6 Februari 2009 tepat 84 tahun yang lalu, Pramoedya Ananta Toer, yang dikenal sebagai pengarang beraliran realisme sosialis dilahirkan di Blora, Jawa Tengah.
Pramoedya, di era 50an, mulai muncul pertama kali dengan karyanya yang berjudul Keluarga Gerilya. Dari karyanya ini, Pram, mulai menempati posisi penting sebagai pengarang Indonesia. Karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka menjadi fenomenal karena karyanya ini merupakan karya terbitan Balai Pustaka yang menyisipkan dialog Bahasa Jawa.
Balai Pustaka yang merupakan penerbitan yang didominasi oleh karya-karya yang menggunakan bahasa Indonesia tingkat tinggi, namun karya Pram yang menyisipkan Bahasa Jawa pun ternyata masih dapat diterima. “Inilah yang membuat nama Pram menempati posisi penting dalam kepengarangan Indonesia”, ujar, Maman S. Mahayana, seorang kritikus sastra Indonesia.
Pada awal kepengarangannya, Pramoedya terlahir sebagai pengarang nasionalis. Karya-karyanya berisikan letupan-letupan yang membakar semangat nasionalisme pembacanya. Dengan getolnya Pram membela kebebasan berekspresi seniman-seniman Indonesia. Baginya seorang seniman, sastrawan harus benar-benar terbebas dari apapun yang membelenggu kreativitas mereka untuk berkarya.
Hingga masuk periode 60an, Pram kemudian menggabungkan diri dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Dalam Lekra, praktis Pram hanya menelorkan sebuah karya fiksi saja. Itu pun hanya sebuah cerita pendek. Cerita pendek yang olehnya diberi judul Paman Martil itu ditulis memang merupakan untuk kado ulang tahun PKI. Oleh Maman, cerpen ini diakuinya merupakan karya terburuk sepanjang sejarah karya Pram. “Memang, sepanjang dia tergabung dalam Lekra, praktis proses kreatifnya dalam menulis fiksi terhenti total”.
Selama aktif di Lekra, Pramoedya memang lebih banyak menulis esai-esai yang bersifat propagandis. Semangat ideologisnya yang menggebu-gebu, membuat kreativitasnya untuk menulis karya sastra seolah mandeg.
Politik Adalah Panglima, merupakan jargon yang cukup dikenal. Jargon ini merupakan simbol dari seniman Lekra yang mengedepankan ideologi dalam sebuah karya sastra. Dari sinilah kemudian muncul semacam perlawanan dari sesama seiniman yang menganggap seni khususnya sastra harus terbebas dari ideologi yang bersifat politis, apapun itu bentuknya.
Seniman yang melakukan perlawanan terhadap Lekra adalah seniman yang menamakan diri mereka sebagai Manifesto Kebudayaan. Menurut kelompok ini, seni ataupun sastra sebagai bagian dari kebudayaan, adalah wujud perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Mereka tidak menganggap sebuah kebudayaan berada di atas sektor kebudayaan lain. Inilah yang oleh mereka sebut sebagai Humanisme Universal.
Kendati demikian, hubungan baik terus dijalin baik oleh Pram sendiri, sebagai seniman Lekra, maupun oleh seniman-seniman lain, baik itu Goenawan Mohammad maupun dari Mochtar Lubis sendiri, yang dengan gencarnya menolak dominasi Lekra.
Mengenai ini, Maman menjelaskan bahwa Mochtar Lubis bahkan masih sempat mengunjungi Pram di Pulau Buru. “Meski, memiliki pendapat yang berseberangan, seniman-seniman itu masih berhubungan baik. Mochtar Lubis, misalnya, dia bahkan memberi mesin ketik pada Pram waktu di Buru”, terangnya.
Pasca Pulau Buru, Pram semakin melejit. Tetralogi mahakaryanya membuktikan bahwa Pram memang pengarang berkualitas. Ini masih ditambah dengan beberapa penghargaan diterimanya. Di antara sekian banyak penghargaan, ada satu penghargaan yang menarik. Magsasay. Penghargaan yang diberikan oleh yayasan Ramon Magsasay Filipina kepada Pramoedya atas prestasinya dalam mengangkat harkat dan martabat manusia.
Menariknya, kurang lebih 26 tokoh sastrawan melayangkan surat protes, yang memeprtanyakan kelayakan Pram menerima penghargaan tersebut. Oleh Maman, hal ini dijelaskan bahwa sebenarnya alasan seniman tersebut melayangkan protes bukan karena mereka meragukan kualitas Pram. “Mereka mempertanyakan mengenai Pram yang dulunya pernah membakar buku-buku karya seniman lain, kenapa kok bisa dapet penghargaan?”, terangnya.
Terlepas dari berbagai kontroversi itu, Pramoedya tetap merupakan pengarang yang berkualitas. Dirinya bisa membuktikan bahwa realisme sosialis tidak hanya mengedepankan karya-karya sastra propagandis, karya–karya komunis yang dianggap kiri, namun juga mengedepankan estetika sastra yang membuat karya-karya memiliki kekuatan tersendiri.
Selain itu, kekuatan karya Pram juga menonjol pada fakta-fakta sejarah yang diungkapkannya melalui karyanya. Mengenai hal ini Maman menambahkan bahwa bagi Pram, sejarah merupaka faktor penting bagi proses kreatif dari seorang pengarang. “Bagi Pram, Sejarah itu penting. Sangat penting bahkan”, tambahnya.