Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Thursday, August 27, 2009

Pilih Ngisi Jedhing, Apa Ngisi Ceramah


Monggo pinarak, mas....

Tepangaken, niki foto kula kaliyan Cak Sapari pas dhateng Australia...

Yang dimaksud foto itu tentu bukan foto dirinya, melainkan foto dua ekor kucing yang biasa dijual di pasar-pasar. Celetukan ‘aneh’ semacam itu sudah biasa meluncur dari pelawak ludruk Kartolo. Ia menyambut saya seperti menyambut teman ludrukannya, slengeken.

Itulah keseharian seniman ludruk yang namanya melambung di era 1980-an itu. Guyonan dan dagelan selalu muncul meski dirinya sedang berusaha berbicara serius.

Itulah salah satu ciri yang membuat Kartolo mendapat tempat di hati penggemarnya. Ini pula yang membuat budayawan Sindhunata mengabadikan Kartolo lewat buku Ilmu Ngglethek Prabu Minohek. Menurut Sindhunata, jalan hidup Kartolo memang begitu sederhana. Sangat ngglethek (pasrah).

Kesederhanaan itu tercermin dari gaya hidupnya. Sosok Kartolo yang biasa dikenal sebagai pria yang slengekan, ternyata ketika berada di rumah, ia seorang ayah yang cenderung pendiam.

Ruang tamunya juga kelihatan sederhana. Ada tiga set sofa dengan berbagai hiasan dinding, mulai dari berbagai piagam penghargaan yang dipigura rapi, hingga bebarapa buah foto keluarga dan foto Masjidil Haram besar yang terpampang di dinding sebelah kanan. Cara berpakaianpun juga kelihatan sederhana. Sehari-harinya ia hanya berkaos oblong putih yang dimasukkannya rapi ke dalam celana kain.

Meski nuansa humor dan guyonan kerap muncul tanpa sadar, namun diakui oleh pelawak kelahiran Watuagung, Prigen, Pasuruan tersebut dirinya juga terkadang ingin tampil serius dan khidmat, khususnya ketika berada di tempat ibadah.

”Kadang anggepane wong, wong ludruk itu jauh dari jalan agama,” kata Kartolo, kali ini dengan mimik serius.

Namun anggapan itu ditepisnya. Paling tidak, apa yang dialami jauh dari kesan orang yang tidak nyanthol agama. Bagi suami Kastini ini, keberadaannnya sampai seperti saat ini tak lepas dari kersaning sing gawe urip.

Betapa tidak, pada awal karirnya dulu, ia juga seperti pemain ludruk lainnya. Pindah dari gedong satu ke gedong lainnya. Namun pengalaman itu yang akhirnya menempa dirinya.

”Yang ada di otak saya waktu masih ngeludruk di gedong-gedong, ya cuma makan, tidur. Itu saja. Lha wong saat itu, bisa makan dua kali sehari saja sudah untung,” kata pemeroleh penghargaan ‘Seniman Berprestasi 2005’ dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo.

Hasil dari lara lapa itu menemukan titik baliknya sekitar tahun 1978. Tahun itu dicatat Kartolo sebagai awal dari karirnya di dunia ludruk. Pelawak kelahiran 2 Juli 1947 tersebut, mengaku pernah bermimpi ada suara dalam tidurnya yang mengatakan waktu yang dimilikinya hanya tersisa tiga tahun. Setelah mengalami mimpi itulah, kemudian Cak Tolo, panggilan akrab Kartolo, mulai mengakrabi dunia religius.

Dirinya mulai berpikir pada dasarnya manusia dilahirkan ke bumi dalam kondisi yang lemah. Saat itu, baginya manusia tidak ubahnya hanya makhluk yang memiliki kekuatan yang sangat terbatas. ”Di titik tertentu, manusia itu tidak punya dan tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.

Setidaknya prinsip itulah yang kemudian membuat Kartolo muda kemudian beralih menjadi sosok yang religius, sebuah sifat yang tidak lagi dialaminya setelah dirinya bergabung dengan ludruk.

Memang, masa kecil Kartolo yang dihabiskan di Watuagung, Prigen, Pasuruan, merupakan masa kecil yang selain dekat dengan kesenian, juga dekat dengan agama. Selain berkesenian, yakni karawitan, Kartolo kecil juga dididik agama dengan cukup disiplin, mengingat lingkungan dimana Kartolo tinggal merupakan lingkungan yang bisa dikatakan sebagai lingkungan santri.

Ternyata benar, setelah tiga tahun Kartolo ternyata mengalami sesuatu hal yang benar-benar kemudian mengubah jalan dan nasib hidupnya. ”Kurang lebih di tahun 1980, saya kemudian ditawari rekaman oleh Nirwana Record. Sejak itulah nasib saya berubah drastis,” ungkapnya.

Sejak bergabung dengan Nirwana Record, Kartolo Cs sudah menghasilkan 90 kaset rekaman lakon ludruk. Ini dihasilkannya dalam kurun waktu 1980-1995. Jika dirata-rata, setiap dua bulan sekali Kartolo Cs menghasilkan satu kaset.

Beberapa kaset yang pertama kali ditelurkannya adalah Peking Wasiat dan Welut Ndase Ireng. Sedangkan kaset yang terakhir diproduksi adalah Rujak Kikil. Kaset ini keluar pada 1995, persis saat Basman, rekan pemain ludruk, meninggal dunia.

Sejak lawakannya direkam di pita kaset, hidupnya berubah menjadi lebih baik seiring dengan larisnya kaset rekamannya serta semakin banyaknya job dan show yang dilakoni bersama teman-temannya seperti almarhum Sokran, almarhum Munawar, almarhum Blontang, Sapari, dan Ning Tini, bergabung setelah dinikahi 1974.

Diakui oleh Kartolo, awalnya mimpi itu tidak digubrisnya, namun setelah dirinya mengalami kejadian-kejadian yang dialaminya dalam mimpi-mimpinya tersebut, barulah dia percaya bahwa mimpi pada hakikatnya adalah perlambang akan sebuah peristiwa yang akan terjadi. ”Wis ta lah, ngalah-ngalahi Mama Lorent pokok’e,” ungkapnya sambil terkekeh-kekeh.

