Seorang pemuda terlihat hendak menurunkan bendera Jepang yang tengah berkibar gagah di puncak tiang. Sang saka merah putih yang ada di genggamannya hendak dinaikkannya menggantikan bendera Nippon bergambar matahari terbit itu.
Belum juga bendera merah putih dinaikkannya, salah seorang kawannya mengingatkan pemuda itu untuk tak gegabah menurunkan bendera Jepang. Berdasar maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono IX, penurunan bendera hanya boleh dilakukan jika mendapat dukungan dari seluruh rakyat Jogja. Adegan kemudian beralih pada sosok Siti Ngaisah. Seorang perempuan muda yang dengan gagah berani menurunkan bendera Hinomaru dan menggantinya dengan bendera merah putih.
Belum juga bendera merah putih dinaikkannya, salah seorang kawannya mengingatkan pemuda itu untuk tak gegabah menurunkan bendera Jepang. Berdasar maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono IX, penurunan bendera hanya boleh dilakukan jika mendapat dukungan dari seluruh rakyat Jogja. Adegan kemudian beralih pada sosok Siti Ngaisah. Seorang perempuan muda yang dengan gagah berani menurunkan bendera Hinomaru dan menggantinya dengan bendera merah putih.
Itulah penggalan adegan pembuka dalam pementasan Kethoprak Ringkes Tjap Tjonthong yang bertajuk Kotabaru Lunas Janji yang digelar di Taman Budaya pukul 20.00, sejak 1-2 Agustus lalu.
Sutradara sekaligus penulis naskah Pementasan Susilo Nugroho membenarkan bahwa pementasan itu memang ditulis berdasarkan kisah sejarah. Dikatakannya, kisah yang diadaptasinya itu merupakan peristiwa bersejarah yang melibatkan laskar rakyat Jogja menghadapi pasukan Jepang yang ketika itu tengah menduduki wilayah Jogja dan berpusat di kawasan Kotabaru. Sebagai catatan, persitiwa heroik itu sendiri terjadi pada 5 Oktober.
Oleh karena itulah, dalam penulisan naskahnya, seniman yang akrab disapa Den Baguse Ngarso itu mencoba untuk mencari referensi data tak hanya dari buku-buku sejarah saja, melainkan juga dari hasil penuturan beberapa pelaku sejarah. Akan tetapi, ia mengaku tidak mendapatkan banyak informasi terkait hal itu.
Itulah sebabnya, proses penulisan naskah untuk pementasan itu, diakuinya memakan waktu yang cukup lama, yakni mencapai 3 bulan. Namun, untuk proses latihannya sendiri, ia mengaku tak lebih dari sebulan saja.
Dalam pementasan itu, Jepang yang sudah kehilangan kekuasaan politiknya memang seharusnya tidak lagi menduduki Indonesia. Namun nyatanya, Jepang masih saja bersikap seolah mereka tetap memiliki kekuasaan atas tanah air ini. Mereka berusaha melucuti senjata milik rakyat dan laskar Jogja. Hal inilah yang memicu kemarahan masyarakat Jogja.
Akibatnya, laskar dari seluruh golongan dan usia pun bergerak. Dalam pementasan itu, Susilo Nugroho memang tidak menampilkan keseluruhan tokoh yang terlibat dalam adegan peristiwa bersejarah tersebut.
Susilo Nugroho |
Sebagai pementasan, Susilo hanya hanya menampilkan beberapa tokoh saja, seperti misalnya Faridan Noto yang dikenal sebagai pemuda gagah berani yang mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan Jogja dari pendudukan Jepang. Selain itu ada pula Umar, Sudarsono, Retno Wilis, dan Sampiran. Mereka kemudian menggalang kekuatan dengan caranya sendiri tanpa komando yang jelas, namun tetap kompak untuk mencapai tujuan yang sama.
Di luar tokoh-tokoh fakta tersebut, Susilo ternyata juga menyisipkan seorang tokoh rekaan bernama Kamuna yang diperankannya sendiri. Melalui tokoh itulah, Susilo ingin menyampaikan pesan moral bahwa ketika masa perjuangan, rakyat bisa bersatu. Akan tetapi ketika tujuan kemerdekaan itu telah dicapai, sangat mungkin rakyat akan kembali terpecah. Perpecahan bukan lagi disebabkan oleh kehadiran penjajah, melainkan disebabkan oleh kepentingan rakyat sendiri. Setidaknya, dari tokoh Kamuna inilah Susilo ingin menggambarkan kondisi itu.(JUN)
lihat galeri foto di galeri foto