Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Monday, August 4, 2014

Peristiwa Kotabaru Dalam Bingkai Kethoprak Ringkes




Seorang pemuda terlihat hendak menurunkan bendera Jepang yang tengah berkibar gagah di puncak tiang. Sang saka merah putih yang ada di genggamannya hendak dinaikkannya menggantikan bendera Nippon bergambar matahari terbit itu.
Belum juga bendera merah putih dinaikkannya, salah seorang kawannya mengingatkan pemuda itu untuk tak gegabah menurunkan bendera Jepang. Berdasar maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono IX, penurunan bendera hanya boleh dilakukan jika mendapat dukungan dari seluruh rakyat Jogja. Adegan kemudian beralih pada sosok Siti Ngaisah. Seorang perempuan muda yang dengan gagah berani menurunkan bendera Hinomaru dan menggantinya dengan bendera merah putih.
             
              Itulah penggalan adegan pembuka dalam pementasan Kethoprak Ringkes Tjap Tjonthong yang bertajuk Kotabaru Lunas Janji yang digelar di Taman Budaya pukul 20.00, sejak 1-2 Agustus lalu.
     Sutradara sekaligus penulis naskah Pementasan Susilo Nugroho membenarkan bahwa pementasan itu memang ditulis berdasarkan kisah sejarah. Dikatakannya, kisah yang diadaptasinya itu merupakan peristiwa bersejarah yang melibatkan laskar rakyat Jogja menghadapi pasukan Jepang yang ketika itu tengah menduduki wilayah Jogja dan berpusat di kawasan Kotabaru. Sebagai catatan, persitiwa heroik itu sendiri terjadi pada 5 Oktober.
     Oleh karena itulah, dalam penulisan naskahnya, seniman yang akrab disapa Den Baguse Ngarso itu mencoba untuk mencari referensi data tak hanya dari buku-buku sejarah saja, melainkan juga dari hasil penuturan beberapa pelaku sejarah. Akan tetapi, ia mengaku tidak mendapatkan banyak informasi terkait hal itu.
     Itulah sebabnya, proses penulisan naskah untuk pementasan itu, diakuinya memakan waktu yang cukup lama, yakni mencapai 3 bulan. Namun, untuk proses latihannya sendiri, ia mengaku tak lebih dari sebulan saja.
     Dalam pementasan itu, Jepang yang sudah kehilangan kekuasaan politiknya memang seharusnya tidak lagi menduduki Indonesia. Namun nyatanya, Jepang masih saja bersikap seolah mereka tetap memiliki kekuasaan atas tanah air ini. Mereka berusaha melucuti senjata milik rakyat dan laskar Jogja. Hal inilah yang memicu kemarahan masyarakat Jogja.
     Akibatnya, laskar dari seluruh golongan dan usia pun bergerak. Dalam pementasan itu, Susilo Nugroho memang tidak menampilkan keseluruhan tokoh yang terlibat dalam adegan peristiwa bersejarah tersebut.
Susilo Nugroho

     Sebagai pementasan, Susilo hanya hanya menampilkan beberapa tokoh saja, seperti misalnya Faridan Noto yang dikenal sebagai pemuda gagah berani yang mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan Jogja dari pendudukan Jepang. Selain itu ada pula Umar, Sudarsono, Retno Wilis, dan Sampiran. Mereka kemudian menggalang kekuatan dengan caranya sendiri tanpa komando yang jelas, namun tetap kompak untuk mencapai tujuan yang sama.
     Di luar tokoh-tokoh fakta tersebut, Susilo ternyata juga menyisipkan seorang tokoh rekaan bernama Kamuna yang diperankannya sendiri. Melalui tokoh itulah, Susilo ingin menyampaikan pesan moral bahwa ketika masa perjuangan, rakyat bisa bersatu. Akan tetapi ketika tujuan kemerdekaan itu telah dicapai, sangat mungkin rakyat akan kembali terpecah. Perpecahan bukan lagi disebabkan oleh kehadiran penjajah, melainkan disebabkan oleh kepentingan rakyat sendiri. Setidaknya, dari tokoh Kamuna inilah Susilo ingin menggambarkan kondisi itu.(JUN)

lihat galeri foto di galeri foto

Pementasan Kethoprak Ringkes Tjap Tjonthong 'Kotabaru Lunas Janji'


