Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Thursday, December 22, 2011

Labuhan Puro Pakualaman

Ngalap berkah di laut Glagah

Pagi itu (6/12) warga sekitar lokasi objek wisata Pantai Glagah kecamatan Temon terkejut dengan alunan suara seruling serta suara snar drum yang ditabuh seiring dengan derap langkah para prajurit pengawal Lombok Abang dan Bregodo Plengkir yang masing-masing mengapit barisan 3 gunungan yang masing-masing disusun dari Wulu Wetu atau palawija dan hasil bumi lainnya, serta padi sebagai simbol makanan pokok masyarakat Jawa dan kain yang biasa dipakai oleh Paku Alam IX.

Sekitar pukul 08.30, setelah menggelar upacara serah terima tumpeng kepada putra Paku Alam IX, Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Danardono, dengan didahului oleh pembacaan doa, barisan pengusung tumpeng yang berasal dari abdi dalem pakualaman dan abdi dalem Girigondo mulai menuju tepi laut di kawasan Joglo Labuhan Pantai Glagah.

Setidaknya lebih dari 100 orang berbaris rapi dengan menempatkan 3 gunungan serta 1 buah tumpeng dan uba rampe lainnya tepat di tengah barisan. Rombongan itu kemudian berjalan sekitar 2 kilometer dari halaman gedung bekas kantor Pakualaman di kawasan Sanggrahan, Desa Glagah menuju ke Joglo Labuhan hingga akhirnya 3 gunungan dan uba rampe itu dilarung di laut selatan.

Barulah, setelah 2 orang abdi dalem pakualaman turun nyaris beberapa puluh meter dari bibir pantai menembus ombak laut selatan yang sepertinya mendadak meninggi, guna melarung masing-masing bagian dari gunungan yang kemudian dibungkus dengan menggunakan kain putih, masyarakat berebut 3 gunungan dan uba rampe itu. ”Itu namanya ngalap berkah,” terang Mas Rio Wirodarmo, 65, seorang tindih prajurit Pakualaman kemarin (6/12) seusai upacara labuhan.

Upacara labuhan itu sendiri, terangnya, adalah upacara rutin yang digelar tiap tahun, tepatnya tanggal 10 sura. Upacara ini adalah rangkaian dari peringatan bulan sura di keraton Pakualaman. ”Dari peringatan tanggal 1 Sura, dilanjutkan tanggal 10 Sura ini dengan labuhan di Glagah ini,” ujarnya.

Dengan menggelar upacara labuhan itu, pihak Pakualaman berharap selain bisa membuang segala kesialan, lantaran disertakannya sukerto, mulai gari guntingan kuku, rambut hingga beberapa hal lain milik keluarga Pura Pakualaman yang diangggap kotor, juga sebagai wujud ungkapan rasa syukur Pakualam IX beserta keluarga terhadap segala rejeki dan kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka dan seluruh warga Yogyakarta. ”Selain itu, juga sebagai ungkapan rasa ikhlas Paku Alam IX beserta keluarga untuk memberikan segala yang menjadi miliknya kepada Tuhan,” ujarnya.

Begitu pula dengan putra Paku Alam IX (GBPH) Danardono, saat ditemui seusai upacara tersebut, mengatakan bahwa pihaknya secara rutin tiap tahunnya menggelar upacara labuhan itu.

Upacara labuhan itu, dikatakannya sebagai wujud bakti keluarganya terhadap para leluhur. Selain itu, diungkapkannya pula, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua yang telah dilimpahkan. ”Acara ini sebelumnya sempat berhenti selama beberapa tahun namun sekarang mulai dilaksanakan kembali untuk melestarikan tradisi,” ujarnya.

Semenatara 2 orang abdi dalem yang melarung di tengah laut berjuang melawan ganasnya ombak laut selatan, ratusan warga mendadak saling berebut 3 gunungan dan uba rampe yang semula masih digotong oleh beberapa abdi dalem.

Salah satunya adalah Saridah, 65, warga sekitar Makam Girigondo, Desa Kaligintung, Kecamatan Temon. Dengan suara tuanya, Mbah Saridah, sapaan akrabnya, mengatakan mengatakan bahwa upacara Puro Pakualaman tersebut adalah upacara yang selalu dinantinya setiap tahun.

