Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Wednesday, July 29, 2009

Ketika Bulan tanpa Bintang


Benarkan manusia telah mendarat dibulan. Banyak ahli yang menyangsikan. Tetapai tak sedikit yang bilang, ‘the moonlanding was a hoax.’

Pada tanggal 15 Februari 2001 stasiun TV FOX (disiarkan kembali 2005 oleh Star World Philipines) menyiarkan sebuah program dengan judul Conspiracy Theory: Did We Land on the Moon?. Program ini memberikan bukti-bukti bahwa NASA telah memanipulasi berita pendaratan di bulan.

Video dokumenter yang berisi wawancara dengan beberapa pihak yang mengklaim bahwa NASA tidak pernah mengirimkan astronotnya ke Bulan ternyata berdampak luas. Akibatnya tidak hanya sebagian besar warga Amerika saja yang merasa sangsi akan pencapaian astronot yang selama ini menjadi kebanggan mereka, tapi juga lebih dari 2000 responden di Rusia pun menyatakan ketidakpercayaannya pada Aldrin cs.

Dalam video itu, jika dilihat, maka akan diketahui banyak sekali kebodohan dan pembodohan yang dilakukan oleh pihak NASA untuk meyakinkan masyarakat dunia bahwa mereka memang telah mendaratkan Aldrin cs di permukaan bulan.

Aspek yang paling mendasar adalah video yang diklaim merupakan hasil rekaman langsung dari Apollo 11. Akan tetapi karena saat itu teknologi Amerika belum mampu menciptakan sebuah video high quality untuk sebuah ekspedisi antariksa, maka hasilnya pun selain sudah seharusnya dalam bentuk hitam-putih, juga tidak dalam keadaan yang bagus. Akan tetapi yang sampai pada masyarakat adalah sebuah rekaman video yang bersih dan berkualitas. Bahkan warna bendera AS pun terlihat dengan sangat detail.

Selain itu, pada Apollo 12, meski NASA mengaku melengkapi astronotnya dengan sistem visualisasi yang lebih canggih, yakni sebuah film transparansi khusus yang dibuat oleh Eastman Kodak dibawah kontrak NASA. Layer dari emulsi fotosensitif ini diletakkan dalam ESTAR yang terbuat dari bahan polister, yang biasanya digunakan dalam pembuatan film bergerak.

Aka tetapi, yang perlu diingat, titik leleh ESTAR adalah 490° F, namun penyusutan dan distorsi sudah bisa terjadi pada temperatur 200° F, dan bodohnya, film ini tidak pernah diuji dalam temperatur tersebut, padahal situasi di bulan benar-benar berbeda dengan situasi microwave di dapur kita pada umumnya. Tanpa konveksi dan konduksi, maka panas dapat tersebar karena radiasi.

Dua hal tersebut adalah bersifat teoritis. Jika hal yang bersifat teoritis ternyata masih dinilai terlalu naif, bagaimana jika dengan beberapa hal bersifat lebih teknis dan tentu saja sepele, yakni kebodohan yang dilakukan NASA dalam gambar-gambar yang mereka publikasikan.

Pada salah satu adegan, dua orang astronot berjalan pada satu garis. Harusnya dengan cahaya yang hanya bersumber pada satu titik, yakni matahari, maka memang bayangan yang dimunculkan pun berada pada satu garis, namun yang tampak pada gambar adalah bayangan yang tidak terletak pada satu garis.

Permasalahan bayangan ini memang tampaknya yang paling tidak diperhitungkan oleh pihak NASA. Dalam sebuah gambar tampak seorang astronot yang sedang berjalan di bulan dengan membelakangi satu titik sumber cahaya, yang diperkirakan adalah matahari. Maka, logikanya siluet akan tercipta karena biar bagaimanapun, setitik cahaya terangn di tengah kegelapan tentunya memiki daya penerangan sangat kuat. Apalagi dengan posisi tubuh membelakangi cahaya, maka sudah bisa dipastikan harusnya tubuh astronot tersebut tampakj menghitam karena siluet. Akan tetapi dalam gambar, tubuh astronot tersebut tampak terang.