Dalam setiap perubahan hidup Kartolo, selalu didahului dengan mimpi. Diceritakannya, dirinya pernah bermimpi dilempar oleh tiga buah bungkusan yang terbungkus kain sarung. ”Ternyata tidak lama setelah itu, karir saya semakin melejit. Seperti nggathuk-nggathukne yo? Tapi itulah kenyataanya,” kenangnya.

Dikatakannya lagi, bahwa suatu hari dirinya pernah bermimpi mengenai hujan deras yang melanda tempat dirinya akan tampil melawak. Ternyata, tidak lama, ketika dirinya sampai di kawasan Dampit, Malang, hujan memang benar-benar turun deras, hingga akhirnya show-nya terpaksa ditunda.

Tidak hanya berkaitan dengan karirnya, tetapi mimpinya pernah berbuah duka. Diceritakan Kartolo, tentang firasat mimpi sebelum adiknya meninggal dunia. Dia bermimpi dimintai sumbangan.”Ternyata, setelah saya bertemu dan dimintai sumbangan salah satu yayasan, lah kok ga lama, saya dapat telepon dari Pasuruan. Adik saya meninggal karena kecelakaan,” kenangnya yang kali ini dengan suara pelan.

Kini Kartolo sudah menyandang haji. Gelar haji itu sudah disandangnya sejak tahun 2001 lalu. Ia mengaku sangat terlambat berhaji, karena baru menuaikan haji setelah usianya tua. Namun Kartolo mengaku tidak menyesal, karena toh bisa memberangkatkan haji kedua orang tuanya.

”Zaman itu, meski kami banyak job, tapi saya dahulukan untuk membahagiakan orang tua saya dulu,” aku bapak dari Gristianingsih dan Dewi Trianti.

Dengan menyandang status haji dan juga ‘orang ngetop’, ketika berada di kampungnya, diakuinya kerap warga lainnya menawarinya untuk menjadi pemimpin mereka, khususnya dalam hal ibadah.

Diceritakannya, dia kerap ditawari untuk menjadi imam dan khatib di masjid kompleksnya yang berada di kawasan Kupang Jaya. Akan tetapi, dengan guyonan dan dagelan pula, Kartolo menanggapi semua tawaran dari warga tersebut. ”Lek aku dadi imam, gelem ta peno terawih mulai jam pitu buyar jam papat isuk? Itu yang saya katakan pada mereka. Akhirnya mereka kan nge­per,” terangnya.

Selain itu, dia juga kerap diminta untuk mengisi ceramah. Dia juga menanggapi tawaran tersebut dengan guyonan. ”Lah mendhing saya ngisi jedhing dulu, baru ngisi ceramah,” ujarnya.

Memang, meski dia terbilang cukup tekun menjalankan ibadah agama, namun Kartolo mengaku masih belum pantas untuk menyandang status yang disebutnya sebagai pelawak dakwah. ”Kalau cuma nyinggung sedikit, gak apa-apa. Tapi kalau sampai serius ngomong soal agama, saya belum berani. Takut salah,” akunya.

Dia mengatakan, dua hal yang dihindari saat melawak adalah politik dan agama.”Itu masalah sensitif. Saya bukan politikus, juga bukan dai. Saya cuma pelawak yang pura-pura jadi politikus dan pura-pura jadi pendakwah,” kata Karlontong...eh..Kartolo.

Wednesday, July 29, 2009

Ketika Bulan tanpa Bintang


Benarkan manusia telah mendarat dibulan. Banyak ahli yang menyangsikan. Tetapai tak sedikit yang bilang, ‘the moonlanding was a hoax.’

Pada tanggal 15 Februari 2001 stasiun TV FOX (disiarkan kembali 2005 oleh Star World Philipines) menyiarkan sebuah program dengan judul Conspiracy Theory: Did We Land on the Moon?. Program ini memberikan bukti-bukti bahwa NASA telah memanipulasi berita pendaratan di bulan.

Video dokumenter yang berisi wawancara dengan beberapa pihak yang mengklaim bahwa NASA tidak pernah mengirimkan astronotnya ke Bulan ternyata berdampak luas. Akibatnya tidak hanya sebagian besar warga Amerika saja yang merasa sangsi akan pencapaian astronot yang selama ini menjadi kebanggan mereka, tapi juga lebih dari 2000 responden di Rusia pun menyatakan ketidakpercayaannya pada Aldrin cs.

Dalam video itu, jika dilihat, maka akan diketahui banyak sekali kebodohan dan pembodohan yang dilakukan oleh pihak NASA untuk meyakinkan masyarakat dunia bahwa mereka memang telah mendaratkan Aldrin cs di permukaan bulan.

Aspek yang paling mendasar adalah video yang diklaim merupakan hasil rekaman langsung dari Apollo 11. Akan tetapi karena saat itu teknologi Amerika belum mampu menciptakan sebuah video high quality untuk sebuah ekspedisi antariksa, maka hasilnya pun selain sudah seharusnya dalam bentuk hitam-putih, juga tidak dalam keadaan yang bagus. Akan tetapi yang sampai pada masyarakat adalah sebuah rekaman video yang bersih dan berkualitas. Bahkan warna bendera AS pun terlihat dengan sangat detail.

Selain itu, pada Apollo 12, meski NASA mengaku melengkapi astronotnya dengan sistem visualisasi yang lebih canggih, yakni sebuah film transparansi khusus yang dibuat oleh Eastman Kodak dibawah kontrak NASA. Layer dari emulsi fotosensitif ini diletakkan dalam ESTAR yang terbuat dari bahan polister, yang biasanya digunakan dalam pembuatan film bergerak.

Aka tetapi, yang perlu diingat, titik leleh ESTAR adalah 490° F, namun penyusutan dan distorsi sudah bisa terjadi pada temperatur 200° F, dan bodohnya, film ini tidak pernah diuji dalam temperatur tersebut, padahal situasi di bulan benar-benar berbeda dengan situasi microwave di dapur kita pada umumnya. Tanpa konveksi dan konduksi, maka panas dapat tersebar karena radiasi.