Dengan menunjukkan segenggam hasil bumi yang didapatnya dari berebut dengan ratusan warga lainnya, nenek yang datang ke pantai Glagah bersama rombongan abdi dalem dari Girigondo tersebut berharap bahwa hidupnya akan lebih baik di tahun-tahun mendatang. ”Dari hasil ngalap berkah ini, diharapkan akan membuat hidup saya sekeluarga menjadi lebih baik. Biar tidak rugi, sandal saya ini sampai hilang sebelah,” candanya sambil menunjukkan sandal japit hitamnya yang tinggal sebelah.

Begitu pula dengan pertanian yang menjadi sumber sehari-harinya dalam mendapatkan uang. Dengan mendapatkan beberapa hasil bumi, dirinya percaya, jika itu ditanam, akan bisa meningkatkan hasil produktifitas pertaniannya.”Semoga ini bisa menjadi berkah buat saya,” harapnya.






Tuesday, December 20, 2011

Merti dusun Imorenggo Desa Karangsewu Kecamatan Galur

Perayaan pertama untuk keselamatan bersama


Birunya langit pagi itu (11/12), sekitar pukul 08.00 membuat sinar matahari menjadi sama sekali tak berpenghalang. Namun itu tak membuat 40 orang yang berjalan sekitar 500 meter mengarak sebuah gunungan setinggi 2 meter dan beberapa uba rampe yang diletakkan di atas peti dan dipanggul oleh beberapa pemuda, merasa lelah.

Arak-arakan itu berawal dari sekitar situs Pandan Segegek tepatnya di rumah Sudarwanto, Ketua Wilayah Dusun Imorenggo Desa Karangsewu, Kecamatan Galur ke arah aula dusun Imorenggo, tempat diselenggarakannya acara yang bertajuk Hari Bhakti Transmigrasi dan Merti Dusun yang merupakan salah satu wilayah lokasi transmigrasi lokal tersebut.

Setelah mengikuti serangkaian acara yang dihadiri Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Riyadi Sunarto, Kabid Kebudayaan Disbudparpora Joko Mursito, dan Camat Galur Jazil Ambar Was’an tersebut, maka sekitar pukul 12.00, gunungan dan uba rampe itu diarak kembali dari aula dusun menuju ke tepi laut untuk dilarung.

Dengan membawa sebuah wadah berbungkus kain putih, 6 macam jenang-jenangan, di antaranya termasuk jenang burabari, jenang gecok, dan jenang pancawarna, Sudarwanto, yang didapuk sebagai pemimpin arak-arakan tersebut kemudian berjalan dari pantai menuju bibir pantai.

Ombak pantai selatan yang menyambut kakinya seperti hendak menjemput besek berisi jenang itu. Tanpa menunggu lama, besek itu pun segera dilemparkannya ke gulungan ombak berbuih putih yang ada di depannya itu.

Barulah setelah itu, gunungan dan uba rampe kembali diarak ke aula untuk kemudian diperebutkan oleh warga yang sedari pagi sudah datang berharap bisa mendapatkan satu atau dua hasil bumi yang dipajang pada gunungan itu. ”Kalau di labuhan pada umumnya, warga bisa langsung berebut hasil bumi, tapi di sini lain. Kami hanya mengijinkan warga berebut gunungan dan uba rampe di aula. Bukan di atas pasir pantai ini. Sayang, kalau jatuh di pasir kan makanannya jadi kotor,” ujarnya.

Surati, salah satu warga mengaku puas setelah mendapatkan beberapa hasil bumi dari gunungan dan uba rampe yang diperebutkan itu. ”Saya dapat terong, pare, kacang panjang. Lumayan buat sayur,” canda nenek berusaia 50 tahun itu.

Bahkan demi hasil bumi itu, warga dusun 15 Desa Karangsewu Kecamatan Galur tersebut rela harus terjatuh-jatuh saat berebut dengan puluhan warga lainnya. ”Saya sampai terseok-seok,” ujarnya.

Acara itu sendiri, diakui oleh Sudarwanto, baru pertama kali ini digelar secara besar-besaran. ”Sebelumnya, karena keterbatasan dana, kami hanya menggelar kecil-kecilan saja di rumah warga,” akunya.

Sedangkan pelaksanaannya, diakui oleh transmigran asal Dusun Siliran, Desa Karangsewu, Kecamatan Galur itu biasa digelar setiap 15 Sura. ”Karena kini warga ada rejeki berlebih, acara itu digelar besar-besaran seperti ini,” ungkapnya.

