Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Monday, January 23, 2012

Kampung Surabayan Dulu dan Kini

SORE itu (23/1) masih begitu terik. Sinar matahari masih perkasa menciptakan bayang lamur ke arah timur. Begitu pula di kampung ini. Surabayan. Kampung di kawasan Kedung Sari itu seperti pada sore-sore sebelumnya, riuh oleh lalu lalang warga atau sekadar orang yang kebetulan sedang lewat.

Meski sudah jarang berdiri bangunan-bangunan dengan arsitektur kuno dan sudah didominasi bangunan kampung modern, rumah-rumah di sana berpetak-petak dengan ukuran yang tak begitu luas. Kondisi itu seakan-akan menerjemahkan bahwa kampung itu memang tidak mementingkan keadaan bangunan per bangunan, tetapi lebih mengutamakan jumlah penghuni.


Kondisinya yang cukup kumuh itu adalah potret nyata dari sesuatu yang wajar, khas, dan membudaya sebagai kampung. Kumuh merupakan kata kunci jika mencoba mencari pengertian kampung di Surabaya. Tapi, siapa yang menyangka jika kampung itu adalah salah satu kampung tertua di Surabaya. Nama yang sama, bisa jadi itu alasan kenapa kampung ini kemudian dikatakan sebagai kampung tertua di Surabaya.


Budayawan Surabaya yang juga penulis buku Masuk Kampung Keluar Kampung (2008), Akhudiat berpendapat lain. Dikatakannya, Surabayan merupakan kampung pertama di Surabaya setelah dilihatnya sebuah perjanjian yang dalam ilmu sejarah biasa disebut Ferry Charter atau Perjanjian Penyeberangan.


Perjanjian ini pada dasarnya merupakan sebuah kisah yang termaktub dalam Kitab Negarakretagama karya Suttasoma. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa Raja Majapahit menyinggahi setidaknya 40 desa di sekitar sungai Brantas dan Bengawan Solo. Dari 40 desa itu, beberapa di antaranya adalah Desa Surabayan, Bungkul, dan Jambangan. Saat itu Surabaya berada dalam kondisi yang  sangat jauh berbeda dengan sekarang.


Jangan dibandingkan dengan sekarang, saat itu Surabaya masih berupa kumpulan pulau-pulau kecil yang masing-masing memiliki sebuah kota utama yang sekaligus merupakan pelabuhan dan pintu masuk ke pulau tersebut.


Sedangkan Surabayan sendiri pada mulanya adalah sebuah kota penting dalam pemerintahan Majapahit. Betapa tidak, dalam Negarakretagama disebutkan bahwa Surabayan disebut sebagai salah satu dari kota pelabuhan yang cukup sibuk. Bahkan, secara keseluruhan, Wonokromo merupakan kawasan pelabuhan utama bagi Surabaya.


Ini dibenarkan oleh Autar Abdillah. Menurut seniman yang tesisnya mengambil tema Budaya Arek Surabaya (2007) ini, di abad ke-4, yang namanya Surabaya hanya merupakan beberapa pulau kecil di sisi sebelah timur. Pulau-pulau itu di antaranya adalah Bagong, Bungkul, Gunungsari, dan beberapa pulau kecil yang kini menjadi kampung-kampung di kawasan sekitar sungai Brantas, seperti Rungkut, Prapen, dan Ngasem.


Bahkan saat itu, menurut Autar, Pulau Wonosrama, yang kemudian kini menjadi kampung Pulo Wonokromo, diakui Autar, merupakan kawasan pelabuhan yang sangat sibuk. "Kawasan ini memang seolah menjadi pintu masuk ke pulau-pulau yang lebih dalam,” ujar staf pengajar drama di Sendratasik Universitas Surabaya (Unesa) ini.


”Hingga pada akhirnya muncul kampung Ampel Dento,” sela Akhudiat kemudian. Abad ke-14 memang ditandai dengan munculnya sebuah kampung Arab di kawasan Ampel. Keadaan saat itu, Surabaya sudah tidak lagi terpencar-pencar menjadi  pulau-pulau kecil, melainkan sudah menyatu dengan dilakukannya proses reklamasi oleh beberapa warga.