Dua hal tersebut adalah bersifat teoritis. Jika hal yang bersifat teoritis ternyata masih dinilai terlalu naif, bagaimana jika dengan beberapa hal bersifat lebih teknis dan tentu saja sepele, yakni kebodohan yang dilakukan NASA dalam gambar-gambar yang mereka publikasikan.

Pada salah satu adegan, dua orang astronot berjalan pada satu garis. Harusnya dengan cahaya yang hanya bersumber pada satu titik, yakni matahari, maka memang bayangan yang dimunculkan pun berada pada satu garis, namun yang tampak pada gambar adalah bayangan yang tidak terletak pada satu garis.

Permasalahan bayangan ini memang tampaknya yang paling tidak diperhitungkan oleh pihak NASA. Dalam sebuah gambar tampak seorang astronot yang sedang berjalan di bulan dengan membelakangi satu titik sumber cahaya, yang diperkirakan adalah matahari. Maka, logikanya siluet akan tercipta karena biar bagaimanapun, setitik cahaya terangn di tengah kegelapan tentunya memiki daya penerangan sangat kuat. Apalagi dengan posisi tubuh membelakangi cahaya, maka sudah bisa dipastikan harusnya tubuh astronot tersebut tampakj menghitam karena siluet. Akan tetapi dalam gambar, tubuh astronot tersebut tampak terang.

Kebodohan lain yang juga paling paling menggelikan adalah mengenai siapa yang mengambil gambar ketika LM (Lunar Module) mendarat di permukaan bulan.

Selain ada pula kebodohan-kebodohan lain yang dilakukan oleh pihak NASA lupa memberikan efek bintang pada langit. Jadinya langit yang harusnya tampak berkelap-kelip pun tampak bening, hitam kelam, tanpa ada satu pun bintang.

Selain itu, ada pula salah satu gambar yang menunjukkan ketidak masukakalan NASA dalam membuat rekaman, yakni adanya pantula sumber cahaya yang harusnya itu adalah cahaya matahari tampak begitu terang di kaca helmnya. Logikanya, jika ini adalah benar cahaya matahari, bisa dibayangkan sendiri apa yang akan terjadi dengan penglihatan dan wajah dibalik helm tersebut.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah prosesi pendaratan LM. LM yang memiliki massa 14.696 kg dan dorongan pendaratan mencapai 44,4 kN. Dengan kekuatan seperti itu, maka sudah seharusnya saat pendaratan, akan menimbulkan jejak berupa cekungan yang cukup dalam di permukaan bulan yang berpasir. Akan tetapi, jika dilihat dalam rekaman milik NASA, permukaan bulan tampak masih halus dan rapi, seolah tidak ada pendaratan dari sebuah LM.

Berkaitan dengan permukaan bulan yang berpasir, maka sudah seharusnya, jejak kaki yang ditimbulkan pun tidak begitu detail. Menurut Bill Keysing, jejak kaki yang detail seperti itu hanya bisa muncul pada permukaan tanah yang mengandung air, sehingga sedikit liat.

Selain itu, dengan pasir yang memenuhi permukaan bulan, berarti logikanya pasir tersebut juga akan mengotori kaki-kaki LM. Akan tetapi dalam gambar tampak kaki-kaki LM masih tampak bersih tanpa butiran-butiran pasir mengotorinya.

Di samping itu, masih ada kebodohan lain, yakni bendera Amerika yang tampak berkibar, padahal semua orang juga tahu, bahwa di bulan tidak ada atmosfer, sehingga praktis kondisi di sana adalah hampa udara.

Meskipun masih banyak kekonyolan-kekonyolan lain yang terdapat dalam rekaman video milik NASA, namun bukan berarti tidak ada pihak NASA atau pihak lain yang mencoba melakukan pembelaan terhadap semua sanggahan dan skeptisisme tersebut.

Brian Weelch, misalnya. Seorang juru bicara NASA, mengatakan, segala skeptisisme yang dilancarkan kepada pihak NASA, menurutnya adalah hal yang biasa untuk sebuah pendongkrakan popularitas. Akan tetapi, dirinya tetap menjamin, bahwa foto-foto yang ditampilkan di depan publik adalah memang benar dan nyata.”Terserah bagaimana apresiasi mereka,” ujarnya.

Selain itu, juru bicara NASA yang lain, John Yembrick, mengatakan tuduhan yang dialamatkan pada pihaknya tidak beralasan. Seperti misalnya, bendera yang berkibar, menurutnya bukan karena angin, melainkan karena memang tiang pemancang, diputar oleh Buzz, panggilan akrab Aldrin.

Tuesday, July 21, 2009

Optimisme dari Ujung Pensil

Dengan dominasi hitam-putih, sebuah karya lukisan drawing tentu saja tampak lebih sederhana jika dibandingkan dengan lukisan dengan media cat minyak atau akrilik. Tetapi, jangan salah, ternyata lukisan drawing tidak sesederhana itu. Seperti yang dijelaskan oleh Mufi Mubaroh, seorang perupa kelahiran Pandeglang, Banten 27 tahun silam.

Menurutnya, melukis drawing tidak lebih rumit jika dibandingkan dengan melukis memakai oil atau acrylic. Baginya dalam melukis drawing, seorang seniman juga harus bergelut dengan unsur-unsur drawing, seperti shadow, gradasi, balance, dan volume. Ternyata, ornamen-ornamen itulah yang membuat sebuah lukisan drawing tampak hidup.

Nyatanya, memang itulah yang menjadi kelebihan pada karya-karya perupa lulusan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya tersebut. Dengan cermatnya perhitungan shadow, gradasi, balance, dan volume membuat karya-karyanya tampak hidup dan memiliki karakter yang kuat.

Dengan total 20 karya lukisan drawing yang memang hampir seluruhnya berukuran besar, Mufi Mubaroh menggelar pameran lukisan di Orasis Gallery. Pameran yang diselenggarakan mulai 15-24 Juli 2009 tersebut menampilkan karya-karya lukisan drawing Mufi Mubaroh yang dibuat antara periode 2007-2009.

Meski diakuinya, pada awal karirnya sebagai perupa, dia memang menggunakan oil sebagai media untuk melukis. Akan tetapi, setelah tahun 2003, khususnya saat menjelang tugas akhir kuliahnya, dia mencoba mencari media alternatif, yang murah tapi menghasilkan karya yang tidak kalah dengan oil atau acrylic, dan akhirnya pilihannya jatuh pada drawing. ”Maklum, mas, waktu itu harga oil atau acrylic, benar-benar sedang melangit,” tukasnya.