Lukisan Kaca, Antara Eksistensi dan Saksi Sejarah Seni

Foto: Harian Jogja
Meski telah menjadi bagian dari sejarah panjang seni rupa Indonesia, seni lukis kaca belum diketahui secara pasti kapan mulai masuk ke Indonesia.
     Terkait hal ini, peneliti dari Institut Nasional des Laungues et Civilisations Orientales, Paris, Jerome Samuel yang pernah melakukan penelitian lukisan kaca di Indonesia, memperkirakan bahwa lukisan kaca paling cepat masuk ke Indonesia pada dasawarsa terakhir abad ke-19.             
              Menurutnya, sampai paruh pertama abad ke-19 kaca masih merupakan sejenis barang atau bahan yang mewah dan sangat mahal, rasa mewah terhadap bahan kaca itu terjadi baik di Indonesia maupun di Asia, termasuk Cina dan Jepang.
     Samuel pernah mencari data tentang kaca dalam arsip laporan tahunan VOC di Batavia, untuk kantor pusat di Amsterdam. Di dalam laporan itu, terdapat beberapa catatan tentang import barang-barang kaca dari Belanda atau Eropa untuk dijual atau diberikan sebagai hadiah kepada raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia. Tapi VOC lebih banyak menjual atau memasok kaca ke India, Cina, dan Jepang, Di Indonesia sendiri kaca tetap langka sampai awal abad ke-20, kecuali untuk kalangan terbatas.
     Di Jawa, menurut Samuel, keberadaan lukisan kaca dapat dibuktikan dengan keikutsertaan Jat, seorang pelukis dari Kupang Praupan, Surabaya, yang ikut serta dalam Pasar Malam tahunan di Surabaya, baru pada tahun 1908.
     Keberadaan tersebut diabadikan dalam foto laporan acara tersebut. Hardiman juga menambahkan bahwa, ada cerita yang berbeda dengan Samuel, yaitu tentang lukis kaca dari pantai Kuta, Bali. Tersebutlah seorang perempuan cantik keturunan Cina. Perempuan nan jelita ini dinikahi laki-laki berkebangsaan Denmark, Mads Lange. Suatu hari, tahun 1884, perempuan cantik ini dilukis dia atas permukaan kaca oleh seorang pelukis Cina. Kemudian hasil lukisan kaca itu, oleh berbagai kalangan dianggap sebagai lukisan kaca pertama yang ditemukan di Indonesia. Kini lukisan tersebut tersimpan di suatu museum di Denmark.
     Sejarah lukisan kaca Indonesia, sebagian besar masih tersembunyi. Tetapi pada kenyataannya lukisan kaca di Jawa pernah mengalami masa jaya pada tahun 1930-an hingga akhir 1950-an adalah fakta yang kerap diungkap. Pada masa itu, lukisan kaca bertalian dengan tanda status sosial tertentu. Pemilik lukisan kaca adalah mereka yang sukses berdagang, telah naik haji, atau sekurang-kurangnya telah menikah. Lukisan kaca juga berfungsi sebagai penguat hubungan batin antara pemilik lukisan kaca dengan tokoh wayang dalam lukisan yang dimilikinya.
     Perlu diketahui tema-tema lukisan kaca yang dikoleksi oleh para orang kaya di Jawa, pada umumnya lukisan Hanoman, Kresna, Bratasena, Semar dan sebagian yang lain tema lukisan diambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Selain itu juga ditemukan lukisan berupa dua pengantin, legenda para Nabi, lukisan masjid Demak, kaligrafi Arabeska dan sebagainya.
     Dengan tema-tema tersebut lukisan kaca dapat berkembang dengan baik sampai tahun 50-an. Keberlanjutan tema yang disukai masyarakat masih baik, sampai awal tahun 70-an. Mulai tahun 70-an muncul nama-nama pelukis kaca yang cukup dikenal masyarakat, seperti Karto, Sastradiharjo (Sastra Gambar), Maryono, Yazid, Maruna, Sudarga, Harun, Rastika dan sebagainya. Selain itu, belakangan muncul  nama yang berasal dari kalangan kampus seni juga muncul, seperti Haryadi Suadi, Suatmaji, AB Dwiantoro, Arwin Hidayat, Ismoyo, Supono, Paikun, Mahyar, Murjiyanto, Pracoyo, Priyo Sigit, Rohman, Subari dan sebagainya, yang terus ikut menyemarakkan seni lukis kaca sampai jelang tahun 90-an.