Selepas itu, barulah kawasan utara menjadi sangat sibuk. Betapa tidak, kawasan utara yang merupakan kawasan pesisir menjadi pusat aktivitas manusia dari berbagai tempat. Akibatnya, kawasan ini menjadi begitu plural. Begitu beranekanya hingga pada masa koloni, sempat terjadi perbedaan hukum publik menjadi 3, yakni hukum Eropa, Timur Asing, Pribumi.


Hukum Eropa merupakan hukum yang berlaku bagi warga berkebangsaan Belanda, Inggris, dan juga beberapa warga Eropa. Hukum Timur Asing diperuntukkan pada masyarakat berkebangsaan Arab, Cina, dan beberapa masyarakat yang berasal dari Asia. Terakhir, hukum yang diperuntukkan bagi pribumi, bagi masyarakat asli.


Saat itu, secara administratif, pemerintah kolonial memang setidaknya membagi Surabaya menjadi dua wilayah besar, yakni Kota Atas dan Kota Bawah.


Kota Atas yang berada jauh dari pesisir bisa dibilang merupakan kawasa elite tempat pusat peradaban bagi kaum-kaum borjuis. Kawasan yang saat itu meliputi daerah Darmo, Simpang, dan sekitarnya itu memang merupakan kawasan pemukiman yang banyak dihuni warga Eropa.


Sedangkan Kota Bawah merupakan kawasan yang setiap harinya selalu sibuk. Kawasan yang dipecah oleh Sungai Kalimas menjadi dua wilayah besar ini merupakan kawasan pusat perdagangan yang bisa dibilang merupakan urat nadi Surabaya.


Setidaknya memasuki abad ke-18, kurang lebih tahun 1900, saat Jembatan Petekan dibangun, pengaturan kota bawah ini sudah demikian rapi. Di antaranya adalah dikelompokkannya kawasan yang dihuni masyarakat yang sejenis atau serumpun.


Misalnya di sisi barat Sungai Kalimas, khususnya di kawasan Kalongan, Gatotan, Krembangan, merupakan hunian masyarakat Eropa, atau setidaknya masyarakat-masyarakat Indo-Belanda.


Sedangkan di sisi timur sungai Kalimas, yakni di kawasan yang sekarang dikenal dengan Jl. Karet dan sekitarnya merupakan pusat hunian masyarakat-masyarakat beretnis Tionghoa. Agak ke barat, tepatnya di kawasan Ampel, yang saat itu sudah semakin berkembang dari sekadar kampung Ampel Gentho, semakin banyak warga beretnis Arab berkumpul dan beranak pinak di kawasan itu. "Jadi memang, waktu itu cukup dekat kawasan China dan Arab," sela Akhudiat lagi.


Barulah di sisi timur Sungai Kalimas, tepatnya di sisi sebelah utara kampung pecinan, merupakan tempat kumuh yang dihuni masyarakat pribumi.


Memang, pembagian-pembagian ini, dikatakan oleh Akhudiat, cukup tegas. Hukum yang dijalankan pemerintah kolonial waktu itu memang cukup tegas. ”Pernah sekali waktu ada warga China yang kemalaman di kawasan Krembangan. Dia menginap di sana. Ga pake lama, langsung ditangkap dia,” terang Akhudiat dengan gaya bicaranya yang khas.


Baru inilah mulai muncul pengertian kampung. Waktu itu ciri khas kampung yang paling mudah dikenali adalah kumuh dan letaknya yang memang menjorok ke dalam. "Jauh dari straat," Akhudiat mengistilahkan.


Straat merupakan sebutan bagi jalan besar, jalan raya, atau jalan utama yang memang waktu itu pembangunannya lebih diutamakan pada kawasan-kawasan yang kerap dilalui masyarakat Eropa, yang menjalankan roda kehidupan Surabaya.


