demi segala kabut di puncak laut,
aku menunggumu
kerudung yang berkalung mendung
terkibas oleh riuh yang begitu deras
sebab jejak telah demikian koyak
dan waktu begitu bisu,
mengeras keras
tepekur ini,
wujud segala kata yang mengumpar
pada palung yang tak berdasar
serupa hujan yang kutulis, memusar
pada rumput, pada lumut,
dan bangkai perahu yang ditelan dermaga
seperti peziarah yang lelah memunguti arah
dan menyetubuhi tanah-tanah
demi sungai yang berhulu di dadaku,
aku menunggumu
tibatiba rapalan doa
yang menjelma sempurna
menjadi selembar peta
ah, tetapi dunia begitu luka
bahkan dalam keriuhanmu,
kerudung yang berkalung mendung itu
begitu saja penuh duka
jarakmu, jarakku, jarak kita
adalah wujud maut
berkarib dengan pantai
yang terus susut
bagimu,
mungkin kerudung bukan sekedar
berkalung mendung,
sebab bebatu kali
jelmaan langit yang menghantam bumi
hingga membuat tubuhmu: tubuh kita
begitu tak berjarak dari segala
retak
mungkin puisi hanyalah secuil sepi
yang oleh penyair,
dilebur dalam bahasa
yang begitu getir
Surabaya, 2008
Sebuah Perkenalan
aku mengenalmu dari gumantung kabut
dari gerimis yang dibaptis
laut, adalah persinggahan terakhir
hening tebing terpelanting
mencair, dalam belukar
yang mengungsikan ingataningatan liar
dalam kamar penuh mawar
yang tak pernah terlihat mekar
ijinkan aku menyebutmu, penyairku
sebab syair tak terasa anyir, di tanganmu
takdir mengalir, limbung
sepi yang dilarung mendung
dan segala kerinduan akan kematian
(aroma keranda, jasad kamboja
dan jejak-jejak mayat yang tersayatsayat)
lalu terciptalah kabut itu,
sebagai wujud perkenalan kita, penyairku
Surabaya, 2008
Surabaya Pos, 18 Januari 2009