Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Tuesday, September 30, 2014

Parade Foto Pentas Jemek Supardi


Kecemasan Masa Depan Para Manusia Koran


Teknologi adalah musuh sekaligus sahabat bagi manusia. Pesan itulah yang kiranya ingin disampaikan oleh pantomimer (sebutan bagi seniman pantomim) asal Yogyakarta, Jemek Supardi melalui pentas 3 repertoarnya 'Manusia Koran, Tukang Cukur, dan Kotak-Kotak'. 




Pojok Benteng Timur yang biasa sunyi di tengah riuh kota Jogja, Kamis (26/9) malam itu penuh sesak. Sorot lighting yang redup dan deretan lampion mempercantik salah satu titik bersejarah Yogyakarta itu.
Setelah dibuka oleh penampilan grup musik Adakalanya, pentas utama pun segera dimulai. Jemek Supardi mulai masuk ke area panggung yang berpropertikan rangka kubus beragam ukuran serta 3 buah manekin berbungkus koran. Iringan backsound membuat setiap gerak Jemek malam itu terasa lebih dramatis.

Tak hanya sendiri, aksi gerak pantomim Jemek Supardi malam itu disusul oleh 2 orang seniman pantomim lainnya. Alhasil, perpaduan gerak Jemek Supardi dan kedua seniman itu membuat pertunjukan pantomim itu terasa lebih kompleks.

Repertoar pertama, 'Manusia Koran' dibuka dengan aksi ketiga seniman pantomim Jogja itu dengan memeragakan adegan laiknya seorang pedagang koran. Dengan backsound keramaian lalu lintas membaya imajinasi penonton pada kerasnya kehidupan yang dilakoni oleh para penjual koran yang diperankan ketiga seniman itu.

Tak cukup disitu, Jemek kemudian menghamparkan lembaran koran besar untuk menutupi tubuh kecilnya. Tidak lama, barulah kepalanya nampak muncul dari balutan koran itu. Ia muncul sambil memegang sebuah tablet. Dengan mimik wajah girang, ia memainkan gadget itu. Melalui adegan ini, Jemek ingin menyampaikan pesan bahwa keberadaan para penjual koran kian terpinggirkan oleh kemajuan teknologi. "Ngapain orang susah-susah beli-baca koran. "Tinggal buka internet dari gadget sudah bisa baca koran. Kalau terus seperti ini, bagaimana nasib para penjual koran ini," ucap Jemek saat ditemui wartawan usai pentas.

Repertoar kedua yang berjudul Tukang Cukur tak dibawakan oleh Jemek Supardi, melainkan oleh seorang seniman pantomim muda, Vicky Tri Sanjaya. Aktor teater muda Yogyakarta ini memerankan seorang tokoh Tukang Cukur yang kian sulit mencari pelanggan. Tentu saja, Tukang Cukur yang diperankannya di sini bukanlah tukang cukur yang menunggu pelanggan dalam sebuah salon kecantikan atau barbershop, melainkan seorang tukang cukur keliling yang biasa mangkal di bawah pohon-pohon besar.

Backsound hujan dan petir kian membuat akting Vicky terlihat lebih dramatis. Mimiknya yang sedih lantaran harus berjuang mencari pelanggan di tengah derasnya hujan menyiratkan beratnya hidup seorang tukang cukur keliling yang keberadaannya kini memang kian terpinggirkan.

Barulah, di repertoar terakhir berjudul Kotak-Kotak, Jemek kembali tampil bersama kedua seniman pantomim itu. Ketiganya memanfaatkan keberadaan rangka-rangka kubus beragam ukuran itu sebagai media akting. Pentas 3 repertoar yang berdurasi sekitar 45 menit itu jelas sekali terasa aroma kritik terhadap manusia yang mulai kehilangan kemanusiaannya lantaran iming-iming teknologi.

Teknologi hadir memang menjanjikan dan menawarkan segala kemudahan dalam menjalani hidup. Manusia yang tak bisa dengan dewasa menyikapinya dipastikan akan kehilang sifat kemanusiaannya. Seniman asli Pakem, Sleman itu berusaha mengingatkan bahwa kondisi manusia kini telah terkotak-kotakkan. Hanya saja, sedikit manusia yang sadar bahwa pada dasarnya kotak kecil yang menjadi esensi kehidupan telah menanti manusia. Kotak itu ialah bernam kematian. Kalau sudah bicara modernisasi, manusia memang kerap seolah lupa dengan kotak yang satu ini.

