradisi,” ujarnya.

Semenatara 2 orang abdi dalem yang melarung di tengah laut berjuang melawan ganasnya ombak laut selatan, ratusan warga mendadak saling berebut 3 gunungan dan uba rampe yang semula masih digotong oleh beberapa abdi dalem.

Salah satunya adalah Saridah, 65, warga sekitar Makam Girigondo, Desa Kaligintung, Kecamatan Temon. Dengan suara tuanya, Mbah Saridah, sapaan akrabnya, mengatakan mengatakan bahwa upacara Puro Pakualaman tersebut adalah upacara yang selalu dinantinya setiap tahun.

Dengan menunjukkan segenggam hasil bumi yang didapatnya dari berebut dengan ratusan warga lainnya, nenek yang datang ke pantai Glagah bersama rombongan abdi dalem dari Girigondo tersebut berharap bahwa hidupnya akan lebih baik di tahun-tahun mendatang. ”Dari hasil ngalap berkah ini, diharapkan akan membuat hidup saya sekeluarga menjadi lebih baik. Biar tidak rugi, sandal saya ini sampai hilang sebelah,” candanya sambil menunjukkan sandal japit hitamnya yang tinggal sebelah.

Begitu pula dengan pertanian yang menjadi sumber sehari-harinya dalam mendapatkan uang. Dengan mendapatkan beberapa hasil bumi, dirinya percaya, jika itu ditanam, akan bisa meningkatkan hasil produktifitas pertaniannya.”Semoga ini bisa menjadi berkah buat saya,” harapnya.






Tuesday, December 20, 2011

Merti dusun Imorenggo Desa Karangsewu Kecamatan Galur

Perayaan pertama untuk keselamatan bersama


Birunya langit pagi itu (11/12), sekitar pukul 08.00 membuat sinar matahari menjadi sama sekali tak berpenghalang. Namun itu tak membuat 40 orang yang berjalan sekitar 500 meter mengarak sebuah gunungan setinggi 2 meter dan beberapa uba rampe yang diletakkan di atas peti dan dipanggul oleh beberapa pemuda, merasa lelah.

Arak-arakan itu berawal dari sekitar situs Pandan Segegek tepatnya di rumah Sudarwanto, Ketua Wilayah Dusun Imorenggo Desa Karangsewu, Kecamatan Galur ke arah aula dusun Imorenggo, tempat diselenggarakannya acara yang bertajuk Hari Bhakti Transmigrasi dan Merti Dusun yang merupakan salah satu wilayah lokasi transmigrasi lokal tersebut.

Setelah mengikuti serangkaian acara yang dihadiri Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Riyadi Sunarto, Kabid Kebudayaan Disbudparpora Joko Mursito, dan Camat Galur Jazil Ambar Was’an tersebut, maka sekitar pukul 12.00, gunungan dan uba rampe itu diarak kembali dari aula dusun menuju ke tepi laut untuk dilarung.

Dengan membawa sebuah wadah berbungkus kain putih, 6 macam jenang-jenangan, di antaranya termasuk jenang burabari, jenang gecok, dan jenang pancawarna, Sudarwanto, yang didapuk sebagai pemimpin arak-arakan tersebut kemudian berjalan dari pantai menuju bibir pantai.

Ombak pantai selatan yang menyambut kakinya seperti hendak menjemput besek berisi jenang itu. Tanpa menunggu lama, besek itu pun segera dilemparkannya ke gulungan ombak berbuih putih yang ada di depannya itu.

Barulah setelah itu, gunungan dan uba rampe kembali diarak ke aula untuk kemudian diperebutkan oleh warga yang sedari pagi sudah datang berharap bisa mendapatkan satu atau dua hasil bumi yang dipajang pada gunungan itu. ”Kalau di labuhan pada umumnya, warga bisa langsung berebut hasil bumi, tapi di sini lain. Kami hanya mengijinkan warga berebut gunungan dan uba rampe di aula. Bukan di atas pasir pantai ini. Sayang, kalau jatuh di pasir kan makanannya jadi kotor,” ujarnya.

Surati, salah satu warga mengaku puas setelah mendapatkan beberapa hasil bumi dari gunungan dan uba rampe yang diperebutkan itu. ”Saya dapat terong, pare, kacang panjang. Lumayan buat sayur,” canda nenek berusaia 50 tahun itu.

Bahkan demi hasil bumi itu, warga dusun 15 Desa Karangsewu Kecamatan Galur tersebut rela harus terjatuh-jatuh saat berebut dengan puluhan warga lainnya. ”Saya sampai terseok-seok,” ujarnya.

Acara itu sendiri, diakui oleh Sudarwanto, baru pertama kali ini digelar secara besar-besaran. ”Sebelumnya, karena keterbatasan dana, kami hanya menggelar kecil-kecilan saja di rumah warga,” akunya.

Sedangkan pelaksanaannya, diakui oleh transmigran asal Dusun Siliran, Desa Karangsewu, Kecamatan Galur itu biasa digelar setiap 15 Sura. ”Karena kini warga ada rejeki berlebih, acara itu digelar besar-besaran seperti ini,” ungkapnya.

Tanggal 15 Sura, diyakininya merupakan tanggal yang istimewa. Secara spiritual, dirinya mengakui bahwa setiap di tanggal itulah, dirinya merasa bahwa kehidupannya selalu berubah. ”Hidup kami menjadi baru. Dan anehnya, kami merasakannya setiap tanggal 15 Sura itu,” ujarnya.

Merti dusun itu diakuinya adalah salah satu bentuk ungkapan rasa syukur terhadap Maha Pencipta terhadap segala nikmat yang diperoleh seluruh warga khususnya panen yang melimpah.

Selain itu juga merupakan harapan dan doa agar dijauhkan dari dampak-dampak buruk baik yang diakibatkan oleh alam maupun oleh manusia. ”Merti dusun ini sebagai bentuk doa warga kepada Tuhan agar dijauhkan dari dampak-dampak alam dan manusia sehingga tercipta kesejahteraan. Kami juga ingin memupuk dan melestarikan budaya Jawa yang akhir-akhir ini tergeser budaya kebarat-baratan,” ujarnya.

Diakuinya, sesaji atau uba rampe yang diarak dalam merti dusun itu hanya sebagai bentuk mengemas budaya Jawa sebagai seni. Sedangkan permohonan warga tetap ditujukan kepada Tuhan. Prosesi labuhan atau melarung uba rampe ke laut dilakukan karena laut merupakan muara dari semuanya. ”Sehingga semua apa yang menjadi kendala kami simboliskan dibuang ke laut. Jenang yang dilarung enam macam, antara lain jenang burabari, jenang gecko, dan jenang poncowarno. Tadi gunungan tidak diperebutkan di laut karena untuk menjaga keamanan dan agar makanan tidak kotor,” imbuhnya.






Sejumlah sajak tentang namamu

Namamu 1

Segera kupanggil namamu,
tapi senja terus gugur oleh angin,
lalu menjadi peluru yang melesatkan
kilas senyummu, serupa serak daun yang kubersihkan
dari sabana di dadamu

biarkan aku fantasi pada detik beku,
sebab segala ihwal adalah bibirmu
adalah air matamu yang mengeja musimmusim dan waktu
hingga aku terkapar di telapak kaki: kesintalanmu

Jogjakarta, 2011

Namamu 2

begitu mistis, pohonpohon rabun dalam gerimis
ketika detik meledak dalam wirid
matahari dalam bait,
dan namamu,
hanyalah secuil gerhana yang menghidupkan
segala cinta kita: fana

maka, di suatu hari yang kelam
tiuplah sangkakala bersama desah doa
hingga kematian kita,
tak terasa nyata

Jogjakarta 2011

Namamu 3

sisa keringatku, adinda
melekat di leher pualammu
raib, gaib, ketika maut kita saling berpagut
saling bergeletar takut
mungkin hanya namamu yang menyelematkan kita
saat pasir yang getas
menyerahkan jasad kita pada
seratus kesunyian yang begitu lepas

Jogjakarta, 2011

Namamu 4

aku mati bersama rumah kita yang ditelan sunyi
dan bibirmu menyala,
adalah limpahan muara yang dikulum cuaca,
dan kulihat sungai meluap di mata kita
yang selalu sajak di dalamnya tak berhasil kueja

inikah yang kusebut namamu,
ketika mendung mulai terlihat kurus,
dan genangan salju di balik dadamu yang tirus

sebab cinta kita,
hanya dongeng di dasar hutan yang tak pernah terpahamkan

Jogjakarta, 2011

Namamu 5

tembok benteng terasa begitu tebal
pada halimun di matamu yang kekal
karena langit hanya malam
dan langkah kita yang ganjil,
maka pahatkan namamu
pada ingataningatanku yang semu

wahai peziarahku,
aku mengijinkanmu menganyam duka,
meski pada akhirnya kita terasing,
pada apa yang namanya cinta

Namamu 6

sadar, aku sedang berhadapan
dengan senyummu: kenyataan.
fajar dan kesenyapan
yang dibawa jarak dengan kematian
serupa aspal jalanan,
namamu adalah wujud kenangan
yang hanyut dalam selokan

Jogjakarta, 2011

Namamu 7

biar kubingkai biji matamu,
saat kutahbis namamu,
dengan sejumput geludhuk
dan rekah batu menggemuruh
dan maut pelan bergerak
ke arah gelas dengan sisa arak

Jogjakarta, 2011

Namamu 8

mungkin,
aku terlalu luka oleh itu,
seratus kata sunyi, adalah
langkah kita yang terlampau lelah
dan kabut adalah bahasaku,
bahasa cericit manyar, peletik damar,
duh, cinta kita
memang adalah segala

Jogjakarta, 2011

Namamu 9

buang murung dalam senja
dalam matamu,
kerna hanya itu tempat,
untukku mati dengan khidmat,
dan simpan baik ruhku, pada namamu,
sebab segera kuamini rinduku,
menjadi
sebongkah batu

Jogjakarta, 2011

Lestarikan Budaya Lewat Koleksi Topeng

Ekspresi yang muncul serta detail mimik wajah topeng membuat Reno tertarik untuk mengumpulkannya, bahkan hingga mencapai total lebih dari 2000 topeng yang berasal seluruh penjuru Indonesia