Tanggal 15 Sura, diyakininya merupakan tanggal yang istimewa. Secara spiritual, dirinya mengakui bahwa setiap di tanggal itulah, dirinya merasa bahwa kehidupannya selalu berubah. ”Hidup kami menjadi baru. Dan anehnya, kami merasakannya setiap tanggal 15 Sura itu,” ujarnya.

Merti dusun itu diakuinya adalah salah satu bentuk ungkapan rasa syukur terhadap Maha Pencipta terhadap segala nikmat yang diperoleh seluruh warga khususnya panen yang melimpah.

Selain itu juga merupakan harapan dan doa agar dijauhkan dari dampak-dampak buruk baik yang diakibatkan oleh alam maupun oleh manusia. ”Merti dusun ini sebagai bentuk doa warga kepada Tuhan agar dijauhkan dari dampak-dampak alam dan manusia sehingga tercipta kesejahteraan. Kami juga ingin memupuk dan melestarikan budaya Jawa yang akhir-akhir ini tergeser budaya kebarat-baratan,” ujarnya.

Diakuinya, sesaji atau uba rampe yang diarak dalam merti dusun itu hanya sebagai bentuk mengemas budaya Jawa sebagai seni. Sedangkan permohonan warga tetap ditujukan kepada Tuhan. Prosesi labuhan atau melarung uba rampe ke laut dilakukan karena laut merupakan muara dari semuanya. ”Sehingga semua apa yang menjadi kendala kami simboliskan dibuang ke laut. Jenang yang dilarung enam macam, antara lain jenang burabari, jenang gecko, dan jenang poncowarno. Tadi gunungan tidak diperebutkan di laut karena untuk menjaga keamanan dan agar makanan tidak kotor,” imbuhnya.






Sejumlah sajak tentang namamu

Namamu 1

Segera kupanggil namamu,
tapi senja terus gugur oleh angin,
lalu menjadi peluru yang melesatkan
kilas senyummu, serupa serak daun yang kubersihkan
dari sabana di dadamu

biarkan aku fantasi pada detik beku,
sebab segala ihwal adalah bibirmu
adalah air matamu yang mengeja musimmusim dan waktu
hingga aku terkapar di telapak kaki: kesintalanmu

Jogjakarta, 2011

Namamu 2

begitu mistis, pohonpohon rabun dalam gerimis
ketika detik meledak dalam wirid
matahari dalam bait,
dan namamu,
hanyalah secuil gerhana yang menghidupkan
segala cinta kita: fana

maka, di suatu hari yang kelam
tiuplah sangkakala bersama desah doa
hingga kematian kita,
tak terasa nyata

Jogjakarta 2011

Namamu 3

sisa keringatku, adinda
melekat di leher pualammu
raib, gaib, ketika maut kita saling berpagut
saling bergeletar takut
mungkin hanya namamu yang menyelematkan kita
saat pasir yang getas
menyerahkan jasad kita pada
seratus kesunyian yang begitu lepas

Jogjakarta, 2011

Namamu 4

aku mati bersama rumah kita yang ditelan sunyi
dan bibirmu menyala,
adalah limpahan muara yang dikulum cuaca,
dan kulihat sungai meluap di mata kita
yang selalu sajak di dalamnya tak berhasil kueja

inikah yang kusebut namamu,
ketika mendung mulai terlihat kurus,
dan genangan salju di balik dadamu yang tirus

sebab cinta kita,
hanya dongeng di dasar hutan yang tak pernah terpahamkan

Jogjakarta, 2011

Namamu 5

tembok benteng terasa begitu tebal
pada halimun di matamu yang kekal
karena langit hanya malam
dan langkah kita yang ganjil,
maka pahatkan namamu
pada ingataningatanku yang semu

wahai peziarahku,
aku mengijinkanmu menganyam duka,
meski pada akhirnya kita terasing,
pada apa yang namanya cinta

Namamu 6

sadar, aku sedang berhadapan
dengan senyummu: kenyataan.
fajar dan kesenyapan
yang dibawa jarak dengan kematian
serupa aspal jalanan,
namamu adalah wujud kenangan
yang hanyut dalam selokan

Jogjakarta, 2011

Namamu 7

biar kubingkai biji matamu,
saat kutahbis namamu,
dengan sejumput geludhuk
dan rekah batu menggemuruh
dan maut pelan bergerak
ke arah gelas dengan sisa arak