Ternyata apa yang dijelaskan Akhudiat tersebut memang benar-benar ada hingga sekarang. Buktinya kampung-kampung asli yang memang pantas disebut sebagai kampung, letaknya pasti berada tidak dekat dengan jalan-jalan besar.


Selain itu, egalitarian masyarakat kampung pun dari masa pra koloni pun sudah demikian tampak. Misalnya dengan kebiasaan main ceki (suatu permainan cara China seperti pei, bongkin) dan misuh (mengumpat). Ini wajar mengingat hampir di setiap kampung terdapat gardu atau yang sekarang kerap disebut dengan pos satpam, merupakan pusat sosialisasi serta transformasi berbagai informasi antar masyarakat. "Sehingga sebagai pengisi waktu pun mereka kemudian main ceki di sana," ujar Akhudiat.


Belum lagi, kebiasaan masyarakat kampung yang tidak bisa dihindari adalah mendem (minum minuman keras). Puncaknya, kegiatan ini adalah ketika ada salah satu warga yang punya hajat, baik itu perkawinan, maupun khitanan, minuman keras menjadi suguhan wajib. Uniknya tidak hanya menjadi suguhan bagi para undangan, melainkan juga dijual di sekitar rumah yang punya hajat, lengkap dengan tambulnya (makanan pelengkap saat minum minuman keras).


Tidak hanya itu, masih ada ciri khas lain yang memang sangat menonjol dari kampung-kampung asli di di Surabaya adalah adanya pagupon (kandang burung dara). Menurut Akhudiat, pagupon ini merupakan bukti dari kegemaran warga kampung Surabaya untuk ando’an doro, istilah untuk aktivitas yang biasa disebut dengan adu merpati.


Kini meski modernisasi telah merambah dan mengubah Surabaya menjadi kota metropolis, namun kenyataannya, jika memasuki kampung-kampung tersebut, misalnya, kampung Peneleh, Bubutan, Wonokromo, Jambangan, hingga timur seperti kampung Sidotopo, Bulak, hingga terus ke timur ke kawasan kampung nelayan Nambangan, nuansa kampung setidaknya sedikit masih terasa.


Letaknya yang jauh dari jalan besar dan beberapa ciri khas lain seperti selalu ditemukannya gardu dan pagupon pun menjadi bukti bahwa akar tradisi dan kebiasaan warga kampung Surabaya yang egaliter dan apa adanya memang masih dipegang dan dijalankan, baik secara sadar maupun tidak sadar.


Kini, kampung-kampung yang ada di Surabaya, sudah terdistorsi oleh masuknya modernisasi yang semakin merajalela. Lalu, apakah lokalitas khas kampung sebagai identitas kota ini akan terus luntur. Akhirnya satu per satu kampung di Surabaya akan lenyap dan berubah menjadi kawasan yang di tahun 1930-an dikenal sebagai kota atas. Sebuah kawasan elite yang sama sekali tidak bernafaskan egalitarian sebagai identitas asli masyarakat Surabaya.

Ode Untuk Waktu



sebab tak pernah tegas kau bercerita soal langit, tak pernah tegas berkisah soal surga di sela dua awan yang mengambang di kamarmu. tak pernah pula kau tulis surat untuk daun-daun gugur itu. lalu dimana ukiran wajahmu kau sembunyikan: di bangkai malam, di sebalik cermin buram, atau sebuah telegram yang tak pernah terkirimkan.

kau di mana, aku bertanya pada sisa swaramu yang mendengung di secangkir kopi pahit yang tak mampu kuhabiskan pagi ini. sebab semua begitu getir, saat tarianmu mulai mengalir, tanah basah depan rumah hanya bisa meraung melihat keningmu diukir mendung.

bukan pantai, hanya segaris senja di teras rumahmu yang tampak menyala. hanya secarik kertas berisi sebuah prosa tentang kematian. tentang tubuhmu yang mendadak dingin ketika kau lihat matahari di ujung jariku mulai pecah. seperti tak mampu kau temukan aku, kau bayangkan bergemetarannya bibirmu: mengucap namaku.