     Sementara perkembangan seni lukis kaca di Bali, juga kurang lebih sama seperti di daerah lain di Indonesia. Di Bali seni lukis kaca dapat dilacak keberadaannya di wilayah Buleleng, tepatnya di Desa Nagashepa. Dari sana lahir nama-nama besar pelukis kaca seperti Jro Dalang Diah (pendiri komunitas pelukis kaca Nagashepa), I Kadek Suradi, I Nengah Silib, I Ketut Samudrawan, dan I Ketut Santosa dan sebagainya. Dari aspek kenyataan sejarah inilah lukis kaca berjalan ke arah waktu kedepan tiada henti dengan kekuatannya sendiri.
     Di era 1950-an hingga akhir tahun 1970-an pasar lukisan kaca masih berjaya dan banyak diminati. Lukisan kaca banyak dibeli, dikoleksi oleh kelompok petani kaya, yang mempunyai sawah berhektar-hektar. Para petani yang kaya itu umumnya tinggal di desa-desa di wilayah Kabupaten. Pada waktu itu, para pelukis kaca kerap menjajakan lukisan kaca ke desa-desa di kecamatan, bahkan kelurahan. Tak jarang, petani sukses itu sendiri yang datang ke desa dimana para pelukis kaca berkarya, mereka memesan lukisan kaca dengan tema-tema yang sesuai dengan permintaan. Inilah keadaan, dimana komunikasi antara perupa dan petani (masyarakat) menjadi aktif, sehingga untuk memudahkan bagi pelanggan, maka para pelukis membawa karya-karyanya ke pasar, untuk dijualnya didekatkan dengan pembelinya.
     Pendekatan komunikasi melalui pasar ini terkait dengan citra status sosial petani (pasar) yang menjadi meningkat dengan memajang lukisan kaca di rumahnya. Khususnya di Bali, lanjut Hardiman, pasar itu kini adalah cerita lama yang telah mati.
     Pasar seni lukis kaca lama itu pun kini diganti dengan pasar baru, yang hanya diminati orang asing, itu pun orang-orang yang memang mempunyai perhatian terhadap seni tradisi, para peneliti, antropolog, atau seniman yang punya kepentingan khusus dengan lukisan kaca.
     Sedikit kaum intelektual lokal yang mencintai tradisi, yang kemudian mengoleksi lukisan kaca barang satu atau dua lembar saja. Dan pasar baru itupun jumlahnya sungguh amat sedikit, bisa dihitung dengan jari. Di Bali, hingga saat ini komunitas seni lukis kaca yang masih hidup hanyalah di desa Nagasepaha, Buleleng. Di desa yang terletak tujuh kilometer ke arah Timur dari kota Singaraja itu, terdapat belasan pelukis kaca yang aktif berkarya juga berpameran. Namun demikian, seni lukis kaca merekapun suatu saat akan terpinggirkan oleh arus utama seni lukis masa kini. Bahkan medan sosial seni rupa Bali cenderung memosisikan seni lukis kaca sebagai seni nista, seni kelas dua, milik para pengrajin belaka.
     Keadaan itu juga terjadi di hampir seluruh pusat-pusat lukis kaca di Jawa, sebagian besar mereka beralih profesi untuk menjadi petani buruh, merantau di kota atau tetap membuat lukisan bila ada pesanan. Memang ada usaha untuk melestarikan lukis kaca, khususnya lembaga pendidikan seni dengan membuka mata pelajaran seni lukis kaca, seperti di beberapa sekolah menengah seni rupa dan kerajinan, bahkan lembaga pendidikan tinggi seperti ISI Solo, juga mengkhususkan kearah pelestarian seni tradisi, termasuk mata kuliah lukis kaca. Tetapi usaha-usaha tersebut, belum membuahkan gaung yang walau telah membumi di persada Nusantara.(JUN)