Jogjakarta, 2011

Namamu 8

mungkin,
aku terlalu luka oleh itu,
seratus kata sunyi, adalah
langkah kita yang terlampau lelah
dan kabut adalah bahasaku,
bahasa cericit manyar, peletik damar,
duh, cinta kita
memang adalah segala

Jogjakarta, 2011

Namamu 9

buang murung dalam senja
dalam matamu,
kerna hanya itu tempat,
untukku mati dengan khidmat,
dan simpan baik ruhku, pada namamu,
sebab segera kuamini rinduku,
menjadi
sebongkah batu

Jogjakarta, 2011

Lestarikan Budaya Lewat Koleksi Topeng

Ekspresi yang muncul serta detail mimik wajah topeng membuat Reno tertarik untuk mengumpulkannya, bahkan hingga mencapai total lebih dari 2000 topeng yang berasal seluruh penjuru Indonesia

Dengan pencahayaan yang temaram, membuat ruang itu semakin tampak suram, apalagi dengan pajangan berbagai pernak pernik etnik semakin memrebakkan suasana suram pada ruangan itu.
Memang, memasuki sebuah ruangan berluas kurang lebih 7 x 7 meter, jajaran barang antik, mulai dari patung-patung besar serupa menhir dan totem tampak berdiri kokh di salah satu sudut ruangan. Sedang di rak-rak yang berada di sudut lain, tampak patung kecil yang mirip boneka-boneka dari suku pedalaman yang terbuat dari berbagai bahan, mulai dari bahan menyerupai fiber, hingga kayu. Selain itu, beberapabuah guci, keramik, yang dilihat dari motifnya adalah motif Tionghoa kuno juga tampak tertata rapi di sudut yang lainnya.
Memandang sekeliling, ada yang akan menarik perhatian, yakni lemari-lemari kaca yang menempel di sepanjang dinding. Dalam lemari itu ada puluhan topeng yang berjajar.
Sambil memandangi jajaran topeng di dindingnya, adalah Reno Halsamer, sang pemilik topeng-topeng itu mencoba menjelaskan satu persatu jenis topeng yang dimilikinya.
Dia mengatakan bahwa secara keseluruhan dia memiliki 3 jenis topeng, yakni Topeng Panji, Kelono, dan Reksangbumi.
Mengenai Topeng Panji, Reno mengatakan bahwa topeng yang satu ini memiliki ekspresi yang menggambarkan pangeran. Untuk ini, dia menurunkan salah satu topeng dengan wajah bulat berwarna putih. Menurutnya, ada semacam kewibawaan seorang pangeran melekat pada pemakainya.
Selain itu dia juga menunjukkan bahwa topeng Panji memiliki ciri khas terdapatnya aksesoris-aksesoris yang menyimbolkan sesuatu. Tapi ketika ditanya mengenai simbol-simbol itu, pria yang juga memiliki bisnis hadycraft di Bali ini mengaku belum mengetahui makna dari simbol-simbol yang terdapat di topeng-topeng miliknya. “Topeng Panji dari Kediri, misalnya, kebanyakan pasti menggunakan daun waru sebagai aksesorinya, tapi saya ga tau apa artinya. Perlu dilakukan penelitian lebih jauh untuk ini”, terang Reno sambil mengelus detail wajah topeng yang ada di tangannya.
Lalu, dia menurunkan sebuah topeng dengan wajah berwarna merah dengan detail dahi yang berkerut-kerut. “Ini lho contohnya Topeng Reksangbumi”, terangnya.
“Sedangkan Kelono lebih mengekspresikan kemarahan”, tambahnya sambil mengembalikan topeng ke tempatnya semula. Dijelaskannya, Topeng Kelono ada yang digambarkan bertaring dan juga ada yang digambarkan berhidung panjang. “Kalau yang hidungnya panjang ini, namanya bapang. Sedang yang ada taringnya, disebut geger”, jelasnya sambil menunjuk salah satu topeng bertaring.
Ekspresi yang muncul dari topeng, serta detail-detail topeng membuat Reno tertarik untuk mengoleksinya. Selain itu juga karena baginya arus modernisasi telah menggerus seniman-seniman tradisional. Hilangnya seniman-seniman itu, disebabkan tidak adanya estafet kepada generasi muda. Inilah yang membuat Reno merasa perlu menjaga kelestarian topeng sebagai aset budaya Indonesia.