Dengan pencahayaan yang temaram, membuat ruang itu semakin tampak suram, apalagi dengan pajangan berbagai pernak pernik etnik semakin memrebakkan suasana suram pada ruangan itu.
Memang, memasuki sebuah ruangan berluas kurang lebih 7 x 7 meter, jajaran barang antik, mulai dari patung-patung besar serupa menhir dan totem tampak berdiri kokh di salah satu sudut ruangan. Sedang di rak-rak yang berada di sudut lain, tampak patung kecil yang mirip boneka-boneka dari suku pedalaman yang terbuat dari berbagai bahan, mulai dari bahan menyerupai fiber, hingga kayu. Selain itu, beberapabuah guci, keramik, yang dilihat dari motifnya adalah motif Tionghoa kuno juga tampak tertata rapi di sudut yang lainnya.
Memandang sekeliling, ada yang akan menarik perhatian, yakni lemari-lemari kaca yang menempel di sepanjang dinding. Dalam lemari itu ada puluhan topeng yang berjajar.
Sambil memandangi jajaran topeng di dindingnya, adalah Reno Halsamer, sang pemilik topeng-topeng itu mencoba menjelaskan satu persatu jenis topeng yang dimilikinya.
Dia mengatakan bahwa secara keseluruhan dia memiliki 3 jenis topeng, yakni Topeng Panji, Kelono, dan Reksangbumi.
Mengenai Topeng Panji, Reno mengatakan bahwa topeng yang satu ini memiliki ekspresi yang menggambarkan pangeran. Untuk ini, dia menurunkan salah satu topeng dengan wajah bulat berwarna putih. Menurutnya, ada semacam kewibawaan seorang pangeran melekat pada pemakainya.
Selain itu dia juga menunjukkan bahwa topeng Panji memiliki ciri khas terdapatnya aksesoris-aksesoris yang menyimbolkan sesuatu. Tapi ketika ditanya mengenai simbol-simbol itu, pria yang juga memiliki bisnis hadycraft di Bali ini mengaku belum mengetahui makna dari simbol-simbol yang terdapat di topeng-topeng miliknya. “Topeng Panji dari Kediri, misalnya, kebanyakan pasti menggunakan daun waru sebagai aksesorinya, tapi saya ga tau apa artinya. Perlu dilakukan penelitian lebih jauh untuk ini”, terang Reno sambil mengelus detail wajah topeng yang ada di tangannya.
Lalu, dia menurunkan sebuah topeng dengan wajah berwarna merah dengan detail dahi yang berkerut-kerut. “Ini lho contohnya Topeng Reksangbumi”, terangnya.
“Sedangkan Kelono lebih mengekspresikan kemarahan”, tambahnya sambil mengembalikan topeng ke tempatnya semula. Dijelaskannya, Topeng Kelono ada yang digambarkan bertaring dan juga ada yang digambarkan berhidung panjang. “Kalau yang hidungnya panjang ini, namanya bapang. Sedang yang ada taringnya, disebut geger”, jelasnya sambil menunjuk salah satu topeng bertaring.
Ekspresi yang muncul dari topeng, serta detail-detail topeng membuat Reno tertarik untuk mengoleksinya. Selain itu juga karena baginya arus modernisasi telah menggerus seniman-seniman tradisional. Hilangnya seniman-seniman itu, disebabkan tidak adanya estafet kepada generasi muda. Inilah yang membuat Reno merasa perlu menjaga kelestarian topeng sebagai aset budaya Indonesia.
Topeng-topeng yang dikoleksi Reno merupakan topeng ritual dan pagelaran yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Perbedaan topeng dari Jawa dan topeng yang berasal dari luar Jawa adalah pada warna wajahnya. Seperti yang dijelaskan Reno bahwa Topeng dari Jawa cenderung lebih bagus, sebab memiliki warna. Sedangkan dari luar Jawa lebih memilih warna asli dari kayunya. “Saya lebih suka topeng dari Jawa. Kalau dari luar Jawa itu ga ada. Jadi kayunya alami. Ga pakai warna”, terangnya.
Topeng ritual sering dipakai oleh penarinya ketika upacara-upacara adat. Sedangkan topeng pagelaran lebih bersifat hiburan. “Ini contoh topeng ritual,mas”, jelasnya sambil menunjuk 2 kotak berkaca yang berisikan masing-masing satu buah topeng dengan wajah berwarna putih dan satunya berwarna kuning.
Ketika ditanya mengenai ciri yang membedakan antara topeng ritual dengan topeng pagelaran, Reno menjelaskan bahwa bentuk topeng ritual cenderung lebih nyeleneh jika dibandingkan dengan topeng pagelaran. “Ini, mas contohnya topeng ritual yang lain, yang lebih serem. Serem kan?”, guraunya sambil menunjukkan topeng barong Bali yang berujud kala (raksasa, red) bersayap.
Dalam pagelaran, topeng juga sering dimanfaatkan sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Ditunjukkannya topeng dengan wajah berwarna putih, dengan memakai aksesori berupa topi kompeni, namun memiliki taring seperti kala.
Berburu Topeng
Dalam memburu topeng-topeng koleksinya, Reno harus berburu ke daerah-daerah yang sulit dijangkau. Dia mengaku bahwa untuk mendapatkan koleksinya, dia harus mencari kolektor-kolektor lain yang berniat untuk menjual koleksinya. Selain itu, terkadang dia tidak bisa menemukan topeng di daerah tempat pembuatannya. Oleh karena itu Reno mengandalkan balai-balai lelang. “Sekarang sudah susah menemukan topeng di daerah tempat pembuatannya. Contohnya Topeng Cirebon aja. Nyari topeng Cirebon pasti susah di Cirebon sendiri. Topeng itu sudah sangat langka di Cirebon. Topeng Malang juga sudah susah ditemukan di Malang”, ungkapnya sambil menurunkan topeng dengan wajah berwarna emas yang diyakininya berasal dari Malang.
Untuk mendapatkan topeng yang benar-benar asli, Reno memanfaatkan pengalaman dan kejeliannya dalam memilih. Tidak bisa dipungkiri, pengalaman mengakrabi topeng selama kurang lebih 10 tahun membuatnya tidak lagi sulit membedakan mana topeng yang asli dan mana yang palsu.
Biasanya dia melihat dari adanya kulit topeng bagian dalam yang menghitam karena tumpukan keringat dan daki dari si pemakainya. “Selain itu, goresan-goresan di dalamnya juga menandakan bahwa topeng itu asli”, tambahnya sambil mengelus-elus bagian dalam topeng.
Dari sekian banyak topeng yang dimilikinya, ada satu topeng yang menurutnya sangat unik. Topeng itu berujud Panji yang memiliki bentuk kepala seperti Buddha. Jadi sepintas tampak seperti patung kepala Buddha. Reno mengaku, yang membuat topeng Budha ini unik adalah bentuknya yang menyerupai Buddha, padahal di Cina sendiri Buddha tidak pernah diwujudkan dalam bentuk topeng. “Ini asli Jawa. Asal tahu saja, di Cina, Buddha tidak dibikinkan topeng, mas.”, akunya.
Karena usia topeng-topeng yang dimiliki Reno cenderung tua, maka tidak heran jika, serbuk-serbuk rayap sering muncul, namun untuk mengantisipasinya, Reno tidak sampai membayar pegawai untuk mengatasinya. Cukup dirinya sendiri yang menyemprot-topeng-topeng itu dengan obat anti rayap, meskipun diakuinya itu tidak sering. Selain itu faktor usia juga mempengaruhi daya tahan kayu topeng itu. Tidak sedikit pula topeng-topeng milik Reno yang patah karena kayunya lapuk.
Ketika ditanya, apakah koleksinya dijual atau tidak. Reno hanya tersenyum. Dia mengaku bahwa baginya mengoleksi topeng bukan untuk bisnis. “Sering orang asing ke sini untuk menanyakan harga topeng-topeng saya. Tapi saya ga bisa kasih. Ya... karena memang tidak dijual”, jelasnya.



Tuesday, August 30, 2011

Malam Lebaran, Bulan di Atas Kuburan


Salah satu puisi yang paling banyak diperdebatkan maknanya adalah “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang. Puisinya cuma sebaris, “bulan di atas kuburan”. Pertama puisi itu sangat pendek. Kedua, malam lebaran yang berarti malam 1 Syawal, adalah saat di mana bulan sama sekali tidak kelihatan.

Dan saya tak ingin memperpanjang debat itu.

Lebaran adalah hari kemenangan, tetapi juga kekalahan; kekalahan bagi yang tak berhasil meningkatkan barang segaris kualitas kemanusiaannya, juga kekalahan bagi yang tak bisa membelikan barang sepotong baju baru untuk anaknya.

Hari kemenangan itu telah menjadi beban, karena terjadi pengeluaran besar-besaran. Ironis, ketika hari kemenangan justru disambut dengan kepanikan, kenaikan harga-harga barang, dan penambahan saldo utang.

Segala hal telah berkiblat kepada kebendaan. Tak ada lagi yang peduli menyelami, apa yang semestinya terjadi di Idul Fitri. Apakah merenungi, menelanjangi jiwa sendiri, atau ke sana ke mari wara-wiri dengan baju baru dan gemerlap perhiasan warna-warni. Mengapa menjelang hari itu segalanya justru menjadi sesak; mall, pasar tradisional, toko sembako, seperti sesaknya dada si fakir yang tak tau harus membelanjakan apa menyambut hari raya, sesak pengap membekap, padahal namanya lebaran, bukan sempitan.

Jika begitu, lebaran memang menjadi bulan di atas kuburan. Pedih, menyayat, sepi, mencekik.

Wednesday, August 17, 2011

Penyair Jerman Johan Wolfgang Von Goethe Dikabarkan Telah Memeluk Islam Sebelum Wafat



Beberapa bulan lalu, karya-karya sastra dunia dan sastrawan terbesar Jerman Johan Wolfgang von Goethe, berkeliling Jawa Tengah. Yang membawanya adalah ahli sastra Indonesia Universitas Bonn yang juga penerjemah seri sastra Jerman, Berthold Damshäuser, didampingi sastrawan perempuan yang baru kembali dari Jerman, Dorothe Rosa Herliany, dan penyair Susiawan Leak.

Rangkaian pembacaan dan diskusi sajak-sajak karya Goethe ini dilangsungkan di Universitas Sunan Muria Kudus, Universitas Diponegoro Semarang, Taman Budaya Surakarta Solo, dan Pondok Pesantren Tegolrejo. Acara berlangsung saat-saat peringatan Maulud Nabi.

Apa hubungannya peringatan Maulud Nabi, pesantren dan penyair Jeman? Simaklah sajak ini:

“Jika ada yang murka karena Tuhan berkenan. Berkati Muhammad kebahagiaan dan lindungan, Sebaiknya dia pasang tambang kasar. Pada tiang rumahnya yang terbesar. Biar ikatkan diri di sana! Tali itu cukup kukuh. Akan ia rasakan murkanya meluruh.”

Anda tidak salah. Ini adalah karya penyair romantik Jerman Johan Wolgang von Goethe, yang lahir tahun 1749, dan meninggal tahun 1832. Judulnya, Sabda Sang Nabi atau Der Prophet Spricht. Dan yang disebut-sebut memang benar adalah Muhammad SAW, Nabi umat Islam.

Tanpa banyak kita tahu, Goethe, sastrawan terbesar Jerman adalah manusia yang sangat dekat dengan Islam. Bahkan ia tak menolak ketika orang mengganggapnya sebagai seorang Muslim. Seperti dikatakan penerjemah karya-karyanya, Berthold Damshäuser. Damshäuser menyebut, Goethe pernah mengaku bahwa ia merasa lebih dekat dengan agama Islam daripada agama Kristen.

Damshäuser mengaku bangga bahwa tokoh budaya Jerman adalah seorang seperti Goethe, tapi lebih bangga lagi bahwa bangsa Jerman tidak pernah ada masalah karena Goethe mengaku jauh dari agama Kristen yang dianut sebagian besar rakyat Jerman, dan justru lebih dekat dengan agama “asing”. Ini sebuah pertanda baik bagi bangsa Jerman.

Tak sedikit yang menganggap Goethe memang memeluk Islam, selain dipandang sebagai salah satu perintis utama dialog Islam dan Barat. Tentu bukan oleh satu puisinya Sabda Sang Nabi tadi, melainkan oleh banyak sekali karya, seperti sajak Kitab Kedai Minuman atau Das Schenkenbuch:

“Apakah Al-Quran abadi? Itu tak kupertanyakan! Apakah Al-Quran ciptaan? Itu tak kutahu! Bahwa ia kitab segala kitab, sebagai muslim wajib kupercaya. Tapi, bahwa anggur sungguh abadi, Tiada lah ku sangsi; Bahwa ia dicipta sebelum malaikat, mungkin juga bukan cuma puisi. Sang peminum, bagaimanapun juga, Memandang wajahNya lebih segar belia.”

Di sajak ini kita menyimak ungkapan penyerahan diri kepada Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam, sekaligus juga pemujaannya terhadap anggur. Bahkan menyiratkan bahwa penikmatan sejati terhadap anggur, justru mampu membawa pada religiusitas sejati pula. Suatu sikap yang banyak ditemukan dalam sufisme Islam.