betapapun, aku ingin tahu di mana kau kini. sebongkah alamat yang teronggok di pucuk kartu pos bergambar nabi seperti benar-benar telah menyesatkanmu. jangan kau buang kartu pos itu, sebab aku masih mencarimu: sebuah alif yang begitu naif.

mungkin aku yang keliru menerjemahkan setiap kertap dan ceracap, yang selama ini selalu kau dengungkan ke dalam asbak yang penuh dengan bangkai bebatang kretek yang tak habis terhisap. maka, kuminta selalu salahkan aku, hanya demi segaris sungai di bibirmu yang selalu ingin kulihat meluap.

coba lihat, anak kita sudah belajar menulis lagi. langit tanah dan laut adalah kertas baginya. takkah sesekali kau ingin kembali membunuhku. seperti yang kau lakukan dulu ketika tiba-tiba katamu kau melihat sebuah topeng menggantung di mata kiriku. sebab hanya dengan membunuhku, kulihat sungai itu semakin membuncah. itulah mimpi kita.

dan kita sering berdebat soal itu. tentang nama yang tak boleh disebut ketika sayup-sayup nafasmu mulai hambar dan redup. lalu kenapa bisa kau kehabisan suara. bukankah bagi kita suara adalah selembar waktu yang terasa begitu baka. bukankah waktu adalah pintu. pintu menuju hujan yang terus lelap dan tak pernah terselesaikan.

sayangku yang jauh, entah berapa kali harus kukelilingi ranjangku. setidaknya kota ini, hanya agar kembali kauberiku sobekan-sobekan kertas, pecahan botol tuak, dan potongan-potongan bintang. hanya agar aku bisa mabuk. mabuk oleh senyummu, oleh alamat rumahmu, oleh sungai senja di teras rumahmu.

aku tahu, toh kau tak pernah tertidur. selalu kau tanyakan dimana jasadku tersungkur. selalu kau cari tahu di mana bangkai sajakku kusimpan. itulah, selalu saja kau anggap aku ini adalah penyair, meski kau tahu, betapa aku tidak suka itu. aku bukan penyair, kataku. aku hanya sebuah gerbong kereta yang tak pernah lupa menyapa kursi-kursi dingin di sebuah stasiun tua.

dan kau tahu, mustahil kita menghentikan hujan. kerna kita bukan angin, bukan peletik nyala damar, bukan pula cemericit burung-burung manyar. kita hanya sebuah perahu, dari kertas yang bersiap dihanyutkan arus demetik waktu. sebab memang segala mula adalah waktu, dan kau tahu benar soal itu. lalu seperti tak peduli, darahku kemudian kau teteskan sebagai wujud persembahan rindumu pada selembar kabut yang lindap di puncak gunung dan aroma keringatmu yang menggantung.

begitu lelah. kita memang begitu lelah. itu pesan yang kau tulis kepadaku lengkap dengan gambar kepala berbuket berikut sepasang tanduk dari karet dan selembar ekor burung merak yang di ujungnya tertancap sepasang telur retak. hingga kini aku masih tak mampu menangkap makna pesan itu. entah karena begitu lamban, atau memang benar, kita telah begitu lelah.

kau tunjukkan aku jalan pulang ke rumah kita. rumah yang dulu pernah kita susun dari selembar kabut dan gerimis yang kau kata tak pernah terdengar ritmis. memang saat itu, kita berdua hanya bisa menunggu, perihal apa yang bakal diturunkan oleh mendung yang menggaung murung.

tak pernah kau ajarkan aku tentang keajaiban. sebuah keajaiban yang mengubah malam menjadi sebuah bukit dengan puncak yang merobek langit. aku pun lupa, bahwa kita memang tidak terlahir dari sana, dari bukit itu. kita terlahir dari sungai-sungai keruh yang semalam tak usai bercinta dengan gedung-gedung tua.