Topeng-topeng yang dikoleksi Reno merupakan topeng ritual dan pagelaran yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Perbedaan topeng dari Jawa dan topeng yang berasal dari luar Jawa adalah pada warna wajahnya. Seperti yang dijelaskan Reno bahwa Topeng dari Jawa cenderung lebih bagus, sebab memiliki warna. Sedangkan dari luar Jawa lebih memilih warna asli dari kayunya. “Saya lebih suka topeng dari Jawa. Kalau dari luar Jawa itu ga ada. Jadi kayunya alami. Ga pakai warna”, terangnya.
Topeng ritual sering dipakai oleh penarinya ketika upacara-upacara adat. Sedangkan topeng pagelaran lebih bersifat hiburan. “Ini contoh topeng ritual,mas”, jelasnya sambil menunjuk 2 kotak berkaca yang berisikan masing-masing satu buah topeng dengan wajah berwarna putih dan satunya berwarna kuning.
Ketika ditanya mengenai ciri yang membedakan antara topeng ritual dengan topeng pagelaran, Reno menjelaskan bahwa bentuk topeng ritual cenderung lebih nyeleneh jika dibandingkan dengan topeng pagelaran. “Ini, mas contohnya topeng ritual yang lain, yang lebih serem. Serem kan?”, guraunya sambil menunjukkan topeng barong Bali yang berujud kala (raksasa, red) bersayap.
Dalam pagelaran, topeng juga sering dimanfaatkan sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Ditunjukkannya topeng dengan wajah berwarna putih, dengan memakai aksesori berupa topi kompeni, namun memiliki taring seperti kala.
Berburu Topeng
Dalam memburu topeng-topeng koleksinya, Reno harus berburu ke daerah-daerah yang sulit dijangkau. Dia mengaku bahwa untuk mendapatkan koleksinya, dia harus mencari kolektor-kolektor lain yang berniat untuk menjual koleksinya. Selain itu, terkadang dia tidak bisa menemukan topeng di daerah tempat pembuatannya. Oleh karena itu Reno mengandalkan balai-balai lelang. “Sekarang sudah susah menemukan topeng di daerah tempat pembuatannya. Contohnya Topeng Cirebon aja. Nyari topeng Cirebon pasti susah di Cirebon sendiri. Topeng itu sudah sangat langka di Cirebon. Topeng Malang juga sudah susah ditemukan di Malang”, ungkapnya sambil menurunkan topeng dengan wajah berwarna emas yang diyakininya berasal dari Malang.
Untuk mendapatkan topeng yang benar-benar asli, Reno memanfaatkan pengalaman dan kejeliannya dalam memilih. Tidak bisa dipungkiri, pengalaman mengakrabi topeng selama kurang lebih 10 tahun membuatnya tidak lagi sulit membedakan mana topeng yang asli dan mana yang palsu.
Biasanya dia melihat dari adanya kulit topeng bagian dalam yang menghitam karena tumpukan keringat dan daki dari si pemakainya. “Selain itu, goresan-goresan di dalamnya juga menandakan bahwa topeng itu asli”, tambahnya sambil mengelus-elus bagian dalam topeng.
Dari sekian banyak topeng yang dimilikinya, ada satu topeng yang menurutnya sangat unik. Topeng itu berujud Panji yang memiliki bentuk kepala seperti Buddha. Jadi sepintas tampak seperti patung kepala Buddha. Reno mengaku, yang membuat topeng Budha ini unik adalah bentuknya yang menyerupai Buddha, padahal di Cina sendiri Buddha tidak pernah diwujudkan dalam bentuk topeng. “Ini asli Jawa. Asal tahu saja, di Cina, Buddha tidak dibikinkan topeng, mas.”, akunya.
Karena usia topeng-topeng yang dimiliki Reno cenderung tua, maka tidak heran jika, serbuk-serbuk rayap sering muncul, namun untuk mengantisipasinya, Reno tidak sampai membayar pegawai untuk mengatasinya. Cukup dirinya sendiri yang menyemprot-topeng-topeng itu dengan obat anti rayap, meskipun diakuinya itu tidak sering. Selain itu faktor usia juga mempengaruhi daya tahan kayu topeng itu. Tidak sedikit pula topeng-topeng milik Reno yang patah karena kayunya lapuk.
Ketika ditanya, apakah koleksinya dijual atau tidak. Reno hanya tersenyum. Dia mengaku bahwa baginya mengoleksi topeng bukan untuk bisnis. “Sering orang asing ke sini untuk menanyakan harga topeng-topeng saya. Tapi saya ga bisa kasih. Ya... karena memang tidak dijual”, jelasnya.