Setelah melihat hasil karya lukisan drawingnya yang pertama di tahun 2003 tersebut, kemudian muncul kepercayaan dirinya untuk melanjutkan melukis drawing. ”Jadilah akhirnya sampai sekarang,” katanya.

Perkembangan drawing sendiri sebenarnya tidak sepesat lukisan painting. Buktinya, di awal 2007, ketika painting kontemporer tengah mendominasi segala wacana dalam seni rupa, kehadiran Mufi dengan lukisan drawingnya di sebuah pameran yang bertempat di Jogjakarta, sempat menjadi pusat perhatian dari beberapa kalangan, baik seniman, maupun pengamat. Oleh karena itulah pada akhirnya dalam ajang tersebut, dirinya malah mendapatkan penghargaan sebagai lukisan terbaik dalam ajang Muara Seni Jogjakarta, 2004..

Itulah, yang menjadi dasar baginya untuk kemudian beranggapan bahwa drawing ini bisa dikatakannya merupakan semacam gerakan pemberontakan terhadap dominasi painting. Baginya, untuk mencapai detail dari sebuah objek, dengan menggunakan pensil dan charcoal (sejenis arang) pun juga bisa.

Sedangkan, mengenai tema karya, perupa yang juga pernah menjadi finalis dari Jakarta Art Award, 2008 tetrsebut lebih banyak berbicara tentang kekecewaan, khususnya terhadap segala bentuk realitas hidup yang dialaminya. Kekecewaan yang sifatnya lebih personal memang terlihat jelas dalam karya-karyanya.

Meski demikian, kekecewaan itu oleh Mufi diolah sedemikian rupa hingga akhirnya menjadi sebuah rasa optimisme.”Jadi, kekecewaan yang saya alami adalah kekecewaan dari seorang korban yang selalu ingin bangkit kembali,” ujarnya.

Oleh karena itulah, meski sarat akan nuansa kekecewaan, namun, diakui oleh Mufi, karya-karyanya lebih banyak menawarkan solusi dan harapan. Dia mencontohkan pada beberapa karyanya, Mufi banyak memakai simbol optimisme, yakni gambar ‘plus’. ”Gambar tersebut menurut saya lebih bermakna pada rasa optimisme dan harapan di tengah kekecewaan,” ujarnya.

Oleh karena itu, Mufi juga menganggap karya-karyanya adalah seperti kamus, buku, yang memuat berbagai kenangan dan cara berinstrospeksi, merenung, dan kritik diri terhadap berbagai kehidupan dan tentu saja, sejumlah kekecewaan.

Kini, perupa yang tengah berupaya untuk menciptakan sebuah kreatifitas baru, yakni menggabungkan antara teknik drawing yang menggunakan pensil, dengan teknik painting yang menggunakan oil.

Dengan begitu, harapannya, teknik drawing akan menjadi semakin populer dan banyak mengisi ruang-ruang pamer di gallery yang ada di Surabaya

Surabaya Post,
Minggu, 19 Juli 2009

Wednesday, February 11, 2009

1000 Hari memperingati wafatnya Pramoedya Ananta Toer


6 Februari 2009 tepat 84 tahun yang lalu, Pramoedya Ananta Toer, yang dikenal sebagai pengarang beraliran realisme sosialis dilahirkan di Blora, Jawa Tengah.

Pramoedya, di era 50an, mulai muncul pertama kali dengan karyanya yang berjudul Keluarga Gerilya. Dari karyanya ini, Pram, mulai menempati posisi penting sebagai pengarang Indonesia. Karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka menjadi fenomenal karena karyanya ini merupakan karya terbitan Balai Pustaka yang menyisipkan dialog Bahasa Jawa.

Balai Pustaka yang merupakan penerbitan yang didominasi oleh karya-karya yang menggunakan bahasa Indonesia tingkat tinggi, namun karya Pram yang menyisipkan Bahasa Jawa pun ternyata masih dapat diterima. “Inilah yang membuat nama Pram menempati posisi penting dalam kepengarangan Indonesia”, ujar, Maman S. Mahayana, seorang kritikus sastra Indonesia.

Pada awal kepengarangannya, Pramoedya terlahir sebagai pengarang nasionalis. Karya-karyanya berisikan letupan-letupan yang membakar semangat nasionalisme pembacanya. Dengan getolnya Pram membela kebebasan berekspresi seniman-seniman Indonesia. Baginya seorang seniman, sastrawan harus benar-benar terbebas dari apapun yang membelenggu kreativitas mereka untuk berkarya.

Hingga masuk periode 60an, Pram kemudian menggabungkan diri dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Dalam Lekra, praktis Pram hanya menelorkan sebuah karya fiksi saja. Itu pun hanya sebuah cerita pendek. Cerita pendek yang olehnya diberi judul Paman Martil itu ditulis memang merupakan untuk kado ulang tahun PKI. Oleh Maman, cerpen ini diakuinya merupakan karya terburuk sepanjang sejarah karya Pram. “Memang, sepanjang dia tergabung dalam Lekra, praktis proses kreatifnya dalam menulis fiksi terhenti total”.

Selama aktif di Lekra, Pramoedya memang lebih banyak menulis esai-esai yang bersifat propagandis. Semangat ideologisnya yang menggebu-gebu, membuat kreativitasnya untuk menulis karya sastra seolah mandeg.

Politik Adalah Panglima, merupakan jargon yang cukup dikenal. Jargon ini merupakan simbol dari seniman Lekra yang mengedepankan ideologi dalam sebuah karya sastra. Dari sinilah kemudian muncul semacam perlawanan dari sesama seiniman yang menganggap seni khususnya sastra harus terbebas dari ideologi yang bersifat politis, apapun itu bentuknya.

Seniman yang melakukan perlawanan terhadap Lekra adalah seniman yang menamakan diri mereka sebagai Manifesto Kebudayaan. Menurut kelompok ini, seni ataupun sastra sebagai bagian dari kebudayaan, adalah wujud perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Mereka tidak menganggap sebuah kebudayaan berada di atas sektor kebudayaan lain. Inilah yang oleh mereka sebut sebagai Humanisme Universal.