Damshäuser juga menegaskan bahwa Islam yang dikenal, didalami, dan dikagumi Goethe memang Islam yang damai, sejuk, jernih, terbuka. Bukan jenis yang diperlihatkan oleh kaum yang kaku, radikal, penuh penghakiman dan pemarah, sebagaimana banyak muncul beberapa belas tahun belakangan ini.

Islam yang indah, sikap keagamaan yang indah pula. Itulah yang tampak pada Islam dalam sajak-sajak Goethe. Misalnya lagi, sajak Wasiat:

“Tiada makhluk runtuh jadi tiada! Sang abadi tak henti berkarya dalam segala, Pada sang Ada lestarikan diri tetap bahagia! Abadilah ia: karena hukum-hukum suci. Melindungi khasanah-khasanah hayati, Dengan semesta menghias diri. Kebenaran sejak lama silam ditemukan, Telah pula mempertemukan ruh-ruh mulia. Kebenaran azali itu, peganglah dalam genggaman! Kau, putra bumi, bersyukurlah pada sang Bijaksana. Yang tunjukkan jalan bagi bumi tuk kita mentari”

Menurut Damshäuser, Wasiat merupakan salah satu puisi yang cukup sulit dipahami, namun dianggap penting dan mewakili kepemimpinan Goethe. Ditulis ketika di Eropa muncul pemikiran skeptis. Puisi yang mengajak pembaca memasuki segi-segi keimanan dalam diri masing-masing.

Tetapi bisa jadi sebagian besar karya Goethe memang tergolong sulit, jika bicara tentang upaya alih bahasanya. Terlebih penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, yang berbeda sama sekali akarnya dengan Bahasa Jerman.

“Karya-karya Goethe cukup sulit karena puisinya punya ciri khas metrum jadi irama tertentu dan rima akhir agak sulit. Dan kadang-kadang tidak berhasil untuk mentransfer rama khas itu dengan rima akhir yang sama ke dalam Bahasa Indonesia. Itu pekerjaan yang rumit. Proses yang cukup pelik dan panjang,” dikatakan Berthold Damshäuser, mengisahkan perjuangannya mengalihbahasakan karya-karya Goethe ini.

Karya-karya Goethe ini sebetulnya tahun 2009 lalu pernah pula dikelilingkan ke beberapa kota lain di Indonesia. Namun kembali ditampilkan, kali ini di Jawa Tengah, karena karya-karya unik Goethe terkait Islam. Dan sebagai salah satu perintis dialog Timur Barat, membuatnya selalu perlu untuk terus diperkenalkan ke kalangan lebih luas.

Dikatakan Berthold Damshäuser, “Johan Wolfgang von Goethe adalah seorang penyair, penulis prosa, dramawan, bahkan pelukis dan penemu. Dianggap sebagai sastrawan terbesar Jerman, sehingga namanya diabadikan sebagai pusat kebudayaan Jerman di seluruh dunia. Ia juga dianggap salah satu sastrawan periode Romantis yang paling berpengaruh di seluruh dunia.

Perjalanan Goethe melintasi tanah Arab dan Persia membuatnya terpukau pada kebudayaan Timur, dan membawa Goethe pada ketertarikan kuat untuk mempelajari Islam. Hingga di tahun 1815 tercipta kumpulan puisi Diwan Barat Timur. Salah satu karya penting dari sastrawan penting dunia yang mempertemukan Timur dan Barat dalam suatu dialog. Sebagaimana muncul dalam sajak Mukadimah Diwan.

“Yang kenal diri juga sang lain. Di sini pun kan menyadari:Timur dan Barat berpilin. Tak terceraikan lagi. Arif berayun penuh manfaat. Di antara dua dunia; Melanglang timur dan barat. Mencapai hikmah mulia.”

“Andai sang mata tiada bersifat mentari, mentari tak sanggup dilihat olehnya; Andai dalam diri tiada daya Ilahi, Bagaimana keilahian sanggup birahikan kita?”

Karya-karya yang dibacakan dan didiskusikan di Jawa Tengah itu dipetik dari terjemahan sajak-sajak pilihan Goethe dengan judul Diwan Barat-Timur. Ini merupakan seri puisi Jerman ke-4 dalam versi Bahasa Indonesia. Sebelumnya telah terbit kumpulan pilihan karya Paul Celas, Rainer Maria Rilke dan Berthold Brecht. Terakhir telah terbit pula kumpulan pilihan karya Hans Magnus Enzensberger, dan sebentar lagi akan terbit kumpulan pilihan karya Nietszche

Tuesday, July 26, 2011

DIREKTORAT KESENIAN | DIREKTORAT JENDERAL NILAI BUDAYA, SENI, DAN FILM | KEMENTRIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA | LOMBA KRITIK SENI 2011

PENJELASAN UMUM
Lomba kritik seni yang dimaksud adalah:
a. Lomba mengeritik karya seni dalam bentuk tulisan berupa tinjauan logis, etis, artistik, dan estetik sehingga terpampang keharmonisan atau kerancuan karya seni menurut referensi yang menjadikan acuan dalam mengeritik.
b. Orientasi kritik dalam melihat suatu obyek karya seni dari berbagai aspek, misalnya aspek tematik, estetik, dampak sosial, diseminasi, manajemen seni, dan lain-lain.

KETENTUAN TEKNIS
a. Lomba ini terbuka untuk umum serta tidak dipunggut biaya.
b. Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu tulisan.
c. Tulisan menggunakan bahasa Indonesia dengan mengikuti kaidah tata bahasa baku Bahasa Indonesia.
d. Panjang tulisan tidak dibatasi, menggunakan jenis huruf Arial 12 pt, spasi 1,5.
e. Tulisan dalam bentuk softcopy dikirim ke alamat e-mail:
lks2011@situseni.com dan di-cc ke e-mail: lks2011ditseni@yahoo.co.id, dengan ketentuan penulisan nama file sebagai berikut LKS-Nama Peserta-Judul Tulisan.
f. Masa pengiriman tulisan berlangsung dari tanggal 1 Juli-7 Agustus 2011.
g. Penilaian oleh Dewan Juri dilakukan pada tanggal 18 -31 Agustus 2011.
Pengumuman pemenang pada bulan September 2011 melalui website www.situseni.com dan e-mail kepada pemenang.

OBYEK KRITIK
a. Obyek kritik adalah karya seni dari berbagai cabang seni [ rupa, sastra, teater, tari, musik, film]. Ciptaan seniman Indonesia dalam kurun 5 tahun terakhir.
b. Guna memudahkan identifikasi terhadap obyek [karya seni] yang dikritik, para peserta harus menyertakan penjelasan rinci mengenai identifikasi karya seni yang dijadikan obyek kritik tersebut. Contoh dibalik flyer ini atau dapat dilihat dan diunduh di website www.situseni.com

ASPEK PENILAIAN
a. Orisinalitas.
b. Ketajaman analisa.
c. Alternatif solusi yang ditawarkan dalam melahirkan karya seni yang mampu menjadi tontonan sekaligus tuntunan.

JURI DAN HAK CIPTA
a. Dewan Juri adalah penulis dan kritikus seni.
b. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
c. Hak cipta tetap pada penulis. Namun Panitia berhak untuk menggandakan dan mereproduksi untuk keperluan pembuatan buku dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan tetap mencantumkan nama penulis.

PENGHARGAAN
Lima tulisan kritik terbaik, masing-masing akan mendapatkan piagam penghargaan dan uang masing-masing sejumlah Rp. 10.000.000 [pajak ditanggung pemenang].

Wednesday, June 29, 2011

Lomba dan Pameran Foto Kebudayaan Indonesia 2011

Petunjuk Teknis
Memperebutkan Piala Presiden dan Uang Pembinaan


A. Latar Belakang

Kebudayaan merupakan karakter dan jati diri bagi setiap bangsa. Bangsa Indonesia memiliki keragaman budaya yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote dengan keunikan dan identitas masing-masing. Keragaman Budaya tersebut harus didokumentasikan dan dipublikasikan kepada masyarakat sehingga timbul peduli untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan.

Lomba dan Pameran Foto Kebudayaan Indonesia merupakan wahana yang efektif dalam mendokumentasikan dan mempublikasikan hasil-hasil kebudayaan. Foto di samping sebagai alat dokumentasi juga sebagai media komunikasi visual mempunyai peran yang sangat penting dalam penyebarluasan informasi.

B. Tujuan
1. Memberikan ruang ekspresi dan apresiasi kepada masyarakat pecinta fotografi untuk dapat meningkatkan kreativitas dalam pengambilan objek budaya.
2. Mendorong tumbuhya rasa cinta terhadap hasil budaya bangsa Indonesia baik yang diwariskan nenek moyang , maupun yang sedang berkembang saat ini.
3. Menginventarisasi dan mendokumentasikan keragaman budaya Indonesia yang tersebar di 33 provinsi.
4. Memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat tentang keanekaragaman budaya bangsa Indonesia.

C. Tema

“Wonderful Indonesia”

D. Kategori Peserta Lomba
1. Pelajar
2. Mahasiswa
3. Umum

E. Ketentuan Umum:
1. Lomba ini terbuka untuk pelajar, mahasiswa, dan umum, Warga Negara Indonesia;
2. Tidak dipungut biaya;
3. Karya foto yang dikirim adalah karya ciptaan sendiri, belum pernah dipublikasikan di media cetak skala nasional dan belum pernah memenangkan penghargaan dalam lomba fotografi tingkat nasional atau internasional;
4. Foto yang diikutsertakan dalam lomba adalah hasil foto yang benar-benar dari pemotretan baik menggunakan kamera digital atau kamera analog (kamera film);
5. Peserta diberikan kebebasan dalam memilih objek hasil-hasil kebudayaan bangsa Indonesia yang tersebar di seluruh tanah air;
6. Setiap peserta diperbolehkan mengirimkan maksimal 5 buah karya foto;
7. Olah digital diperbolehkan, sebatas perbaikan kualitas foto tanpa merubah keaslian objek (sharpening, cropping, color balance, dan saturasi warna);
8. Tidak diperbolehkan mengirimkan foto berupa kombinasi lebih dari satu foto atau menghilangkan/mengubah elemen-elemen dalam satu foto;
9. Setiap foto harus dilengkapi identitas diri peserta seperti: kategori, nama fotografer, judul foto, alamat, nomor telepon/hp, e-mail atau secara terpisah dilampiri diskripsi karya dan fotokopi identitas diri seperti kartu pelajar, kartu mahasiswa, KTP, SIM atau surat keterangan lainnya;
10. Hak cipta melekat pada fotografer, namun Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata diberikan hak untuk mempublikasikan semua foto yang masuk ke Panitia untuk kepentingan non-komersial tanpa harus ijin dari pemiliknya. Panitia dibebaskan tuntutan pihak III bila foto digunakan untuk kepentingan komersial;
11. Foto yang dikirim ke Panitia tidak dikembalikan dan menjadi koleksi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata;
12. Tata cara/prosedur pengiriman karya:
Karya foto diperkecil (resize) dengan ukuran sisi terpanjang 1024 pixel, disimpan dalam JPG skala 6, dan dikirim ke Panitia melalui e-mail dengan alamat: lombafotonasional2011@senimedia.org / lombafotonasional2011@gmail.com
13. Pengiriman karya dimulai bulan Juni 2011 dan ditutup tanggal 29 Juli 2011 pukul 19.00 WIB;
14. Dengan mengirimkan karya foto berarti peserta telah dianggap menyetujui semua persyaratan yang telah ditetapkan oleh Panitia;
15. Panitia berhak mendiskualifikasi peserta sebelum dan sesudah penjurian apabila dianggap melakukan kecurangan;
16. Seleksi karya untuk memilih 30 nominator, yang terdiri dari 10 foto kategori pelajar, 10 foto kategori mahasiswa, dan 10 foto kategori umum, pada tanggal 1 Agustus 2011;
17. Para nominator akan diundang ke Jakarta untuk mengikuti workshop dan hunting pemotretan pada tanggal 16 – 17 Agustus 2011;
18. Panitia akan menanggung biaya transportasi peserta (dari daerah asal ke Jakarta P.P.) yang terpilih sebagai nominator, transportasi lokal, akomodasi dan konsumsi selama mengikuti workshop dan hunting pemotretan di Jakarta.
19. Pengumuman pemenang pada tanggal 17 Agustus 2011;
20. Penyerahan hadiah pada tanggal 18 Agustus 2011;
21. Pajak (PPh) hadiah ditanggung pemenang;
22. Keputusan dewan juri mutlak tidak dapat diganggu gugat;
23. Panitia akan memilih 40 karya foto terbaik dari setiap kategori yang layak untuk dipamerkan bersama dengan 30 karya nominator, pemenang Lomba Cipta Seni Pelajar, dan karya-karya foto undangan;
24. Pameran akan dilaksanakan pada tanggal 18 – 20 Agustus 2011 di Jakarta;
25. Untuk informasi Lomba peserta dapat mengunjungi Website: www.senimedia.org
26. Koordinasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Pustanto telp. 021 – 5725561, 0811831866.
Yusuf Hartanto telp. 08176011066 atau
Subdit Seni Media, Direktorat Kesenian Gedung “E” Lantai 9, Komplek Kemendiknas.
Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta 10270. Telepon/faksimili: (021) 5725561, 5725534