Saat ini, manusia memang telah mengaburkan esensi dari segala aspek kehidupannya. Contohnya adalah di repertoar ke-2 berjudul 'Tukang Cukur'. Manusia kini telah mengaburkan esensi dari cukur rambut itu sendiri. Cukur rambut yang esensi sebenarnya adalah memotong rambut agar terlihat rapi, kini telah bergeser ke arah gengsi dan gaya hidup. Akibatnya, manusia memilih untuk potong rambut di salon daripada di tukang cukur keliling.




Pantomim dan ruang publik

Jemek Supardi memang dikenal sebagai seorang pantomimer jalanan. Ia lahir dan dibesarkan di jalanan. Maka, di jalanan pula lah ia ingin berkarya. Melalui pantomim, ia percaya dan yakin bisa memberikan hiburan sekaligus pencerahan kepada publik. Ruang publik seperti taman kota, trotoar, hingga pusat perbelanjaan menjadi panggung megah baginya. Dengan mementaskan karyanya di ruang publik, ia bisa berinteraksi langsung dengan penonton.

Jemek Supardi sendiri menekuni bidang pantomim secara total hingga dia merasa bahwa pantomim adalah bagian dari hidupnya. Menurut Jemek, di Indonesia ini belum ada orang yang secara konsisten menekuni bidang tersebut. Pria kelahiran Yogyakarta, 14 Maret 1953 ini semula menekuni teater tetapi kemudian dia merasa ada kekurangan dalam dirinya untuk mendalami bidang tersebut, terutama dalam hal menghafal naskah. Ia pun lantas menjatuhkan pilihan pada seni pantomim yang lebih mengandalkan gerak tubuh. Pantomim telah ditekuni selama kurang lebih tiga puluh tahun.

Sepanjang waktu itu, tidak terbersit pikirannya berpindah profesi demi memegang teguh prinsip dan konsistensinya pada pilihan hidup, yakni berpantomim. Jemek menempuh pendidikan dasarnya hingga berakhir di SMSR.

Selanjutnya ia lebih fokus pada dunia teater, terutama pantomim. Keahlian itu ia dapatkan sendiri atau belajar secara otodidak. Ia menciptakan seni dalam bahasa gerak berdasarkan imajinasinya. Tidak ada tokoh yang memberi ilmu tentang pantomime kepadanya. Karya seni mime Jemek Supardi biasanya dibawakan tunggal dan kolektif. Selama 35 tahun ia berkesenian, telah banyak karya telah dilahirkan, antara lain: Sketsa-sketsa Kecil (1979), Dokter Bedah (1981), Perjalanan Hidup Dalam Gerak (1982), Jemek dan Laboratorium, Jemek dan Teklek, Jemek dan Katak, Jemek dan Pematung, Arwah Pak Wongso, Perahu Nabi Nuh (1984), Lingkar-Lingkar, Air, Sedia Payung Sesudah Hujan, Adam dan Hawa, Terminal-Terminal, Manusia Batu (1986), Kepyoh (1987), Patung Selamat Datang, Pengalaman Pertama, Balada Tukang Becak, Halusinasi, Stasiun, dan Wamil (1988), Soldat (1989), Maisongan (1991), Menanti di Stasiun, Sekata Katkus du Fulus (1992), Se Tong Se Teng Gak (1994), Termakan Imajinasi (1995) Pisowanan, Kesaksian Udin, Kotak-Kotak, Pak Jemek Pamit Pensiun (1997), Badut-Badut Republik atau Badut-Badut Politik, Bedah Bumi atau Kembali ke Bumi, Dewi Sri Tidak menangis, Menunggu Waktu, Pantomim Yogya-Jakarta di Kereta (1998), Kaso Katro (1999) Eksodos (2000), 1000 Cermin Pak Jemek (2001), Topeng-topeng (2002), Air Mata Sang Budha (2007),  Mata-Mati, Maesongan#2, Menunggu (Kabar), dan Kematian (2008).**

Foto-foto lihat di sini