Kendati demikian, hubungan baik terus dijalin baik oleh Pram sendiri, sebagai seniman Lekra, maupun oleh seniman-seniman lain, baik itu Goenawan Mohammad maupun dari Mochtar Lubis sendiri, yang dengan gencarnya menolak dominasi Lekra.

Mengenai ini, Maman menjelaskan bahwa Mochtar Lubis bahkan masih sempat mengunjungi Pram di Pulau Buru. “Meski, memiliki pendapat yang berseberangan, seniman-seniman itu masih berhubungan baik. Mochtar Lubis, misalnya, dia bahkan memberi mesin ketik pada Pram waktu di Buru”, terangnya.

Pasca Pulau Buru, Pram semakin melejit. Tetralogi mahakaryanya membuktikan bahwa Pram memang pengarang berkualitas. Ini masih ditambah dengan beberapa penghargaan diterimanya. Di antara sekian banyak penghargaan, ada satu penghargaan yang menarik. Magsasay. Penghargaan yang diberikan oleh yayasan Ramon Magsasay Filipina kepada Pramoedya atas prestasinya dalam mengangkat harkat dan martabat manusia.

Menariknya, kurang lebih 26 tokoh sastrawan melayangkan surat protes, yang memeprtanyakan kelayakan Pram menerima penghargaan tersebut. Oleh Maman, hal ini dijelaskan bahwa sebenarnya alasan seniman tersebut melayangkan protes bukan karena mereka meragukan kualitas Pram. “Mereka mempertanyakan mengenai Pram yang dulunya pernah membakar buku-buku karya seniman lain, kenapa kok bisa dapet penghargaan?”, terangnya.

Terlepas dari berbagai kontroversi itu, Pramoedya tetap merupakan pengarang yang berkualitas. Dirinya bisa membuktikan bahwa realisme sosialis tidak hanya mengedepankan karya-karya sastra propagandis, karya–karya komunis yang dianggap kiri, namun juga mengedepankan estetika sastra yang membuat karya-karya memiliki kekuatan tersendiri.

Selain itu, kekuatan karya Pram juga menonjol pada fakta-fakta sejarah yang diungkapkannya melalui karyanya. Mengenai hal ini Maman menambahkan bahwa bagi Pram, sejarah merupaka faktor penting bagi proses kreatif dari seorang pengarang. “Bagi Pram, Sejarah itu penting. Sangat penting bahkan”, tambahnya.

Monday, February 2, 2009


Upaya Identifikasi Pisuhan:
Sebuah Dikotomi Antara
Kerangka Moralitas dan Tradisi



Setiap kelompok masyarakat memiliki ciri khas. Karakteristik tersebut tampak, baik dalam bentuk perilaku sehari-hari, konsep pemikiran, prinsip ideologis, perspektif terhadap kehidupan, maupun adat atau kebiasaan yang secara sadar maupun tidak sadar diturunkan kepada generasi-generasi berikutnya. Selain hal-hal tersebut, aspek lain yang menjadi karateristik kelompok masyarakat adalah bahasa.


Bahasa sebagai media komunikasi, merupakan ciri paling menonjol dalam sebuah kelompok sosial. Berbicara mengenai bahasa, tentu saja tidak dapat lepas dari tinjauan sintaksis, semantik, dan semiotis, sebab pada hakikatnya bahasa merupakan sistem tanda, dimana tanda tersebut mengacu pada sesuatu yang pada perkembangannya dapat berimplikasi, baik secara langsung, maupun tidak langsung terhadap masyarakat
Surabaya misalnya, sebagai kelompok sosial yang bersifat homogen, yang dalam hal ini berarti memiliki karakter dan latar belakang kultural yang sama, memiliki sebuah ‘kesepakatan’ yang tidak pernah mereka tulis dalam sebuah peraturan tertulis, yang ternyata masyarakatnya begitu memegang teguh kesepakatan tersebut. Hal yang perlu digaris-bawahi dalam hal homogenitas masyarakat Surabaya ini adalah hanya berlaku pada masyarakat ‘asli’ kelompok tersebut, dalam hal ini adalah anggota masyarakat yang sejak lahir berada di Surabaya. Dengan demikian, yang bersangkutan memliki kedekatan baik secara psikologis maupun kultural terhadap tumbuh kembang tradisi asli Surabaya sendiri.
Tradisi yang menonjol dari Surabaya itu sendiri adalah tradisi pisuhan, yakni merupakan ungkapan (lisan), atau lebih tepat jika dikatakan sebagai kata sapaan antar sesama masyarakat Surabaya yang jarak usianya tidak terlalu jauh. Pada dasarnya, pisuhan tidak hanya terdapat di Surabaya saja. Namun, jika dilihat dari aspek historisnya, pisuhan bisa dikatakan tradisi lisan khas Surabaya, yang tidak bisa dilepaskan dari proses tumbuh kembang kota Surabaya.
Akan tetapi, pada perkembangannya, pisuhan seringkali dikaitkan dengan aspek-aspek moralitas dan norma-norma kesopanan. Hal ini disebabkan masyarakat hanya memandang pisuhan dari aspek leksikalitasnya (makna asli, makna menurut kamus) tanpa memandang muatan-muatan historis yang terkandung didalamnya.
Terlepas dari persoalan moralitas tersebut, pisuhan pada hakikatnya merupakan simbol yang mengacu pada karakteristik watak masyarakat Surabaya yang keras, penuh perlawanan, spontanitas. Berangkat dari sinilah, maka seharusnya pisuhan tidak berimplikasi negatif terhadap perspektif moralitas masyarakat Surabaya sendiri, meskipun pada kenyataanya asumsi negatif tetap ‘dibebankan’ pada pisuhan ini. Persoalan ini akan lebih bisa dipahami jika pisuhan dipandang dari aspek historis.