F. Hadiah
1. Pelajar mendapatkan hadiah:
o Juara I: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 10.000.000
o Juara II: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 5.000.000
o Juara III: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 4.000.000
o Harapan I: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 3.000.000
o Harapan II: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 2.000.000
2. Mahasiswa mendapatkan hadiah:
o Juara I: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 15.000.000
o Juara II: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 8.000.000
o Juara III: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 6.000.000
o Harapan I: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 4.000.000
o Harapan II: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 2.000.000
3. Umum mendapatkan hadiah:
o Juara I: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 20.000.000
o Juara II: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 10.000.000
o Juara III: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 7.500.000
o Harapan I: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 5.000.000
o Harapan II: Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 3.000.000

G. Kriteria Penilaian
• Kesesuaian Tema (isi foto)
• Daya tarik
• Keunikan
• Harmonisasi

H. Juri Lomba
1. Arbain Rambey (Fotografer, Editor Foto Kompas, Jakarta)
2. Darwis Triadi (Fotografer dan Dosen, Jakarta)
3. Ferry Ardiyanto (Fotografer dan Dosen Universitas Trisakti, Jakarta)
4. Goenadi Haryanto (Fotografer dan Dosen, Jakarta)
5. Sri Bimo Seloaji (Fotografer, Jakarta)

LOMBA PENULISAN WARTAWAN THE 19TH INDONESIA INTERNATIONAL MOTOR SHOW

Lomba penulisan wartawan merupakan salah satu acara pendukung pameran Indonesia International Motor Show, yang merupakan satu-satunya pameran otomotif dengan level internasional di Indonesia. Lomba ini ditujukan kepada insan pers baik cetak, online, maupun elektronik yang karyanya tentang industri otomotif sesuai dengan tema yang telah ditetapkan oleh panitia. Karya yang dilombakan adalah tulisan atau liputan yang telah dipublikasikan di media bersangkutan.

LATAR BELAKANG TEMA
Tema Lomba Penulisan Wartawan tahun ini adalah mengenai pameran The 19th IIMS secara umum dengan sub tema IIMS menuju Sustainable Green Technology yang merupakan ajakan kepada semua orang untuk lebih menyadari dan berkewajiban untuk menjaga lingkungan hidup dengan berbagai cara. Dewasa ini, berbagai upaya diterapkan dalam penggunaan teknologi ramah lingkungan, mulai dari teknik produksi kendaraan bermotor, pencarian sumber-sumber energi baru selain bahan bakar fosil, serta pola hidup dalam berkendara. Selain itu, pendidikan dan penyebaran informasi mengenai upaya-upaya ramah lingkungan juga merupakan bagian yang penting dalam rangka meningkatkan partisipasi seluruh pihak dalam menjaga lingkungan kita.
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
SUB TEMA
1. Teknologi hijau yang berkelanjutan
2. Penggunaan teknologi ramah lingkungan
3. Teknik produksi kendaraan bermotor rendah emisi
4. Pencarian sumber-sumber energi baru selain bahan bakar fosil
5. Pola hidup dalam berkendara
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
ELEMEN KARYA
1. Deskripsi masalah
2. Analisis masalah
3. Alternatif penyelesaian/posisi penulis atas masalah
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
KRITERIA DAN BOBOT PENILAIAN
1. Gagasan - originalitas/kebaruan gagasan - bobot 30% (tiga puluh persen)
2. Fakta - kelengkapan dan keakuratan data dan fakta yang tercantum - bobot 20% (dua puluh persen)
3. Struktur - struktur penulisan yang sistematis - bobot 20% (dua puluh persen)
4. Bahasa - pemakaian kata (terutama ketepatan terminologi), tata bahasa, logika bahasa, gaya bahasa, dan kesesuaian penulisan dengan ejaan yang disempurnakan - bobot 20% (dua puluh persen)
5. Gaya Penulisan - pendekatan dalam melihat masalah, gaya pembahasan masalah, serta sifat menarik dan enak dibaca - bobot 10% (sepuluh persen)
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
DEWAN JURI
1. Masmimar Mangiang, Dosen Komunikasi UI
2. RR. Ukirsari Manggalani, Text Editor National Geography
3. M.Teguh Surya, Kepala Dep. Hub. Internasional & Keadilan Iklim WALHI

PESERTA
Wartawan media cetak dan online
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
SYARAT-SYARAT KEIKUTSERTAAN
1. Tulisan atau siaran pernah dimuat di media masing-masing dalam kurun waktu 5 April 2011 sampai dengan 4 Agustus 2011
2. Formulir pendaftaran dan seluruh materi hardcopy dimasukkan ke dalam amplop coklat berupa :
3. Print out naskah tulisan tanpa jilid sebanyak (7 buah)
4. Bukti pemuatan tulisan (1 buah)
5. Kliping artikel di atas kertas putih ukuran A4
6. Fotokopi KTP/SIM yang masih berlaku (1 buah)
7. Fotokopi kartu pers (pers ID) yang masih berlaku (1 buah)
8. Daftar riwayat hidup singkat (1 buah)
9. Foto 4x6 (1 buah)
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
Materi dalam bentuk hardcopy dapat dikirimkan ke :
PT Dyandra Promosindo - Public Relations Division
u.p. Mariana Ulfah
The City Tower 7th Floor,
Jl. M.H. Thamrin No. 81 Jakarta Pusat 10310

Formulir pendaftaran dan seluruh materi softcopy berupa :
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
1. Naskah tulisan dalam format pdf atau Word
2. Bukti pemuatan tulisan, antara lain artikel dalam format pdf atau Word
3. KTP/SIM yang masih berlaku dalam format jpg
4. Kartu pers (pers ID) yang masih berlaku dalam format jpg
5. Daftar riwayat hidup singkat
6. Foto diri dalam format jpg
Materi dalam bentuk softcopy dapat dikirimkan melalui email ke :
iims@indonesianmotorshow.com atau febrianto@dyandra.com
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
FORMAT PENULISAN
1. Isi tulisan atau naskah siaran harus sesuai dengan tema yang telah ditetapkan
2. Tulisan dapat berupa feature, indepth report, dan artikel opini, dengan volume naskah (baik untuk naskah suratkabar, majalah, maupun online media) minimum 500 kata atau 3.300 karakater
3. Tulisan ditulis dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ragam dan kaidah bahasa Indonesia
4. Tulisan diketik 1½ spasi, tipe huruf arial point 14 (untuk judul) dan arial point 12 (untuk teks naskah), ukuran kertas A4, margin semua sisi 2 cm
5. Cantumkan halaman di sudut kanan bawah kertas
6. Tulisan adalah hasil karya sendiri dan tidak/belum pernah diikutsertakan dalam lomba atau sayembara penulisan lain
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
INFORMASI TAMBAHAN
1. Peserta lomba diwajibkan untuk mengisi formulir pendaftaran dan menyerahkannya bersama dengan berkas tulisan yang diserahkan kepada penyelenggara lomba
2. Peserta dapat mengirimkan lebih dari 1 tulisan yang sesuai dengan persyaratan yang ditentukan
3. Tulisan diterima oleh panitia selambat - lambatnya pada hari Jumat, 5 Agustus 2011, pk. 16.00 WIB

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi :
Mariana Ulfah (Nana)
HP. 081283634215, 08816617159,
Telp. 31996077 ext. 333/335,
email : iims@indonesianmotorshow.com
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
Febrianto Kurniawan (Obbie)
HP. 0856 813 5657
Telp. 31996077 ext. 360
email : febrianto@dyandra.com

Pemenang akan diumumkan di website indonesianmotorshow.com pada hari Sabtu, 13 Agustus 2011.
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
Hasil keputusan penilaian juri adalah mutlak, tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan komunikasi/konfirmasi tentang hasil akhir penjurian
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
Seluruh tulisan yang diterima oleh panitia tidak dapat dikembalikan
Info Lengkap di : http://infolombaku.blogspot.com/
HADIAH DAN PENGHARGAAN
1. Juara 1 : Satu (1) unit sepeda lipat, uang tunai Rp 6.000.000, (enam juta rupiah), dan piagam penghargaan
2. Juara 2 : Uang tunai Rp 6.000.000, (enam juta rupiah), dan piagam penghargaan
3. Juara 3 : Uang tunai Rp 5.000.000, (lima juta rupiah), dan piagam penghargaan

http://infolombaku.blogspot.com/2011/04/lomba-wartawan-agustus-2011-19th.html

Monday, June 27, 2011

Lomba Cerpen dan Puisi

Lomba menulis naskah cerpen dan puisi tentang "SEPTEMBER"

September, adalah bulan yang penuh suka cita untukku. Ada banyak cerita yang berlabuh dan menyisakan segaris senyum di balik bibirku. Aku pernah memiliki dan kehilangan di bulan penuh cinta itu. Pun pernah tersenyum juga meratap pada bulan yang selalu hadir di tiap tahunku. Dan pada akhirnya, aku ingin September memberikan warna pelangi untukku.
Tahun ini aku ingin menyambut September dengan mengundang para sahabat untuk membuat cerpen atau puis bertema september, dengan ketentuan :

Cerpen :

1. Cerita boleh Fiksi/Non Fiksi berisi tentang apa saja yang berhubungan dengan September, boleh tentang cinta, persahabatan, misteri atau hal lainnya.
2. Naskah diketik di Mic. Word 2003/2007 dengan format TNR12, spasi 1,5. Minimal 4 halaman dan maksimal 10 halaman.
3. Gunakan kalimat yang ringan dan mudah dipahami, dengan tetap memperhatikan EYD dan kaidah penulisan yang berlaku.
4. Kirim naskah ke alamat email : antologi.gado2@gmail.com, dengan format SEPTEMBER_NAMA PENGIRIM_JUDUL.
Contoh : SEPTEMBER_ANI_SEPTEMBER YANG BIRU.
5. Melengkapi naskah dengan biodata narasi maksimal 250kata lengkapi dengan prestasi yang dimiliki, nama lengkap, nama pena dan alamat FB (bila memiliki FB) atau alamat blog (bila hanya memiliki blog)
6. Memposting info Undangan ini di Note FB/Blog masing-masing (hanya info Undangan ini dan bukan cerpen/puisi yang dikirim) dengan meng-tag 20 nama sahabat.