bagi kita, hidup tak ubahnya selembar kertas koran yang memang tak mampu lagi garam-garam laut mewarnai dan melukisinya. hidup kita telah usai, katamu. saat takdir menjelma sebuah menara suar yang menuntun perahu yang gusar menjemput ajal, kita berpelukan. di bawah senja yang pecah, tubuhmu melepuh oleh api yang menjilat dari kedua mataku.

begitu bangganya dirimu atas kematian begitu biasa ini. sama bangganya ketika dulu kita lahir bersama, telanjang bersama saat ombak terbelah dua oleh buritan sampan. Sadarlah lelakiku, katamu. kita hanyalah makhluk sederhana hasil percintaan kota yang pengap oleh asap dengan gedung-gedung tua tanpa atap. itulah, maka kematian buatmu adalah hal yang biasa, sebab tak lagi ada yang istimewa dari arti sebuah persetubuhan.

memang itulah makna kematian buatmu. senja yang tak pernah kau jemput, mendadak menjadi sebilah pisau setajam batang-batang rumput. kau tahu, nyaris saja senja itu membakar atap kamar kita. tapi nyatanya, akhir-akhir ini senja memang selalu datang lebih awal. saat engkau mengira, senyum dan air susumu bakal banal.

sungguh, cintaku, tak pernah sanggup kulepas kau berlayar sendiri. betapa kau tak tahu makna angin yang menerbangkan dingin, atau hujan yang melarutkan ingatan. tapi tetap saja, kau pergi, sebab tanpa pergi, takkan pernah ada kembali, katamu. Seperti tanpa hilang, tak pernah ada kata datang.

cukup masuk akal, ketika langkahmu terdengar menjauh. betapapun, aku telah melempar sauh, jauh ke arah gugusan karang di sana yang tampak rapuh. mimpi kita terlihat berlesatan saat angin sore yang remuk berhembus dari sebuah menara tua yang nyaris ambruk.

jangan lupa matikan peletik damar, saat kelak tak lagi kau punya kamar. saat kelak tak lagi kau punya sayap yang selalu kau banggakan pada setiap sore yang senyap. ya, sore yang seperti tak pernah habis kau sesap. itulah kebanggaan kita atas kota ini. kau begitu takjub akan sore, bukan senja. Bagimu sore tak ubahnya adalah pintu menuju sebuah dunia baru yang begitu gelap dan tabu, namun justru itu yang membuatmu terlelap.

takkah kau sadar, kematian kita adalah nyanyian burungburung nazar saat melihat bangkai di tanah gersang yang memar. bagi kota ini, cinta kita adalah duri dan embun yang menyisipi urat daun. sebab setiap puing dan sisa batu bata, bagi kota ini adalah telinga, adalah mata, adalah jemari yang siap bersaksi saat kita bercinta nanti.

dan pagi, mungkin hanya mimpi yang tersisa. sisa gincu bercampur luka di tepian gelas berisikan cahaya senja. kutemukan biji matamu di sana. kutemukan sepotong bibir atasmu juga di sana. ku ajak bicara. tentang malam, asap, gerimis, dan sisa darah dari kemaluanmu yang mengamis.

ya, mungkin hanya kemaluanmu yang mampu kulupakan, saat kulihat waktu yang mencumbu karang bebatu di garis pantai yang landai. tak ada yang mampu kuingat dari sana, selain sebuah oase dengan sungai airmata jernih yang menderas di tengah hutan pinus dan sebuah altar kudus.

Sangat mungkin, serupa Ruci, kau membiarkan aku mengangkuh di lorong gelap telingamu. maka jadilah kau manusia, ucapmu dengan terus melihat gerak bibirku yang kau anggap sia-sia. hingga mataku membanjir oleh ritmis desahanmu yang dihujam mendung. sebuah fragmen bunuh diri yang begitu melankolis.

lalu dengan sangat ragu, aku langkahkan kaki yang lunglai akibat tikaman sejarah yang tak pernah usai. mengarah pada liang keperempuananmu yang riuh oleh sirine ambulans. Sedang jarum jam memutar terbalik, ketika nafasmu terdengar rintik.

2011-2012