Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Monday, September 7, 2015

Melangkah Sepi Antara Seni, Budaya Tani, dan Teknologi


Tak sekadar gerobak, tak pula sekadar bisa mengangkut barang. Gerobak sapi seolah diciptakan tak hanya sebagai alat transportasi belaka, melainkan memiliki nilai estetika tersendiri. Berbeda dengan tahun lalu, peserta Festival Gerobak Sapi 2015 terlihat lebih ‘serius’ mendandani gerobak sapinya.

Kluk. Klunthung. Kluk. Klunthung.

Suara-suara itu terdengar bergantian. Raung motor dan mobil sesekali menyamarkannya.

Lebih dari 227 gerobak sapi beriringan memadati jalanan di lingkar luar Stadion Sultan Agung, Minggu (6/9). Beriringan, mereka berebut jalan dengan kendaraan bermotor yang juga berjalan pelan lantaran ingin menyaksikan karnaval gerobak sapi beraneka bentuk dan ragam itu.

Tak sama dengan festival tahun lalu, gerobak-gerobak itu ini tampil jauh lebih cantik. Detail pernak-pernik aksesoris mulai diperhatikan oleh para bajingan (pengendara gerobak sapi).

Bukan tanpa alasan, bukan pula sekadar pemanis, aksesori itu sejatinya merupakan simbol bangkitnya kembali gerobak sapi di tengah derasnya era teknologi dan modernisasi.

Penggunaan klunthungan misalnya. Aksesori yang biasa dikenakan di leher sapi ini, kini harganya sudah mencapai jutaan rupiah.

Lebih dari itu, bagi para bajingan, penggunaan klunthungan tak sekadar hanya sebagai penghias saja. Bagi mereka, suara ‘klunthung’ yang ditimbulkan dari benda berbentuk genta itu ternyata memiliki nada yang berbeda-beda. “Berdasarkan ukuran klunthungannya,” kata Sariman Muntil, pemilik sekaligus pembuat gerobak sapi asal Prambanan yang mengikuti acara tersebut.

Tak hanya sebagai alat transportasi, dari bunyi yang dihasilkan klunthungan itu, gerobak sapi ternyata memiliki nilai seni yang cukup tinggi. Bunyi klunthungan yang berpadu dengan suara ‘kluk’ dari roda kayu yang berputar pelan, membentuk suatu bebunyian yang terdengar ritmis.

Tentu saja, ini tak terjadi begitu saja. Dikatakan Mbah Muntil, sapaan akrab Sariman Muntil, gerobak sapi yang orisinil, idealnya memang harus memunculkan perpaduan ritmis kedua bunyi itu. Baginya, justru itulah yang menjadi ciri khas dari gerobak sapi.

“Selain dari lajunya yang sangat lambat, tentu saja.”

Itulah sebabnya, setiap membuat gerobak sapi, terutama untuk kebutuhan festival seperti ini, ia selalu menciptakan roda dengan struktur manual. Tanpa laher, katanya. Jadi roda yang dipasang secara manual itulah yang akan memunculkan bunyi ‘kluk’ saat berputar.

Meski hanya festival, para bajingan tak hanya menampilkan gerobak sapi mereka dalam keadaan serba cantik begitu saja. Tak lupa mereka juga menyertakan beberapa barang bawaan di dalamnya. Mulai dari potongan ilalang, karung berisi gabah, hingga tumpukan jerami mereka tumpuk begitu saja di gerobak itu.

Khusus untuk karnaval, peserta memang diharuskan untuk menampilkan gerobak sapi mereka sealami mungkin. Kendati harus dipercantik, peserta diharapkannya juga menunjukkan bahwa gerobak sapi mereka masih berfungsi.

Anjuran itu pun lantas diamini oleh para peserta. Beberapa peserta tampak dengan nyaman menduduki tumpukan jerami yang ada di dalam gerobak mereka masing-masing. Di kemudi, tubuh bajingan tampak bergoyang-goyang, sembari tangannya sesekali melecutkan pelan tali dera ke kaki sapi agar terus berjalan.



Tapi beda lagi dengan kategori custom. Sebaliknya, di kategori custom ini, peserta justru dituntut untuk sekreatif mungkin menghias gerobaknya. Alhasil, 10 gerobak cantik dengan beragam tema aksesoris tak kalah jadi pusat perhatian.

Gerobak dengan tema kursi pengantin misalnya. Gerobak milik Tohbudi, warga Bakulan, Jetisitu mengaku gerobak miliknya bukan sekadar gerobak festival belaka. Setiap masa panen, gerobaknya pasti ramai dipakai untuk mengangkut hasil panen warga sekitar rumahnya. “Memang tak secepat motor sih. Tapi lumayan, jasa angkut dengan harga murah,” celetuknya.

Tak hanya itu, kedua ekor sapi sekaligus gerobak miliknya itu juga terbilang tangguh. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai staf tata usaha di Kejaksaan Negeri (Kejari) Bantul itu beberapa kali melakukan touring gerobak sapi dengan bajingan lain. “Jangan dibayangkan touring kami seperti touring motor. Saya pernah touring dari Bakulan ke Prambanan, butuh waktu 6-8 jam,” celetuknya.

Bukan saja karnaval dan lomba gerobak sapi custom saja, dalam event tahunan itu, juga digelar lomba balap sapi. Berbeda dengan event tahun lalu, lomba balap sapi tahun ini digelar dalam bentuk track lurus tanpa halang-rintang. Dua ekor sapi yang tertambat di satu pancang berlari menembus debu lintasan. Berpacu dengan dua ekor sapi yang lain.

Untuk hadiah, panitia telah menyiapkan total puluhan juta rupiah serta dua troph bergilir. Masing-masing thropy itu di antaranya adalah Piala Bergilir Gubernur DIY untuk juara pertama kategori karnaval, dan trophy bergilir GKR Hemas untuk kategori custom.**