Puisi :

1. Wajib mencantumkan kata September.
2. Puisi diketik di Mic. Word 2003/2007 dengan Format TrebuchetMS 12, Spasi 1,5.
3. Jumlah kata maksimal 300 kata.
4. Kirim naskah ke alamat email : antologi.gado2@gmail.com, dengan format SEPTEMBER2_NAMA PENGIRIM_JUDUL.
Contoh : SEPTEMBER2_ANI_RIAKKU DALAM SEPTEMBER.
5. Melengkapi naskah dengan biodata narasi maksimal 250kata lengkapi dengan prestasi yang dimiliki, nama lengkap, nama pena dan alamat FB (bila memiliki FB) atau alamat blog (bila hanya memiliki blog).
6. Memposting info Undangan ini di Note FB/Blog masing-masing (hanya info Undangan ini dan bukan cerpen/puisi yang dikirim) dengan meng-tag 20 nama sahabat.

Ketentuan lainnya :
1. Naskah ditunggu paling lambat 10 Juli 2011 jam 18.00 WIB.
2. 20 Naskah cerpen dan 50 buah puisi terpilih akan diusahakan untuk diterbitkan di penerbit major. Atau bila tidak memungkinkan, akan diterbitkan secara indie.
3. Jika naskah cerpen dan puisi akhirnya diterbitkan di penerbit indie, maka kontributor tidak mendapatkan royalti, akan tetapi 10 naskah terbaik akan mendapat masing-masing 1 eksemplar buku.
4. 3 Naskah terbaik utama akan mendapat hadiah berupa bingkisan buku dan pulsa yang nominalnya akan diberitahukan lebih lanjut.

Thursday, June 9, 2011


Judul : Mozaik Ingatan
Penulis : Agus Budiawan, Arief Junianto, Eko Darmoko, Finsa E Saputra, FLSF Risang Anom Pujayanto, Itok Kurniawan, Rangga Agnibaya
Tebal : viii + 141 hlmn
......Harga : Rp. 35.100,-
ISBN : 978-602-8597-70-8

Sinopsis:

Buku ini menghimpun beberapa cerpen dari tujuh penulis yang tergabung dalam komunitas CDR. Keseluruhan cerpen yang termaktub dalam Mozaik Ingatan semuanya pernah dipublikasikan media massa mulai dari surat kabar Radar Surabaya sampai dengan Kompas. Cerpen-cerpen terpilih dalam buku ini memperlihatkan perjalanan panjang proses kreatif para penulis yang masih melakukan pencarian bentuk penceritaannya secara terus-menerus.

Keempat belas cerpen yang terkumpul dalam tajuk kumpulan cerpen ini didasarkan pada asumsi: adanya keinginan mendokumentasikan cerpen-cerpen yang tersebar di beberapa media massa. Cerpen-cerpen yang berserakan di halaman media massa tersebut telah menjadi seperti ingatan-ingatan yang berserakan di tempat-tempat terpencil. Ini sekaligus sebagai upaya untuk menyatukan ingatan-ingatan tersebut dalam sebuah ruang bagi keutuhan membaca

Thursday, June 2, 2011

Lagu Daerah Dan Globalisasi


Rek ayo rek,
Mlaku-mlaku nang Tunjungan.....


Tidak asing tentunya, bagi masyarakat Surabaya dengan lagu itu. Hingga kini, lagu itu memang masih sangat dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat Surabaya sebagai salah satu dari sekian banyak lagu yang merupakan lagu daerah asal Surabaya.
Memang lagu itu mengandung semangat kedaerahan yang cukup kental, mulai dari pemakaian diksi yang berlogatkan Surabaya hingga lirik yang menggambarkan semangat Arek-Arek Suroboyo yang terkenal egaliter.
Sebagai bagian dari perkembangan peradaban, lagu daerah terbilang memegang peranan yang cukup penting. Memang, pada dasarnya, manusia merupakan makhluk yang suka akan keindahan serta keselarasan. Oleh karena itulah, kesenian menjadi hal yang senantiasa menyertai perkembangan peradaban manusia.
Tidak terkecuali juga musik atau tembang. Sebagai salah satu bagian dari kesenian, musik atau tembang merupakan salah satu bagian kesenian yang memang cukup bisa diterima oleh masyarakat. Buktinya, adalah dalam sejarah peradaban manusia, musik menjadi sarana penting dalam upaya aktualisasi diri. Oleh karena itulah tidak heran, jika awalnya, musik muncul sebagai sarana ritual yang bersifat sakral. Hal ini disebabkan bunyi-bunyian yang muncul dari berbagai alat yang diperlakukan secara khusus hingga menimbulkan bunyi, ternyata adalah hal yang menarik sekaligus ‘ajaib’. Inilah yang oleh manusia kemudian dianggap sebagai hal yang bersifat magic. Sejak itu kemudian, bagi sekelompok orang, irama dan nada tertentu dianggap memiliki kekuatan gaib. Sehingga muncul pula
Seiring dengan perkembangan peradaban serta kualitas intelektual manusia, musik pun mengalami banyak sekali metamorfosa. Tidak lagi bermuatan religius dan spritual. Musik menjadi bernuansa lebih profan. Itulah yang memunculkan anggapan bahwa musik itu universal.
Sebagai bagian dari perkembangan jaman, maka era yang oleh masyarakat kini kerap disebut sebagai era modern ini, musik-musik lama yang kerap disebut sebagai musik tradisi dicap sebagai musik kuno dan tidak mampu mengikuti apa kemauan jaman.
Padahal musik tradisi, merupakan identitas asli bangsa ini. Sebab melalui musik tersebut, sejarah dan semangat bangsa tergambar serta dapat dijadikan sebuah motivasi bagi generasi-generasi selanjutnya, sehingga muncul rasa bangga akan bangsa mereka sendiri.
Misalnya, lagu Rek Ayo Rek dan Semanggi Suroboyo yang memang kental dengan nuansa Surabaya. Selain itu juga lagu-lagu dari daerah lain seperti Tanduk Majeng (Madura), Bulan Andung-Andung (Banyuwangi) dan beberapa lagu-lagu daerah lain seperti Bengawan Solo, Gambang Suling, Dondhong Opo Salak, Gundhul Pacul, Lir Ilir, Pitik Tikung, dan lain sebagainya.
Lagu-lagu itu dikatakan sebagai lagu daerah, karena memang kebanyakan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya. Selain itu, jika diperhatikan lebih detail, musik dan irama yang mengiringi lirik-lirik berbahasa daerah tersebut adalah musik dan irama yang bernuansakan etnik serta lokalitas daerah yang bersangkutan.
Inilah yang kemudian menjadi batasan sebuah lagu dapat dikatakan sebagai lagu daerah. Meski tidak bersifat formal, namun batasan ini secara tidak langsunng telah disepakati oleh banyak pihak, mulai dari musisi, pengamat, hingga masyarakat luas. Mereka seperti secara kompak menganggap sebuah lagu bisa dikatakan lagu daerah jika menggunakan bahasa daerah serta diiringi dengan menggunakan musik khas daerah.
Akan tetapi, kemudian muncul perdebatan, khususnya mengenai musik khas daerah. Bagi sebagian pengamat, dengan dalih multikultural yang dimiliki bangsa ini, kemudian mereka menganggap musik tidak bisa lantas dijadikan batasan bagi upaya identifikasi sebuah lagu daerah.
Hal ini disebabkan, di beberapa daerah, musik tentu saja memiliki perbedaan karakter di masing-masing daerah. Memang, tidak bisa disamaratakan, bahwa musik tradisi, khususnya yang ada di Jawa, pasti menggunakan gamelan sebagai instrumennya.
Dijelaskan oleh Sabar, S.Sn, seorang staf pengajar STKW, masing-masing daerah memiliki karakter dan tradisi bermusik yang berbeda-beda. Dicontohkannya, tradisi bermusik daerah Mataraman tentu sudah berbeda daerah Pandalungan. ”Gamelan Mataraman dengan Pandalungan sudah berbeda nadanya. Ini yang membuat kemudian musiknya terdengar tidak sama,” ujarnya.
Ditambahkannya, musik yang mengiringi sebuah lagu daerah selain merupakan hasil kreatifitas musisinya, juga merupakan tradisi yang pasti akan diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya. ”Di Gresik, dan Bawean misalnya. Tradisi musik Duk-Duk tentu akan terus dipakai sebagai identitas lokal daerah mereka. Karena itu sudah menjadi tradisi,” tambahnya.
Selain itu, tidak berbeda dengan pernyataan Sabar, Kukuh Setyo Budi, seorang seniman tradisi juga berpendapat bahwa yang pasti bisa dijadikan batasan lagu daerah adalah hanya aspek bahasa saja. Menurutnya, bahasa daerah yang dipakai seorang musisi dalam lagu-lagunya adalah memang untuk menegaskan bahwa lagu tersebut memang tergolong lagu daerah.
Tuturnya, bahasa daerah merupakan syarat wajib bagi sebuah lagu daerah. Setidaknya, meski tidak seluruh lirik menggunakan bahasa daerah, namun semangat yang mungkin menurut Kukuh bisa dituangkan dalam wujud logat sudah bisa menjadi patron dalam identifikasi sebuah lagu daerah.
Sedangkan musik, baginya yang juga merupakan seorang pencipta lagu daerah, lebih merupakan buah eksplorasi dari seorang musisi. Inilah yang menurutnya, musik yang meruapakan rangkaian dari titi nada tidak bisa dijadikan sebuah batasan bagi sebuah lagu bisa dikatakan sebagai lagu daerah.
Dirinya mencontohkan, pentatonis, sebagai irama yang yang memang mendominasi lagu daerah tidak bisa lantas dijadikan sebagai patokan lagu daerah. Buktinya banyak pula lagu daerah yang memang diciptakan dengan nada dasar pentatonis, bisa dimodifikasi sedemikian rupa menjadi diatonis. ”Dengan tanpa menghilangkan ruh slendro-nya, sebuah lagu daerah bisa lho jadi pelog,” terangnya.
Jadi, sebenarnya, lagu daerah yang memang dikhawatirkan akan luntur ditelan arus modernitas, tentunya tidak akan terjadi. Apalagi melihat kondisi sekarang, yang memang sudah banyak bermunculan lagu-lagu dengan mengangkat tema lokal kedaerahan masing-masing, menunjukkan indikasi bahwa lagu-lagu daerah semakin banyak peminat dan pendengarnya. Ini mirip dengan optimismedari musisi dan pencipta lagu Jawa, Didi Kempot. ”Lagu daerah masuk industri musik, kenapa engga?” ujarnya.

