Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Monday, November 3, 2014

Jejak Blues dalam Gerak Bayangan Tangan

Musik bernada jazz mulai mengalun di ruangan gelap yang berada di kompleks Tembi Rumah Budaya, Senin (27/10) malam itu. Lagu blues berjudul Hoss 'Flat yang populer di tahun 1950-an itu menjadi musik pembuka pentas Teater Bayangan Tangan (Hand Shadow Theatre) yang dipentaskan oleh kelompok teater asal Georgia, Budrugana Gagra.


Bersamaan dengan itu, di layar kain putih yang disorot lampu dari baliknya, muncul bayangan tokoh utama pentas itu, Louis Armstrong yang berujud beruang kecil. Dengan gerak ritmis, tokoh beruang kecil itu bergerak seolah-olah tengah menyanyikan lagu tersebut.

Tak hanya sendiri, dalam pentas bertajuk 'Isn't This A Lovely Day' itu, Louis Armstrong muncul dengan beberapa tokoh satwa lain, seperti kepiting, laba-laba, jerapah, serta beberapa tokoh abstrak seperti boogie-woogie. Tokoh-tokoh tersebut muncul mengiringi gerak Louis Armstrong yang secara runtut tengah menyanyikan beberapa lagu jazz dan blues.

Tak seperti pentas teater bayangan pada umumnya, pada pentas yang digelar selama 2 hari sejak 26-27 Oktober tersebut, semua tokoh yang tampil diciptakan dari gerak tangan para pemain yang berada di balik layar kain putih.

Memang, Budrugana adalah kelompok teater bayangan tangan asal kota Gagra, Georgia. Sejak berdiri 17 tahun lalu, kelompok teater yang terdiri dari berbagai disiplin seni itu secara konsisten mementaskan kelihaian mereka dalam membentuk tokoh dan figur, mulai dari satwa hingga tokoh rekaan (abstrak-imajinatif) dengan menggunakan gerak tangan.

Dalam pentas berdurasi 80 menit itu, Sutradara Gela Kandelaki yang merupakan penggila musik jazz memang tidak hanya menampilkan ringkasan perjalanan hidup maestro jazz dan blues, Louis Armstrong saja. Lebih universal, dalam pentas tersebut lebih banyak bercerita tentang hakikat hidup, persahabatan, kebahagiaan, dan kesedihan. Latar belakang Louis Armstrong yang seorang Afro-Amerika menginspirasi Gela Kandelaki untuk membumbui pementasannya kali ini dengan kultur Afrika. Itu sesuai dengan karakter beragam satwa yang biasa dimainkan oleh Budrugana. Itulah sebabnya, dalam pentas tersebut, ia tak hanya menampilkan karakter-karakter satwa sebagai simbol Afrika, tapi ia juga menampilkan karakter-karakter abstrak seperti boogie-woogie, yang di kultur Afrika dikenal sebagai salah satu gaya dalam musik blues khas Afro-Amerika.


Karakter boogie-woogie tampil sebagai simbol kebahagiaan. Gerak dinamis dan lincah dari boogie-woogie disimbolkannya sebagai bentuk perayaan atas sesuatu. Tentu saja dengan iringan musik jazz yang up-beat, gerak karakter abstrak itu kian dinamis.

Sementara slah satu pemain dalam pentas tersebut, Paata Shengelia, menuturkan bahwa kisah hidup Louis Armstrong dinilainya sangat luar biasa dan inspiratif. Latar belakang ibu Armstrong yang seorang budak negro menjadikan kisah hidup Armstrong sangat dramatis dan laik untuk diangkat dalam sebuah pementasan. Pentas itu setidaknya menampilkan lebih dari 20 judul lagu blues dan jazz yang tak hanya menjadi backsound, tapi juga melebur pada naskah pementasan. Itulah sebabnya, hampir 90% adegan dalam pentas tersebut adalah lirik dari lagu jazz dan blues itu sendiri.

Lahir dari rahim teater bayangan

Dengan melihat teknis penampilannya, yakni dengan menggunakan medium kain putih dan sorot lampu dari baliknya, teater bayangan tangan (hand shadow theatre) ini bisa dikatakan sangat erat berhubungan dengan teater bayangan yang sebelumnya sudah muncul. Di Indonesia, teater bayangan lebih akrab pada seni pertunjukan wayang. G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan, dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang. Bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern, bayang, barang atau menerawang. Semua itu berasal dari akar kata "yang" yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata: laying (nglayang)=yang, dhoyong=yong, reyong=yong, reyong-reyong, atau reyang-reyong yang berarti selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu, poyang-payingen, ruwet dari kata asal: poyang, akar kata yang.

Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap, melayang. Wayang sendiri sebenarnya sangat erat kaitannya dengan perkembangan teater boneka. Betapapun, perangkat utama pertunjukan wayang adalah boneka. Dalam sejarahnya, teater boneka mulai populer di masa kejayaan Islam ketika abad pertengahan. Ketika itu, bentuk teater yang paling populer adalah teater wayang (pertunjukan boneka tangan, pertunjukan bayangan dan boneka ukir) dan pertunjukan yang dikenal sebagai ta'ziya, di mana aktor memainkan episode dari sejarah Islam.

Secara khusus, Syiah Islam memainkan episode syahidnya putra Ali R.A, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali. Dalam perkembangannya, pertunjukan kemudian mengarah pada pertunjukan sekuler yang dikenal sebagai akhraja. Pertunjukan ini tercatat pada abad pertengahan, tepatnya ketika berkembangnya sastra adab, yang saat itu jauh lebih umum daripada teater boneka dan teater ta'ziya.**