Pisuhan dalam sudut pandang historis
Tidak dapat dipungkiri, bahwa pisuhan sangat erat kaitannya dengan seksualitas. Salah satu pisuhan yang sudah tidak asing lagi adalah kata ‘jancuk’
Dalam perkembangan yang begitu cepat, kata jancuk menjadi populer. Pergeseran pengucapan tersebut diartikan maknanya oleh arek surabaya. Walaupun ‘kental’ dengan unsur seksualitas namun jancuk menjadi simbol aksen/pengucapan dalam setiap aktifitas arek surabaya. Dalam perang kemerdekaan, kata jancuk menjadi kata pengobar semangat/motifator pejuang selain kata Allahu Akbar. Hal ini bisa diperhatikan dalam film perjuangan, Surabaya 10 November 1945, yang didalam banyak digunakan kata-kata jancok. Jancok dijadikan sebuah ungkapan untuk menumpahkan rasa kesal, kecewa sekaligus juga sebagai motifator. Pada zaman revolusi maupun pada orde baru, kata jancuk menjadi ikon bagi arek arek surabaya. Hal inilah yang menyebabkan sebuah stimulasi terhadap masyarakat Indonesia, ketika mendengar kata jancuk, maka stereotip yang muncul adalah orang tersebut adalh bagian dari masyarakat Surabaya.
Seperti yang sudah disebutkan diatas, bahwa jancuk seringkali diartikan sebagai ungkapan untuk menumpahkan rasa kesal, maka jancuk pun sering diartikan sebagai ungkapan yang memiliki makna yang kotor (baca: tidak senonoh). Disinilah, maka jancuk erat hubungannya dengan persoalan tabu atau tidak tabu, pantas tidak pantas, meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa masyarakat Surabaya sendiri secara turun temurun sudah memberikan sebuah kesepakatan terhadap jancuk itu sendiri: bahwa jancuk merupakan kata yang tabu atau tidak pantas jika diucapkan. Hal ini disebabkan adanya sebuah kesepakatan (tidak tertulis) yang berlaku di sosial masyarakat Surabaya bahwa jancuk memiliki makna yang bersifat seksualitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa, dalam masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang masih (sangat) terikat dengan aturan-aturan moral yang disepakati bersama, unsur seksualitas sangat ditabukan, sangat tidak pantas untuk diucapkan, sehingga akan terasa ‘tidak wajar’ jika kata ini diucapkan begitu saja sebagai sarana komunikasi antar masyarakat. Hal ini tentu saja didukung oleh asumsi bahwa kelompok masyarakat Surabaya adalah kelompok masyarakat berbudaya timur, yang menganggap seksualitas itu adalah sesuatu yang bersifat ‘sakral’.
Jika jancuk disejajarkan dengan asumsi masyarakat yang tersebut diatas, maka perlu adanya jika jancuk dimaknai secara etimologis. Masyarakat memberikan dasar etimologis yang berbeda-beda, kendati demikian tetap saja tidak ada sebuah legitimasi khusus yang secara tertulis terhadap asumsi tersebut. Kendati demikian, seolah mengabaikan legitimasi tersebut, masyarakat Surabaya menganggap asumsi tersebut merupakan suatu kebenaran yang mereka wariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya.
Beberapa dari masyarakat Surabaya—dalam hal ini masyarakat yang berasal dari kampung-kampung lama di Surabaya—memiliki asumsi dan dasar etimologis yang berbeda-beda, warga Pelemahan misalnya, menganggap jancuk sejatinya berasal dari wilayah mereka. Terlepas dari persoalan benar atau tidak benar, jika dilihat dari aspek oral history, anggapan tersebut dapat diterima, mengingat Pelemahan merupakan salah satu kampung tua di Surabaya. Warga Pelemahan menganggap bahwa jancuk secara etimologi merupakan akronim dari Marijan dan Ngencok. Secara historis mereka menganggap bahwa Marijan, sebagai warga Pelemahan yang gemar berhubungan seksual secara bebas tanpa ikatan pernikahan—dalam bahasa Surabaya disebut ngencok.
Asumsi lain yang mendasarkan jancuk secara etimologis adalah anggapan bahwa jancuk merupakan akronim dari bahasa Jawa yakni jaran (terj. kuda) dan ngencok. Asumsi inilah yang lebih banyak disepakati oleh masyarakat Surabaya, artinya secara mayoritas, kebanyakan, masyarakat Surabaya menganggap demikian.
Pada intinya, secara hisoris, dapat dikatakan bahwa jancuk sudah banyak digunakan oleh masyarakat Surabaya, bahkan ketika masa revolusi fisik. Hal ini mengacu pada fungsi utama jancuk sendiri dalam ruang lingkup pergaulan masyarakat Surabaya. Hanya saja, pada masa revolusi fisik, jancuk—secara tidak langsung—dimanfaatkan sebagai motivator. Dalam pekembangannya, secara substansial jancuk tidak mengalami pergeseran fungsi dan peran, yakni tetap sebagai sarana kekerabatan dalam masyarakat Surabaya. Meskipun dalam realisasinya, masih banyak pihak yang mengangap jancuk sebagai pisuhan—suatu jenis ungkapan yang bermakna kotor, tidak senonoh.