Sang Penulis


Raung sirine ambulans yang diikuti oleh kelip lampu dari atap mobil patroli polisi membuat suasana di rumah petak seluas 2 x 4 meter itu menjadi sibuk. Situasi sibuk berubah menjadi tegang ketika dua orang dokter muda dengan rompi bertuliskan DOKPOL mengeluarkan sebuah usungan usang yang entah sudah berapa liter darah jenazah yang menetes di busa tipis yang menjadi bantalannya.
Pita plastik kuning yang bertuliskan DO NOT CROSS sepanjang lebih dari 5 meter dipasang melingkar di seputar lokasi rumah itu seperti menjadi sebuah pagar besi yang menghalau masyarakat yang semakin penasaran dengan jenazah berlumur darah yang terbaring di ranjangnya itu.
Tak lama, empat orang yang dua diantaranya merupakan dokter muda tadi menggotong sebuah kantung plastik besar berwarna kuning dengan sebuah resleting kokoh tepat di tengahnya.
Terlihat jelas kalau memang darah jenasah itu masih begitu segar. Itu terlihat dari rembesannya yang membuat kantung plastik yang semula berwarna kuning menjadi berwarna aneh, setelah terembesi warna merah darah.
***
Malam seperti pecah berkeping-keping oleh lantunan instrumen musik klasik yang terdengar lembut namun menyayat mengalun. Sepinya malam, menjadi terasa lebih menyayat ketika gesekan biola dan dentingan piano yang terdengar dari komposisi-komposisi Bacht yang keluar dari kedua active speaker yang diletakkannya di samping monitor LCD hitam berdebu.
Demetik tuts keyboard seperti semakin terus beradu dengan lentingan piano, debuman cello, dan sayatan senar biola.
Jarum pendek jam di lengan kanannya menunjuk angka 10. Wajahnya seperti bersinar oleh cahaya yang keluar dari layar datar monitor di depannya. Kedua matanya semakin terpaku pada deretan huruf yang tertata rapi di sana.
“Tak makan dulu kau,” sebuah suara muncul dari ruangan terpisah yang berada di samping ruangan tempatnya sibuk oleh pekerjaannya itu.
”Sebentar. Kalau kutinggal, tak selesai lagi ini cerita,” ujarnya tanpa menoleh ke arah suara tadi.
Sudah hampir tiap malam, dia selalu berada di depan layar LCD-nya. Abjad demi abjad dirangkainya menjadi kata. Kata ditumpuknya dengan kata hingga menjadi sebuah kalimat. Kalimat ditabrakkannya dengan sesama kalimat hingga menjadi sebuah cerita.
”Bukannya cerita-cerita kau itu tak pernah selesai,” teriak suara dari dalam.
Memang, semua cerita yang dibuatnya tak pernah usai. Sebagai seorang penulis amatiran, sebenarnya dia bisa dibilang cukup produktif. Tapi masalahnya hanya satu: pada akhir cerita.
”Sudahlah. Makan dululah kau sini,” teriak suara dari dalam sekali lagi.
Begitu bangganya ia dengan cerita-cerita yang ditulisnya. Sejuta mimpi ia susun di kepalanya saat melihat file-file ceritanya. Mulai dari penerbitan kumpulan ceritanya menjadi sebuah buku, hingga pada bayangan dirinya yang tengah membacakan cerita cerita di depan ribuan penulis dunia dalam sebuah acara penghargaan.
Sebagai seorang penulis amatiran, ia memang berbeda dengan penulis cerita yang seperti dibayangkan oleh anak sekolah. Kening yang mengerut tebal, kacamata tebal, koleksi buku tebal. Dan rekening tabungan dengan saldo hasil uang penghargaan yang juga sudah barang tentu tebal.
Tak pernah ia membaca buku-buku sastra, buku-buku cerita, baik lokal maupun yang kelas dunia. Tak pernah pula ia mengenal teori-teori dan teknik menulis cerita. Tak pernah ia mengenal realisme sosialis seperti milik Pramoedya, tak pernah ia mengenal cerita Kuntowijoyo yang filosofis, tak pernah pula ia mengenal cerita-cerita milik STA yang religi dan moralis.
Baginya, teori yang paling akurat adalah secangkir kopi yang diminumnya saat duduk di warung ujung gang saat sore dan pagi. Baginya, yang paling mempengaruhi ceritanya adalah tetangga-tetangganya, kawan-kawannya, dan tentu saja Arsy, seorang perempuan manis bermata bulat yang selalu setia memasakkannya sepiring telur dadar.
”Makin hari, telur dadarmu semakin sempurna, sayang,” celetuknya usai menyantap telur dadar yang sebelumnya telah siap di atas meja makan.
Sesempurna rajutan kalimat di tiap paragraf yang telah memenuhi kepalanya. Sebuah kejadian tadi siang sudah memenuhi tiap sela otaknya. Jemarinya seperti sudah tak sabar untuk mengacak-acak tuts keyboard hingga menjadi sebuah cerita.
Cerita tentang tetangganya, yang berjarak 5 petak dari rumahnya, seorang ibu muda yang ditinggal suaminya pergi berdinas di daearah perbatasan. Sejak 10 tahun lalu, suaminya yang seorang perwira Angkatan Darat pergi meninggalkannya, ibu muda itu selalu membuka pintu dan menyiapkan makan malam besar di atas meja. Tak pernah ada sepucuk surat atau sedering telepon yang mengabarkan keadaan suaminya. Bahkan komandannya sendiri pun tak tahu dimana suaminya berada.
”Yang kami tahu, kesatuan suami ibu, sudah kami tarik 2 tahun lalu. Tak ada anggota yang terlewat satu pun,” ujar komandan selalu begitu saat dihubunginya melalui telepon.
Kali ini, lantunan biola yang terdengar melantun bukan lagi komposisi milik Bacht, melainkan milik Vivaldi. Meski tidak se-menyayat milik Bacht, gesekan biola pada komposisi Vivaldi mampu membuat suasana kamar yang temaram menjadi lebih muram.
”Akhirnya selesai juga,” ujarnya dengan ragu-ragu.
”Hanya sampai di situ? Sepertinya masalah kau masih tetap saja. Cerita itu belum selesai,” bisik lembut suara perempuan merambati daun telinganya.
Kalau sudah begitu, seperti biasa, malam akan segera berlanjut dengan aroma peluh dan suara lenguh.
Paginya, secangkir kopi hangat, coba diperiksanya koleksi cerita yang telah ditulisnya lebih dari 1 tahun ini.
”Atau jangan-jangan memang beginilah akhir ceritanya,” gerutunya saat membaca satu per satu cerita yang mencapai puluhan itu.
Tanpa ujung cerita. Itulah akhir ceritanya. Seperti ampas kopi di cangkirnya. Mengambang. ”Sebuah ending yang mengambang. Itu kan kebanggaanmu,” suara perempuan itu kembali tiba-tiba terdengar dari balik selimut tebal yang kumal.
Diperiksanya cerita-cerita yang lain. Sepasang mahasiswa yang entah kuliah di kampus mana, yang pasti mereka adalah pasangan yang tinggal serumah tanpa adanya pernikahan.
Pernah suatu malam, yang berlanjut pada malam-malam selanjutnya, pasangan itu tengah bercumbu di kursi dengan kordyn setengah terbuka. Si perempuan terlentang dengan tangan dan kaki terikat di leher kursi. Sebuah Ritual Percintaan. Begitu judul yang ditulisnya.
Begitulah. Cerita-cerita itu seperti tanpa ujung. Cerita-cerita itu hanya terfokus pada klimaks, tanpa ada sebuah penyelesaian terhadap klimaks itu sendiri. Dia pun tak tahu kenapa bisa begitu. Padahal dia sadar sekali, bahwa sebuah cerita hakikatnya memang harus memiliki ujung untuk mengakhiri.
Dia sadar, sebuah cerita memang harus punya ujung untuk mengakhiri dirinya. Sebuah cerita tidak bisa dibiarkan begitu saja lepas tanpa batas. Itulah bedanya cerita dengan realita. Jika cerita harus punya ujung, maka tidak dengan realita. Realita harus tidak berujung. Relita harus tetap berarung. Sebab dengan mengarung, dia tahu arti dari makna realita sebenarnya: bertarung.
”Kalau sudah begini, mana bisa laku itu cerita-ceritamu. Mana bisa kita dapat uang. Mana bisa kita makan. Mana bisa kita bayar kontrakan ini,” suara perempuan itu menyadarkannya, ketika secangkir kopi perlahan mulai membasahi bibir bawahnya.
”Sudahlah. itu urusanku. Kalau kamu sudah tidak sanggup, kamu boleh pergi,” bentaknya kemudian.
Begitulah, seperti cerita-ceritanya, selain begitu saja mengalir, pertengkaran itu seperti pula tak punya akhir. Sudah kesekian kalinya mereka saling pergi. Saling meninggalkan pertanyaan yang memang keduanya merasa tak perlu mencari jawabannya.
***
Beberapa pria berseragam dengan memakai sarung tangan plastik memegang sebuah saput hitam yang telah dioleskan arang. Beberapa wartawan yang telah datang menambah riuh suasana kamar petak itu. Blits kamera yang saling bersahutan keluar dari kamera mereka. Seperti merekam setiap jejak yang tertinggal di sana.
Belasan, bahkan mungkin puluhan warga yang tinggal di sekitar kamar petak itu pun seperti mendapatkan komando untuk segera berkerumun. Mendongak. Mengintip. Mereka saling berbisik.
”Dari keterangan warga, korban yang bernama Bagong Subeki ini memang sempat cek cok dengan pacarnya. Tapi dari barang bukti yang kami temukan, sementara kami menyimpulkan bahwa korban meninggal karena bunuh diri. Lompat dari lantai 5 komplek ini,” tegas salah seorang lelaki berjaket hitam pada beberapa wartawan yang mengerubunginya.
Teras rumah yang bergenang darah. Aroma anyir menusuk seiring dengung lalat-lalat gemuk. Mayat sudah tak ada. Raung sirine ambulans terdengar menjauh. Beberapa lembaran kertas yang berisi cerita-cerita berserak dengan bercak noda darah yang telah mengampas.
Cahaya layar datar monitor komputer yang memancar dengan sebait tulisan di layar putihnya: Terkadang realita adalah cerita. Cerita adalah realita. Jika dalam ceritaku tak kau temukan akhir, mungkin pada realitaku, akan kau temukan itu, dalam bentuk aroma darah yang anyir. Terima kasih, Arsy. Engkau telah meninggalkanku. Sungguh terima kasih. Engkau meninggalkanku. Itulah akhir dari segalanya. Dari cerita sekaligus realita. Salam. Lelakimu. Bagong.