Kebodohan lain yang juga paling paling menggelikan adalah mengenai siapa yang mengambil gambar ketika LM (Lunar Module) mendarat di permukaan bulan.

Selain ada pula kebodohan-kebodohan lain yang dilakukan oleh pihak NASA lupa memberikan efek bintang pada langit. Jadinya langit yang harusnya tampak berkelap-kelip pun tampak bening, hitam kelam, tanpa ada satu pun bintang.

Selain itu, ada pula salah satu gambar yang menunjukkan ketidak masukakalan NASA dalam membuat rekaman, yakni adanya pantula sumber cahaya yang harusnya itu adalah cahaya matahari tampak begitu terang di kaca helmnya. Logikanya, jika ini adalah benar cahaya matahari, bisa dibayangkan sendiri apa yang akan terjadi dengan penglihatan dan wajah dibalik helm tersebut.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah prosesi pendaratan LM. LM yang memiliki massa 14.696 kg dan dorongan pendaratan mencapai 44,4 kN. Dengan kekuatan seperti itu, maka sudah seharusnya saat pendaratan, akan menimbulkan jejak berupa cekungan yang cukup dalam di permukaan bulan yang berpasir. Akan tetapi, jika dilihat dalam rekaman milik NASA, permukaan bulan tampak masih halus dan rapi, seolah tidak ada pendaratan dari sebuah LM.

Berkaitan dengan permukaan bulan yang berpasir, maka sudah seharusnya, jejak kaki yang ditimbulkan pun tidak begitu detail. Menurut Bill Keysing, jejak kaki yang detail seperti itu hanya bisa muncul pada permukaan tanah yang mengandung air, sehingga sedikit liat.

Selain itu, dengan pasir yang memenuhi permukaan bulan, berarti logikanya pasir tersebut juga akan mengotori kaki-kaki LM. Akan tetapi dalam gambar tampak kaki-kaki LM masih tampak bersih tanpa butiran-butiran pasir mengotorinya.

Di samping itu, masih ada kebodohan lain, yakni bendera Amerika yang tampak berkibar, padahal semua orang juga tahu, bahwa di bulan tidak ada atmosfer, sehingga praktis kondisi di sana adalah hampa udara.

Meskipun masih banyak kekonyolan-kekonyolan lain yang terdapat dalam rekaman video milik NASA, namun bukan berarti tidak ada pihak NASA atau pihak lain yang mencoba melakukan pembelaan terhadap semua sanggahan dan skeptisisme tersebut.

Brian Weelch, misalnya. Seorang juru bicara NASA, mengatakan, segala skeptisisme yang dilancarkan kepada pihak NASA, menurutnya adalah hal yang biasa untuk sebuah pendongkrakan popularitas. Akan tetapi, dirinya tetap menjamin, bahwa foto-foto yang ditampilkan di depan publik adalah memang benar dan nyata.”Terserah bagaimana apresiasi mereka,” ujarnya.

Selain itu, juru bicara NASA yang lain, John Yembrick, mengatakan tuduhan yang dialamatkan pada pihaknya tidak beralasan. Seperti misalnya, bendera yang berkibar, menurutnya bukan karena angin, melainkan karena memang tiang pemancang, diputar oleh Buzz, panggilan akrab Aldrin.

Tuesday, July 21, 2009

Optimisme dari Ujung Pensil

Dengan dominasi hitam-putih, sebuah karya lukisan drawing tentu saja tampak lebih sederhana jika dibandingkan dengan lukisan dengan media cat minyak atau akrilik. Tetapi, jangan salah, ternyata lukisan drawing tidak sesederhana itu. Seperti yang dijelaskan oleh Mufi Mubaroh, seorang perupa kelahiran Pandeglang, Banten 27 tahun silam.

Menurutnya, melukis drawing tidak lebih rumit jika dibandingkan dengan melukis memakai oil atau acrylic. Baginya dalam melukis drawing, seorang seniman juga harus bergelut dengan unsur-unsur drawing, seperti shadow, gradasi, balance, dan volume. Ternyata, ornamen-ornamen itulah yang membuat sebuah lukisan drawing tampak hidup.