Aroma Seksualitas dalam Moralitas Berbahasa (tutur)
Dari berbagai asumsi tersebut, dapat ditarik beberapa kesamaan yang dapat memunculkan sebuah identifikasi terhadap jancuk sendiri. Pertama, jancuk merupakan ungkapan atau kata sapaan yang bersifat olok-olok, artinya jancuk digunakan sebagai bahasa untuk mengejek, mengolok-olok. Kedua, munculnya ‘aroma’ seksualitas yang kental dalam jancuk.
Persamaan-persamaan tersebut dapat dikatakan sebagai hakikat jancuk yang terjadi di masyarakat. Jancuk di masyarakat Surabaya memang dikenal sebagai ungkapan yang yang sangat kental unsur seksualitasnya. Seperti yang sudah tersebut diatas, bahwa jancuk merupakan akronim dari jaran dan ngencok. Dapat diuraikan disini bahwa munculnya kata jaran merupakan simbol laki-laki, simbol keperkasaan. Disamping itu, kuda merupakan simbol sikap liar dan tidak terkendali. Menurut eetimologi dari asumsi jaran dan ngencok tersebut, dapat ditarik sebuah pengertian eksplisit jaran (kuda) yang sedang bersetubuh. Akan tetapi, menurut Srihono, redaktur majalah Penyebar Semangat, dalam sebuah wawancaranya, beliau mengatakan bahwa jancuk itu berarti menuk’e jaran sing diencokno, atau bisa diartikan sebagai proses mengawinkan kuda.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat ditarik sebuah pemaknaan tentang ‘kuda yang dikawinkan (oleh manusia)’. Hal ini terjadi karena memang secara alamiah, kuda tidak dapat melakukan persetebuhan dengan betinanya dikarenakan kelamin kuda yang terlalu besar. sifat kuda yang seperti inilah yang kemudian dapat dikorelasikan dengan karakteristik masyarakat Surabaya, yang memang pada saat itu, sekitar tahun 1930an - 1940an, dikenal memiliki karakteristik sebagai masyarakat yang berwatak keras, dan egaliter—sifat ini yang diturunkan dan menjadi karateristik masyarakat Surabaya hingga kini.
Jancuk digunakan masyarakat Surabaya dalam proses interaksi sosial mereka.masyarakat Surabaya menggunakan jancuk ini sebagai pelengkap berbahasa sehari-hari. Pada awalnya, tidak ada yang memaknai jancuk ini sebagai kata yang berkonotasi negatif, sebab seperti yang diungkapkan diatas, bahwa pada hakikatnya jancuk hanyalah merupakan ungkapan yang menandakan suasana keakraban internal kelompok masyarakat Suarabaya sendiri.
Pada dasarnya jancuk merupakan penanda masyarakat Surabaya yang berwatak keras, bahkan terkesan ‘kasar’. Pernyataan tersebut tidaklah salah, sebab memang secara harfiah, jancuk merupakan akronim dari kosakata yang ‘ditabukan’, namun disisi lain masyarakat Surabaya dikenal sebagai masyarakat yang dalam proses interaksi sosial menganut sistem masyarakat yang bersifat egaliter. Sistem masyarakat yang bersifat egaliter adalah sebuah perilaku sosial dalam sebuah proses interaksi sosial yang tidak membeda-bedakan manusia, terutama dalam ruang lingkup kelompok sosialnya sendiri, dalam hal status dan derajat sosialnya (Kellner, 2003: 215)
Dari pengertian diatas, dapat menggambarkan bahwa jancuk sebagai ciri khas accent Surabaya dapat menggambarkan masyarakat Surabaya yang apa adanya, spontanitas, atau bisa dikatakan ceplas-ceplos.

Jancuk dan Maskulinitas
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa jancuk sangat berkaitan dengan aspek seksual, maka pada penggunannya jancuk sangat ‘patriarkal’, artinya dalam batas kelayakan, pengguna jancuk ini adalah laki-laki. Hal ini dikarenakan harfiah dari jancuk adalah mengarah ke makna ‘kelamin kuda jantan’, yang dalam hal ini diibaratkan sebagai manusia laki-laki.
Pengguna jancuk lebih banyak laki-laki, juga disebabkan karena budaya maskulinitas yang dianut oleh masyarakat timur, khususnya masyarakat Surabaya. Dalam proses interaksi sosial, maskulinitas berpengaruh pada pembedaan posisi laki-laki dan perempuan dalam memandang aspek yang ditabukan salah satunya adalah seksualitas dan sensualitas. Perempuan dianggap sebagai ‘makhluk suci’, sehingga tidak diperbolehkan bersentuhan dengan segala sesuatu yang ‘ditabukan’ (Frehmer, 1995:98). Dalam kenyataannya, sekitar tahun 1952, kendati jancuk sangat akrab pada setiap percakapan masyarakat Surabaya, namun perspektif yang terbentuk di masyarakat adalah sesuatu yang tabu atau dalam istilah Jawa disebut dengan gak ilo’—tidak pantas—jika yang mengucapkan jancuk itu adalah seorang perempuan.
Jancuk pada dasarnya dipakai sebagai kata sapaan, sebagai tanda keakraban. Artinya, kata ini lazimnya hanya dipakai dalam percakapan dua orang atau lebih yang usianya sebaya, atau diucapkan oleh seseoarang yang usianya lebih tua, atau dianggap tua. Dari sini, maka bisa dipastikan, bahwa jancuk praktisnya merupakan bahasa pergaulan, yang digunakan oleh pemuda-pemuda Surabaya.
Kembali, bahwa sebenarnya masyarakat asli Surabaya, tidak mengkotak-kotakkan, apalagi memperdebatkan perkara ini, sebab menurut mereka tidak penting dari mana jancuk itu berasal, menurut mereka, selama jancuk itu digunakan sebagai kata sapaan yang memenuhi persyaratan sebagai bahasa, dimana dapat ‘diterima’ oleh kedua pihak (Suparno, dkk , 1999:27).
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa pada hakikatnya jancuk tidak berkonotasi negatif, namun pada kenyataannya jancuk ada yang menafsirkan negatif. Hal ini sejatinya tidak dimunculkan oleh kelompok asli masyarakat Surabaya, melainkan dari para urban, para pendatang dari wilayah lain yang baik secara langsung, maupun tidak langsung, fisik maupun sosial, telah terpengaruh oleh masyarkat Surabaya, baik itu melalui proses asimilasi, maupun akulturasi. Jika berbicara dengan penafsiran, positif atau negatif, adalah berkaitan erat dengan cara atau teknis pemakaiannya, atau lebih tepatnya jika dikaitkan dengan konteks perilaku pemakainya.
Jancuk dapat ditafsirkan sebagai kosakata yang berkonotasi negatif, jika diucapkan dengan nada tinggi dengan diikuti mimik wajah yang menunjukkan penggunanya sedang dalam keadaan marah. Menurut Srihono yang merupakan pengasuh acara berbahasa Jawa di Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya, hal ini biasanya jancuk dimaksudkan sebagai alat untuk memojokkan atau merendahkan serta memancing supaya lawan bicara dapat membalas kemarahannya.(dalam wawancara tanggal 14 Juni 2007).
Jadi, pada dasarnya, asumsi masyarakat terhadap jancuk sebagai pisuhan di Surabaya, berdasar pada konteks yang ada, perilaku penggunanya dan intonasi pengucapannya.
Pada tahun 1980an hingga 1990an, jancuk dianggap sebagai kata yang ‘sakral’, bukan tabu, sebab pada masa ini, masyarakat Surabaya (merasa) tidak perlu untuk memperdebatkan tentang makna, hakikat dan asal usul kata ini, namun, yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka terlalu ‘segan’ untuk menggunakan kata ini dalam proses interaksi sosial mereka, hal ini disebabkan, jika ada salah satu dari kelompok masyarakat Surabaya yang menggunakan jancuk ini, diklaim sebagai orang yang kasar, dalam arti diasumsikan sebagai orang yang tidak berbudaya, tidak beradab, hingga pada akhirnya, kemungkinan terburuk adalah mereka dapat teralienasi dari kelompok mereka sendiri.
Masyarakat pada masa-masa ini sepertinya lebih nyaman hidup dalam segala sesuatu yang halus dan tertata, mulai dari materi, hingga ucapan. Hal tersebut yang menyebabkan begitu ‘sakralnya’ jancuk di kalangan masyarakat sendiri. masyarakat lebih senang menggunakan kata-kata sapaan baru yang sebenarnya bukan berasal dari Surabaya, misalnya bahasa-bahasa gaul yang lebih banyak didominasi oleh bahasa asli Jakarta, sebagai ibukota dan ‘sentra budaya’ Indonesia pada masa itu.
Terlepas dari penafsiran yang dimunculkan sebagai dikotomi atas keberadaan jancuk sebagai tradisi lisan kelompok masyarakat Surabaya, seharusnya, jancuk ini dapat dilestarikan sebagai salah satu identitas orisinil dari salah satu kelompok masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan peran serta keluarga, terutama orang tua sebagai pilar pertama (dan utama) dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat.
Peran serta keluarga, terutama orang tua sangat diperlukan dalam upaya pelestarian jancuk sebagai salah satu identitas orisinil kelompok masyarakat Surabaya, adalah bukan berarti dalam bentuk sebuah penonjolan terhadap dikotomi penafsiran dari jancuk, namun yang terpenting adalah memberikan sebuah pemahaman bahwa sebuah pisuhan—termasuk jancuk—merupakan ciri khas dari Surabaya, yang harusnya perlu dibanggakan terlebih oleh anggota kelompok masyarakat Surabaya sendiri.
Kendati demikian, orang tua sebagai bagian dari konstruksi masyarakat yang lebih luas, tentu saja tidak dapat melepaskan diri dari konstruksi besar yang melingkupinya,. Dimana dalam konstruksi tersebut, terdapat berbagai macam aturan dan kesepakatan-kesepakatan umum yang telah berlaku di masyarakat, sehingga sepakat atau tidak sepakat, membuat orang tua harus memposisikan dirinya sebagai bagian dari konstruksi sosial tersebut. Dampak nyatanya adalah, orang tua tetap ‘berkewajiban’—paling tidak atas nama moral dan kesusilaan—menanamkan, atau lebih tepat jika dikatakan memaksakan pada anak untuk secara sadar mengasumsikan bahwa pisuhan terutama jancuk adalah sebuah ungkapan yang tidak pantas untuk diucapkan.
Meski keluarga terutama orang tua sebagai pelaksananya menekankan demikian, anak, sebagai bagian dari masyarakat, tentu mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, mereka akan mengalami kontradiksi dan friksi (gesekan) baik secara psikis, maupun ideologi, dengan masyarakat pembentuknya. Kondisi inilah yang pada akhirnya menyebabkan munculnya dikotomi terhadap penafsiran dari jancuk.