Seni: Sebuah Absurdisme Tanpa Apresiasi


Tidak ada hukuman yang lebih mengerikan daripada sekadar pekerjaan yang tak berguna. Ketika Sisifus dihukum Dewa untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar ke puncak sebuah gunung. Dari puncak itu, kemudian, oleh gravitasi, oleh beratnya sendiri batu itu kemudian kembali jatuh ke dasar gunung.1

Adalah sebuah kekonyolan yang sangat repetitif namun sekaligus begitu arif. Atau mungkin sebuah kearifan yang begitu konyol yang sangat repetitif. Sungguh, tak ada istilah yang tepat untuk mengatakan apa yang telah terjadi itu selain absurd.
Jika membuka lelembar kamus leksikan, maka bisa didapat dengan sangat definitif apa itu absurd. Absurd is not reasonable, foolish and ridicoulus.2 Atau secara rinci bisa berarti:
“Absurd is having no rational or orderly relationship to human life: meaningless (an absurd universe). Lacking order or value (an absurd existence). absurdism is a philosophy based on the believe that the universe is irrational and meaningless and that the search for order brings the individual into conflict with the universe”3.
Di sini absurd dapat diterjemahkan sebagai hal yang sungguh tidak rasional dalam hubungannya dengan kehidupan manusia: tiada artinya (alam/dunia absurd). Kurang bermakna atau tidak berharga (eksistensi absurd). Maka absurdisme adalah sebuah filosofi berdasarkan kepercayaan bahwa alam semesta adalah tidak rasional dan tidak berarti dan bahwa pencarian makna membawa seseorang ke dalam konflik dengan alam.
Begitulah, jika merunut kepada bahasa yang lebih tua: Bahasa Latin, maka kata 'Absurd' berasal dari kata 'Absurdus' yang berarti tuli atau bodoh, Ab-surdus.
Dalam sebuah esainya yang berkisah tentang Sisifus, Albert Camus mulai memperkenalkan Absurdisme dalam upaya pencarian makna yang 'sia-sia' oleh manusia, kesatuan dan kejelasan dalam menghadapi dunia yang tidak bisa dipahami, yang tidak memiliki tuhan dan kekekalan.
Lalu, apakah realisasi tentang absurd ini harus selalu dijawab dengan bunuh diri??
Pertanyaan bagus. Namun Camus justru menjawabnya, Tidak. ”Yang dibutuhkan sejatinya adalah pemberontakan dan perlawanan,” ucapnya dalam artikel tersebut4.
Kemudian ia pun membentangkan sejumlah pendekatan terhadap kehidupan yang absurd, dimana bab terakhirnya adalah pembandingannya absurditas kehidupan manusia dengan situasi yang dialami oleh Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk selama-lamanya untuk terus mengulangi tugas yang sia-sia dengan mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu kembali jatuh, dan ia pun harus mendorongnya lagi ke puncak gunung. Lalu jatuh lagi. Begitu seterusnya.
Dalam esainya itu, Camus menyimpulkan bahwa sejatinya perjuangan itu sendirilah yang telah cukup untuk mengisi hati manusia. Lalu, secara radikal, kemudian ia meminta kepada kita untuk tidak membayangkan bahwa Sisifus menderita dengan keadaanya.”Sisifus cukup bahagia,” ucapnya.5.
Esai filsafatnya sendiri terbit pada 1942, yang terdiri atas 120 halaman dengan judul asli Le Mythe de Sisyphe, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Justin O'Brien, yang diterbitkan pada 1955.
Sesuai esai Camus, Sisifus dalam Le Mythe de Sysiphe merujuk dari mitologi yunani karya Homer. Oleh Camus kemudian dideskripsikan sifat-sifatnya secara bijaksana, selalu waspada, namun pada kisah lain ia cenderung menjadi perampok atau pembuat onar.
Hubungannya tentang penculikan Egina, putri dari Aesop, yang membuat para dewa menjadi murka. Pertempuran dengan Dewa kematian. Tentang kesetiaan sang istri yang bertentangan dengan kodrat manusia untuk menguburkan jasadnya, sehingga membuat Pluto memberi ijin kepada Sisifus untuk kembali lagi ke dunia untuk menghukum sang istri, namun Sisifus memberontak pada Pluto Sang Dewa, karena kenikmatan dunia yang akhirnya membuat Sisifus tidak ingin kembali ke alam suram neraka.
Akhirnya Merkurius datang untuk mencabut nyawanya dan ia dihukum kembali di neraka untuk melakukan pekerjaan yang absurd: Mengangkat batu besar keatas gunung, kemudian menggelindingkannya kembali kebawah, untuk selamanya. Pekerjaan yang tidak berguna dan tanpa harapan. Namun pekerjaan yang tanpa harapan itu adalah kemenangannya atas pemberontakannya pada Dewa.
Itulah kebahagiaan dari Sisifus.
Sisifus adalah mitologi yang merupakan metafora dari kehidupan modern saat ini, di mana para pekerja ini tak kalah absurnya dengan kutukan yang dialami oleh Sisifus. Namun ketragisannya hanya muncul di saat mereka sadar akan nasibnya.
Begitu pula di dunia seni. Para seniman terus menerus berkarya apakah itu berupa karya seni rupa, seni pertunjukan, bahkan fotografi dan video art. Membuat suatu karya pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit, karena seniman biasanya lebih mengutamakan idealisme. Bagaikan mengangkat sebuah batu besar ke puncak gunung, namun pada saat sang seniman mempertunjukkan hasil karya kepada apreasiator, di situlah saat-saat dia melihat batu besar itu meluncur ke bawah. Di situlah letak kepuasan, terlebih apabila karya tersebut dihargai oleh orang lain baik secara materi maupun non-materi. Namun setelah selesai, dia harus berkarya lagi, dia harus mengangkat batu itu lagi ke puncak gunung.
Seniman, terutama seniman tradisi di Indonesia, tidak bisa dipungkiri belum sepenuhnya memperoleh penghargaan secara profesional dari pekerjaan mereka. Berbeda mungkin dengan seniman-seniman yang sudah memiliki nama besar dan jam terbang tinggi.
Hal ini tak terkecuali, seniman dari seni pertunjukan, seni rupa, termasuk fotografi. Berbeda halnya dengan apa yang terjadi di luar negeri, khususnya di Eropa, Amerika, dan Australia, kesenian, sangatlah dihargai.
Sekadar informasi saja, seorang seniman pertunjukan tari dari Australia, dia bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp. 3 juta (dikurskan rupiah) untuk 1 jam mengajar atau memberi kursus tari, di negaranya. Sangatlah kontras dengan apa yang terjadi dengan apa yang terjadi di negara kita.
Ada yang tahu gaji pengajar tari di sanggar-sanggar tari yang ada di Indonesia? Setahu saya, untuk sebuah pertunjukan Tari Reog Dhodog, sebuah tarian khas daeah Sonopakis, Bantul saja, untuk sekali pertunjukan dengan pemain dan pengiring musik tradisional sebanyak 15-20 orang, bayaran yang didapat hanya rata-rata sekitar Rp. 600.000,00 sampai Rp. 750.000,00. Berarti setiap pemain maksimal hanya mendapatkan bayaran maksimal sebesar Rp. 37.500,00. Sebuah absurdisme yang sangat tidak berapresiatif.

Footnote
1. Camus, Mite Sisifus, Gramedia, Jakarta, 1999. hal 154.
2. Hornby, A.S, Oxford Advanced Learners Dictionary, Oxford University Press, Oxford, 1995, hlm 8.
3. www.universityofliverpool.com.
4. Albert Camus, 2004 The Plague, The Fall, Exile and the Kingdom, and Selected bisa diakses di http://id.wikipedia.org/.
5. http://id.wikipedia.org//wiki/Istimewa:Sumber_buku.

Tuesday, May 31, 2011

LOMBA MENULIS PUISI: KADO UNTUK GURU 2011

Pendaftaran: 5 Maret s/d Deadline 25 Juni 2011

Mengusung Berkesenian, Cerdaskan Anak Bangsa

dengan Berkarya dalam tema “Pendidikan & Guru”

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, pekerjaan yang mulia, dulu guru adalah gudangnya sumber ilmu, dan dengan kemajua n tekhnologi yang canggih, maka guru adalah sebagai fasilitatornya murid. Cerdaskan anak dengan pendidikan, hormati guru dengan keikhlasan. Untuk para guru “Mengapa Anda Menjadi Guru? pernahkan anda Tuliskan min 10 Alasan anda menjadi guru?” Untuk para murid, mari sejenak mengingat masa sekolah kita dulu “Adakah guru yang paling kita sukai? Adakah guru yang paling tidak kita sukai?” rekam dan ingatlah. Maka dengan itu lomba ini saya adakan dengan tujuan untuk menjaring semangat dari teman-teman sebuah ajang kreasi “Cipta Puisi” dengan tema “Pendidikan & Guru” seberapa besar Kado penghargaan seorang guru dalam membimbing dan memberikan kecerdasan dalam dunia pendidikan.

Adapun ketentuan/kriteria perlombaan cipta puisi adalah sebagai berikut:

1. Peserta adalah Warga Negara Indonesia, TKI / TKW, tidak dibatasi umur (Pelajar, Mahasiswa, Guru, Umum, dll)
2. Naskah harus asli karya sendiri, bukan jiplakan atau terjemahan dan sedang tidak diikutkan pada lomba yang bersamaan.
3. Bertemakan: pendidikan / guru
4. Bentuk puisi bebas, halaman bebas, ditulis / diketik dalam Bahasa Indonesia
5. Naskah ditunggu selambat-lambatnya 15 Juni 2011 cap pos. Pemenang akan diumumkan 25 Juni 2011. di blog, Facebook Ady Azzumar, Group Rumah Puisi, Email.

Tehnik Pengiriman Naskah:

1. Via Email: Tulisan diketik dan dikirim ke Email: indonesiaku2011@yahoo.co.id (lampirkan biodata naratif + No Hp, naskah karya, dan bukti transfer) Peserta lomba wajib membayar biaya pendaftaran sebesar Rp. 25.000 ke No. Rekening: 801-09-91003 Bank SUMSEL BABEL cabang Syariah Palembang. Atas Nama: Supriadi

atau

2. Melalui Via Pos: (Naskah print / tulis + Uang Pendaftaran 25.000, + Biodata lengkap dan No. Hp). Kirim:

Kepada: Ady Azzumar (Supriadi, S.Pd.I)

Alamat: Jl. Ir. H. Djuanda No. 21 Kelurahan Ps III Muara Enim, 31314 (SUMSEL) cp. 085267557556

Dewan Juri:

Puisi akan dinilai oleh 3 dewan juri:

1. Mukhlis Rais, Lc. M. Pd. I (Penulis, Ketua FLP Mesir 2003-2005)

Mukhlis Rais, mantan ketua FLP Mesir 2003 – 2005. aktif menulis di berbagai media: Sriwijaya (Cairo), Suara Musi (Cairo), Ukazh (Cairo), Izzah (Cairo) Raudhatuna (Cairo), Tarbawi, Republika, Sumatera Ekpres. Sanili, Koran Jum’at, dll. Karya dalam bentuk Antalogi Bersama: Ketika Nyamuk Bicara FLP SUMBAGSEL (Zikrul Hakim, 2004), Kado Untuk Mujahid FLP Mesir (Fikri, 2004), Matahari Tak Pernah Sendiri, Di Sini Ada Cinta (LPPH, 2004). Pernah aktif membina FLP Cabang Ogan Ilir & FLP Ranting Raudhatul Ulum Palembang. sekarang sebagai Staf Pengajar di STAIN Langsa ACEH.

2. Yadhi Rusmiadi Jashar (Penulis, Guru Bahasa Indonesia, Pimred Majalah PANTAU (1995-1997)

Yadhi Rusmiadi Jashar bernama asli Rusmiadi, S.Pd, lahir 12 Maret 1973. menamatkan studi di Universitas Sriwijaya, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tahun 1998. Pekerjaan yang ditekuni, antara lain Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Negeri 19 OKU (1999), Dosen FKIP Universitas Baturaja (2003), dan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Negeri 41 OKU (2010). Semasa kuliah aktif di beberapa organisasi kampus, di antaranya Ketua II HMPSBI FKIP Unsri (1995-1996). Ketua Umum UKM Teater Unsri (1994-1996), dan Pimpinan Redaksi Majalah PANTAU FKIP Unsri (1995–1997). Selain itu, turut membidani lahirnya Komunitas Pengarang dan Penyair Muda Palembang sebagai Koordinator I (1995–1997). Aktif menulis sejak duduk di bangku SMA, ditandai dengan dimuatnya cerpen Gigolo dan cerpen Gigolo Tua di Harian Sriwijaya Post. Karya-karya berupa cerpen, puisi, esei, dan artikel pernah dimuat Buletin Priiit, Majalah Gelora Sriwijaya, Majalah Pantau, Harian Sumatera Ekspres, Sriwijaya Post, dan Lampung Post, dan sebagainya. Menerbitkan secara terbatas buku kumpulan cerpen Orator (1995) dan kumpulan cerpen remaja Seraut Wajah dalam Bayangan (1996). Beberapa prestasi yang pernah dicapai, antara lain Juara I LKTI Tahun 1996 di Unsri, juara I LKTI Tahun 1997 di Unsri, Juara I Lomba Kritik Sastra Se-Sumatera Selatan Tahun 1997, Juara Harapan I LKTI Se-Sumatera dan DKI Jakarta Tahun 1997 di Universitas Bengkulu, dan Juara Harapan II Lomba Cipta Cerita Pendek se-Sumsel Tahun 1997 di Palembang. Beberapa kali diminta menjadi juri lomba baca puisi dan baca cerpen.