Nyatanya, memang itulah yang menjadi kelebihan pada karya-karya perupa lulusan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya tersebut. Dengan cermatnya perhitungan shadow, gradasi, balance, dan volume membuat karya-karyanya tampak hidup dan memiliki karakter yang kuat.

Dengan total 20 karya lukisan drawing yang memang hampir seluruhnya berukuran besar, Mufi Mubaroh menggelar pameran lukisan di Orasis Gallery. Pameran yang diselenggarakan mulai 15-24 Juli 2009 tersebut menampilkan karya-karya lukisan drawing Mufi Mubaroh yang dibuat antara periode 2007-2009.

Meski diakuinya, pada awal karirnya sebagai perupa, dia memang menggunakan oil sebagai media untuk melukis. Akan tetapi, setelah tahun 2003, khususnya saat menjelang tugas akhir kuliahnya, dia mencoba mencari media alternatif, yang murah tapi menghasilkan karya yang tidak kalah dengan oil atau acrylic, dan akhirnya pilihannya jatuh pada drawing. ”Maklum, mas, waktu itu harga oil atau acrylic, benar-benar sedang melangit,” tukasnya.

Setelah melihat hasil karya lukisan drawingnya yang pertama di tahun 2003 tersebut, kemudian muncul kepercayaan dirinya untuk melanjutkan melukis drawing. ”Jadilah akhirnya sampai sekarang,” katanya.

Perkembangan drawing sendiri sebenarnya tidak sepesat lukisan painting. Buktinya, di awal 2007, ketika painting kontemporer tengah mendominasi segala wacana dalam seni rupa, kehadiran Mufi dengan lukisan drawingnya di sebuah pameran yang bertempat di Jogjakarta, sempat menjadi pusat perhatian dari beberapa kalangan, baik seniman, maupun pengamat. Oleh karena itulah pada akhirnya dalam ajang tersebut, dirinya malah mendapatkan penghargaan sebagai lukisan terbaik dalam ajang Muara Seni Jogjakarta, 2004..

Itulah, yang menjadi dasar baginya untuk kemudian beranggapan bahwa drawing ini bisa dikatakannya merupakan semacam gerakan pemberontakan terhadap dominasi painting. Baginya, untuk mencapai detail dari sebuah objek, dengan menggunakan pensil dan charcoal (sejenis arang) pun juga bisa.

Sedangkan, mengenai tema karya, perupa yang juga pernah menjadi finalis dari Jakarta Art Award, 2008 tetrsebut lebih banyak berbicara tentang kekecewaan, khususnya terhadap segala bentuk realitas hidup yang dialaminya. Kekecewaan yang sifatnya lebih personal memang terlihat jelas dalam karya-karyanya.

Meski demikian, kekecewaan itu oleh Mufi diolah sedemikian rupa hingga akhirnya menjadi sebuah rasa optimisme.”Jadi, kekecewaan yang saya alami adalah kekecewaan dari seorang korban yang selalu ingin bangkit kembali,” ujarnya.

Oleh karena itulah, meski sarat akan nuansa kekecewaan, namun, diakui oleh Mufi, karya-karyanya lebih banyak menawarkan solusi dan harapan. Dia mencontohkan pada beberapa karyanya, Mufi banyak memakai simbol optimisme, yakni gambar ‘plus’. ”Gambar tersebut menurut saya lebih bermakna pada rasa optimisme dan harapan di tengah kekecewaan,” ujarnya.

Oleh karena itu, Mufi juga menganggap karya-karyanya adalah seperti kamus, buku, yang memuat berbagai kenangan dan cara berinstrospeksi, merenung, dan kritik diri terhadap berbagai kehidupan dan tentu saja, sejumlah kekecewaan.

Kini, perupa yang tengah berupaya untuk menciptakan sebuah kreatifitas baru, yakni menggabungkan antara teknik drawing yang menggunakan pensil, dengan teknik painting yang menggunakan oil.

Dengan begitu, harapannya, teknik drawing akan menjadi semakin populer dan banyak mengisi ruang-ruang pamer di gallery yang ada di Surabaya

Surabaya Post,
Minggu, 19 Juli 2009