DAFTAR PUSTAKA
Frehmer, Carl. 1995. Maskulinitas dan Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Hayakawa, S.I. 1994. Simbol-Simbol, dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat, (ed.). Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Teuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Suparno, dkk. 1994. Komunikasi Massa. Jakarta: Media Pustaka

Kellner, Douglas. 2003. Teori Sosial Radikal. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Wawancara dengan R.M. Srihono, redaktur media Penyebar Semangat 14 Juni 2007

www. surabayacentrin.net.id




Monday, January 19, 2009

Sajak

Berkalung Mendung

demi segala kabut di puncak laut,
aku menunggumu

kerudung yang berkalung mendung
terkibas oleh riuh yang begitu deras
sebab jejak telah demikian koyak
dan waktu begitu bisu,
mengeras keras

tepekur ini,
wujud segala kata yang mengumpar
pada palung yang tak berdasar
serupa hujan yang kutulis, memusar
pada rumput, pada lumut,
dan bangkai perahu yang ditelan dermaga
seperti peziarah yang lelah memunguti arah
dan menyetubuhi tanah-tanah

demi sungai yang berhulu di dadaku,
aku menunggumu

tibatiba rapalan doa
yang menjelma sempurna
menjadi selembar peta
ah, tetapi dunia begitu luka 
bahkan dalam keriuhanmu,
kerudung yang berkalung mendung itu
begitu saja penuh duka
jarakmu, jarakku, jarak kita
adalah wujud maut
berkarib dengan pantai
yang terus susut

bagimu, 
mungkin kerudung bukan sekedar 
berkalung mendung,
sebab bebatu kali
jelmaan langit yang menghantam bumi
hingga membuat tubuhmu: tubuh kita
begitu tak berjarak dari segala
retak

mungkin puisi hanyalah secuil sepi
yang oleh penyair,
dilebur dalam bahasa
yang begitu getir

Surabaya, 2008 

Sebuah Perkenalan

aku mengenalmu dari gumantung kabut
dari gerimis yang dibaptis
laut, adalah persinggahan terakhir
hening tebing terpelanting
mencair, dalam belukar
yang mengungsikan ingataningatan liar
dalam kamar penuh mawar
yang tak pernah terlihat mekar

ijinkan aku menyebutmu, penyairku
sebab syair tak terasa anyir, di tanganmu
takdir mengalir, limbung
sepi yang dilarung mendung
dan segala kerinduan akan kematian
(aroma keranda, jasad kamboja
 dan jejak-jejak mayat yang tersayatsayat)

lalu terciptalah kabut itu,
sebagai wujud perkenalan kita, penyairku

Surabaya, 2008

Surabaya Pos, 18 Januari 2009