3. Ady Azzumar Creator Grop FB Rumah Puisi.

Ady Azzumar bernama asli Supriadi, S.Pd.I Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah SUMSEL th. 2008-2010, Aktifis Forum Media Dakwah Indonesia. Buku pertamanya kumpulan puisi “Ruh dalam Maksiat” penerbit Lieterer Kahtulistiwa (November 2010), “Kerdam Cinta Palestina” Antalogi bersama FLP se-Sumatera. (polifenol 2010). “Simponi Munajat Pada-Mu” (Oktober 2010). Munajat Sesayat Do’a (Leutika, 2010) antalogi puisi festival bulan purnama majapahit (2011) Antalogi: Kisah Hewan bersama 30 penulis Indonesia (2010), Antalogi “Pahlawan yang Menginspirasiku” bersama 20 penulis Indonesia.

Karyanya pernah nongkrong di: Majalah Sabili, Gi-Zone, Gaul, Gemilang Prestasi, Harian Sriwijaya Post, Berita Pagi, Sumatera Ekpres, dll. Prestasinya: Juara II menulis cerpen se-Sumsel (2007) di Palembang, Juara Harapan II menulis puisi se-Sumsel (2007) di Palembang. Juara III menulis puisi se-Sumsel (2009) di Lubuk Linggau. Cerpen Pilihan Terbaik Kategori Kontroversi, UNSA AWARDS 2010. Juara terfavorit 1 lomba Puisi Islami Rhomadhan 1431 H, Juara 1 puisi Pahlawan Inspirasi FLP Bekasi (2010), Nominasi 10 terbaik dalam lomba cipta puisi 1 Muharram ( group UNSA 2010)

Keputusan dewan juri mutlak tidak dapat diganggu gugat, dan hal-hal yang menjadi penilaian oleh dewan juri, di antaranya: 1. Kesesuaian Tema 2. Kekuatan Metaphor dan Diksi, 3. Keindahan Puisi, 4. Kekuatan Pesan\Makna 5. Pemilihan Judul

Hadiah Pemenang Lomba :

1. Juara 1: Uang tunai 500.000,- + Sertifikat penghargaan + T-Shirt dari Singapura oleh: Nessa Meta Kartika, mendapatkan buku antalogi puisi “Kado untuk Indonesia” + Buku kumcer Bulan Celurit Api karya Benny Arnas + Buku Kumcer Tangan untuk Utik karya Bamby Cahyadi + Buku Fiksi karya Uda Agus (Gusrianto) + buku puisi Ruh dalam Maksiat karya Ady Azzumar
2. Juara 2: Uang tunai 300.000,- Sertifikat penghargaan + T-Shirt dari Singapura oleh: Nessa Meta Kartika, mendapatkan buku antalogi puisi “Kado untuk Indonesia” + KUMCER Bulan Celurit Api karya Benny Arnas + Kumcer Tangan untuk Utik karya Bamby Cahyadi + Buku Fiksi karya Uda Agus (Gusrianto) buku puisi Ruh dalam Maksiat karya Ady Azzumar
3. Juara 3: Uang tunai 200.000,- Sertifikat penghargaan + T-Shirt dari Singapura oleh: Nessa Meta Kartika, mendapatkan buku antalogi puisi “Kado untuk Indonesia” + KUMCER Bulan Celurit Api karya Benny Arnas + Kumcer Tangan untuk Utik karya Bamby Cahyadi + Buku Fiksi karya Uda Agus (Gusrianto) buku puisi Ruh dalam Maksiat karya Ady Azzumar
4. Akan dipilih seratus lima puluh (150) naskah terbaik untuk diterbitkan & Semua peserta tanpa terkecuali akan mendapatkan Piagam Penghargaan dengan Logo Group Rumah Puisi, logo Facebook, dan logo cover buku. Dikirim melalui via email peserta (dua minggu pengiriman setelah pengumuman lomba, melalui via email masing-masing).

Demikian pemberitahuan lomba puisi ini saya sampaikan, semoga terjalin kerjasama yang baik di antara penyelenggara dan peserta, serta pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam lomba puisi ini. TERIMAKASIH. Info ini boleh disebarkan ke sekolah-sekolah, perpustakaan, dll. Mari beri kado untuk gurumu dengan sebuah puisi.

Penyelenggara dan info lengkap Creator Grop FACEBOOK Rumah Puisi

Ady Azzumar: Jl. Ir. H. Djuanda No. 21 Kelurahan Ps III Muara Enim, 31314 (SUMSEL) CP 085267557556

Monday, May 30, 2011

Tari Angguk


Gemulainya Sang Prajurit





Pancasila...

Minongko dasar negoro...



Kalimat pembuka itu sudah mulai terdengar dari suara penyanyi perempuan yang bening melengking. Terasa begitu harmonis berpadu dengan suara bebunyian yang keluar dari kendang, bedug, tambur, kencreng, rebana, terbang, dan jidor ditabuh oleh 10 orang pemusik secara bersamaan.

Tak lama, 12 penari perempuan berkostum prajurit kompeni Belanda berlengan panjang hitam yang dibagian dada dan punggunya berhiaskan lipatan-lipatan kain kecil berwarna kombinasi merah-kuning. Kaki mereka yang berbungkus stocking warna kulit, tampak jenjang dengan balutan celana pendek ketat yang dihiasi pelet vertikal berwarna merah-putih di sisi luarnya. Rambut panjang mereka tertutup rapi oleh topi hitam yang tepinya diberi kain berwarna merah-putih dan kuning emas.

Sesuai dengan namanya, gerakan kepala keduabelas penari ini terlihat seperti mengangguk-angguk. Ini membuat 2 jambul bulu yang terpasang di depan topi mereka.

Perempuan yang awal masuk panggung berlagak seperti pria itu, kemudian perlahan mulai menampilkan gerakan-gerakan tarian yang terlihat berbeda saat pertama kali mereka memasuki panggung.

Seiring dengan lantunan musik yang temponya pun semakin meninggi, 12 perempuan cantik itu semakin larut dalam menggerakkan tangan kepala, bahu bahkan pinggul dan pantat mereka. Tak heran, tarian ini memang lebih memperlihatkan eksotisme gerakan pinggul dan kirig (bahu).

Di sesi terakhir, 2 orang penari tampak semakin liar. Inilah yang disebut dengan trance (ndadi). Kedua penari yang memang tengah kerasukan ruh halus ini semakin tak terkontrol. Mulai dari gerakan tari yang semakin menjadi, hingga pada aksi makan sesaji, dan kemenyan.

Masyarakat mengenal tarian ini dengan sebutan Angguk. Terlepas dari nama yang memang disesuaikan dengan gerakan kepala penarinya yang mengangguk-angguk, tarian ini dikenal sebagai tarian khas Kulonprogo.

Tak mudah memang, merunut asal mula darimana pertama kali tarian ini berasal. Namun yang pasti, tarian ini tidak hanya terdapat di Kulonprogo.

Diakui sendiri oleh Sri Wuryanti Surajio, seorang seniman pendiri sanggar tari Angguk Sri Panglaras Kulonprogo, bahwa memang tidak hanya di Kulonprogo saja Tari Angguk terdapat. Ternyata di beberapa daerah lain seperti Purworejo, bahkan Wonosobo.

Bahkan, diakuinya pula, Tari Angguk ditengarai memang berasal dari Desa Bagelen, yang kini secara administratif masuk wilayah Kabupaten Purworejo. ”Tapi kan memang lokasinya berdekatan dengan kami,” ujarnya.

Memang, sanggar miliknya bisa dikatakan sebagai satu-satunya sanggar yang pertama kali kembali mempopulerkan Tari Angguk di Kulonprogo. ”Saat itu sekitar tahun 1991,” ucapnya.

Dikisahkannya, jauh sebelum itu, sekitar tahun 1950an, sebenarnya Tari Angguk pertama kali masuk ke Kulonprogo. Awalnya, tarian ini dimainkan sebagai tarian pergaulan para remaja dan biasa digelar setelah musim panen tiba sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Namun, ketika masuk ke Kulon Progo, tarian ini kemudian dimainkan oleh kaum laki-laki. Tetapi sekitar tahun 1970, terjadi pergeseran sehingga dimainkan oleh kaum perempuan dengan dirintisnya beberapa kelompok kesenian Tari Angguk putri yang dirintis oleh Sri Panglaras dimana saat itu masih bernama Sri Lestari.

Meski hingga kini belum ditemukan keterangan yang jelas alasan perubahan penari tersebut, namun faktor komersialisme dan tuntutan pasar hiburan diperkirakan menjadi tolok ukur perubahannya, karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia hiburan penari perempuan lebih menarik jika dibandingkan dengan pria.

Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahkan oleh Sri sendiri. Menurutnya, selain lebih luwes, ternyata masyarakat dalam hal ini penonton, lebih menyukai seorang penari perempuan daripada laki-laki.

Dengan alasan inilah kemudian, Sri memodifikasi gerakan yang memang semula dilakukan oleh laki-laki. ”Tanpa mengubah peran, hanya memodifikasi gerakan,” tukasnya.

Diakuinya, tak benar jika ada orang mengatakan Tari Angguk sudah ditinggalkan. Buktinya adalah dengan masih eksisnya sanggar Tari Angguk miliknya yang berada di Pripih, Desa Hargomulyo, Kecamatan Kokap.

Jika awalnya, Tari Angguk lebih bersifat sakral, dengan menggunakan tetembangan yang diambil dari Kitab Barzanji yang menceritakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya. Kini, lantaran semakin banyaknya permintaan dari kalangan non religi, maka syair-syair Islami pun kini sudah bergeser ke syair-syair yang bersifat nasionalis. ”Tapi masih menggunakan bahasa Jawa,” ungkapnya.

Sedangkan Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpor) Kulonprogo, Sarjana mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan pembinaan kepada setiap seniman yang ada di Kulonprogo. ”Salah satunya adalah dengan penyelenggaraan Festival Kesenian Rakyat yang dilaksanakan beberapa hari lalu,” ucapnya.

Selain itu, dirinya juga menegaskan bahwa pihak Disbudparpor kini tengah mengupayakan promosi wisata dengan menggunakan Tari Angguk sebagai salah satu ikonnya.

Sedangkan dari pihak Dewan Kebudayaan Kulonprogo (DKPP), Imam Syafei, ketua DKPP mengatakan bahwa pihak pemerintah jangan hanya memanfaatkan Tari Angguk sebagai ikon simbol promosi wisata saja, melain kan juga harus sesegera mungkin menerbitkan kebijakan-kebijakan yang bersifat protektif terhadap seni tradisonal asli Kulonprogo, tak terkecuali Tari Angguk.

Menurutnya, upaya protektif tersebut kini sangat diperlukan untuk melestarikan kesenian tradisional. Upaya protektif tersebut menurutnya bisa dilakukan oleh Dinas Pendidikan dalam hal pembinaan.

Terkait hal ini, Kepala Seksi Pendidikan Kesenian Pelajar Joko Mursito mengatakan, meski Tari Angguk kini digolongkan sebagai kesenian unggulan yang telah mandiri, namun bukan berarti pembinaan tidak diperlukan. ”Untuk ini kami menyerahkan sesuai dengan kebijakan sekolah masing-masing untuk menempatkan pendidikan tari ini pada kurikulum muatan lokalnya,” ucapnya.