Membaca Karya Para Penjinak Kaca


Salah seorang pengunjung mengamati salah satu karya seni lukis kaca dalam 'Penjinak Kaca' di Tembi Rumah Budaya
Selama ini seni lukis kaca lebih dianggap sebagai seni rupa tradisi yang stagnan dan tidak dinamis. 
Di satu sisi memang benar. Mengingat seni rupa dengan teknik melukis permukaan kaca sejauh ini tak banyak perupa yang menerapkannya, seni lukis kaca juga lebih dianggap sebagai seni tradisi yang tidak kontemporer.
Namun, di sisi lain, anggapan ini tak sepenuhnya benar. Pasalnya, dengan berkembangnya seni rupa di Indonesia, seni lukis kaca menjadi semacam teknik sekaligus genre tersendiri dalam seni rupa yang bisa dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terkesan lebih dinamis.
Setidaknya, hal inilah yang ingin ditunjukkan oleh 4 perupa dari 4 kota yang berbeda ini. Dalam pameran seni rupa yang digelar di Tembi Rumah Budaya sejak 11 Juli-11 Agustus 2014 tersebut, keempat perupa, yakni masing-masing Hadi Koco (Surabaya), Ketut Santosa (Bali), Rina Kurniyati (Yogyakarta), dan Nugroho (Magelang) ingin menunjukkan bahwa lukisan kaca kini telah berkembang melampaui kebiasaan, konvensi, dan proses teknik yang selama ini ada. 
Menurut Kurator Pameran, Mike Sutanto, hal ini bukanlah sebuah upaya untuk melawan arus. Akan tetapi, upaya keempat perupa itu lebih pada penciptaan 'area' kreativitas sendiri. "Karena mereka tergolong perupa yang konsisten sebagai seorang pelukis kaca," tuturnya.
Meski menampilkan karya sejenis, yakni lukisan kaca, namun keempat perupa itu terlihat menampilkan lukisan dengan masing-masing gayanya. Sebut saja misalnya Ketut Santosa yang lebih menampilkan perpaduan unsur tradisi dengan menggunakan teknik dekoratif. Selain itu, karya Ketut Santosa juga lebih mengarah pada penyuluhan terhadap masyarakat terkait isu-isu sosial seperti misalnya kesehatan.
Sedangkan Hadi Santosa, dengan gaya realisnya lebih menampilkan karya-karya yang memotret segala realita yang ada di sekitarnya. Tak hanya itu, perupa asal Surabaya ini juga menampilkan beberapa karya potretnya, seperti misalnya lukisan Nelson Mandela, dan Sukarno. Sementara perupa tuan rumah, Rina Kurniyati lebih menampilkan karya-karya pop yang superrealistik. Tak heran dalam pameran tersebut, Rina menampilkan beberapa karya berupa lukisan gambar muka sebuah mobil tua.
Begitu pula dengan Nugroho, perupa asal Magelang yang lebih menampilkan karya-karya ekspresif dan terkesan liar. "Uniknya, perupa ini [Nugroho] juga menampilkan karya instalasinya," imbuh Mike.
Intinya, menurut Mike, keempat perupa itu sepertinya memang mengemban misi tersendiri. Sebagai kurator, ia membaca misi itu adalah sebuah upaya pembongkaran makna lukisan kaca yang selama ini dikenal sebagai 'Folksong in Paint' menjadi 'Social/Personal in Paint'. "Inilah yang menyebabkan pameran ini kami beri titel Para Penjinak Kaca," simpulnya.
(Harian Jogja, 4 Agustus 2014)

baca juga: Lukisan Kaca, Antara Eksistensi dan Saksi Seni