Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Tuesday, July 22, 2014

Memandang Arsitektur dari Sudut Pandang Seni



David Hutama saat menjadi pemateri dalam Diskusi Guru Muda di Langgeng
Art Foundation, Sabtu (19/7).
Jika selama ini karya arsitektur dikenal sebagai dunia profesional dan kreatif yang jauh dari kotak penggolongan karya seni, seniman harus membiasakan diri dengan masuknya bidang yang erat kaitannya dengan bangunan ini ke dunia seni.Setidaknya, dalam diskusi Guru Muda yang digelar di Langgeng Art Foundation, Sabtu (19/7) siang lalu, arsitek yang juga merupakan dosen di Universitas Pelita Harapan, David Hutama yang didapuk sebagai pembicara dalam diskusi itu mengakui bahwa bukanlah hal yang mudah untuk menghubungkan antara arsitektur dan seni. Menurutnya, menggabungkan keduanya itu rumit-rumit sederhana.
    Setidaknya ada 3 hal penting yang harus diperhatikan. Selain harus dikenal terlebih dulu konsep arsitektur, bagaimana proses penciptaannya, serta yang terakhir adalah bagaimana mewacanakan persepsi ruang arsitektur itu dalam sebuah apresiasi seni. Dengan begini, substansi dari arsitektur itu sebenarnya ada pada ruang. Pada tataran inilah, seorang arsitek bisa dicermati gagasannya sebagai seorang seniman juga.
    Sebagai subjek, karya aristektural merupakan ruang yang terbentuk oleh keterbangunannya itu sendiri. Sedangkan sebagai objek, karya aristektural adalah sebuah bangunan. Persoalannya kini, kedua hal ini tidak dapat dipisahkan.
    Begitu pula terkait kerja proses penciptaannya, pemilihan material menjadi daya kuat yang mempengaruhi karakteristik karya arsitektural itu sendiri. Menurutnya, pemilihan material itu memungkinkan munculnya karakter-karakter penciptaan yang lebih baru. Dari sinilah, ia menganggap kerja arsitektural itu tak ubahnya seperti seorang perupa dalam menciptakan sebuah karya instalasi berukuran besar.
    Dalam buku De Architechtura Libri Decem karya Marcus Vitruvius Pollio, pengertian arsitektur memang lebih ditekankan kepada keterbangungan/ketukangan. Lebih tepatnya tentang bagaimana seseorang yang menyandang status sebagai arsitek memiliki kemampuan dalam merangkai material guna menciptakan sebuah bangunan yang megah. Penekanan ini cukup mudah dipahami lantaran adanya batasan teknologi dan materian bangunan yang tersedia.
    Pada masa Vitruvius, bisa diduga material bangunan utama hanya meliputi 2 hal saja, yakni bebatuan dan kayu. Dengan 4 iklim yang terdapat di tanah Italia, kayu jelas bukan pilihan material yang baik. Oleh karena itu batu menjadi pilihan utama untuk mendirikan bangunan.
    Dari sinilah terlihat betapa mendirikan bangunan itu adalah wilayah bagi orang atau pihak yang memiliki kekuasaan. Hal ini juga terlihat di kawasan Asia. Bangunan candi yang memanfaatkan batu-batu besar jelas tak berdiri begitu saja. Peran massal dan pengaruh kekuasaan menjadi sangat penting dalam proses pendirian bangunan itu (candi). Akan tetapi, khusus dalam hal pembangunan candi ini, kekuasaan yang dimaksud bukanlah kekuasaan dalam arti politis, melainkan pada kekuasaan dalam arti penjaga dogma.
    Itulah sebabnya, Victor Hugo dalam The Hunchback of Notredame membahas secara khusus peran arsitektur tersebut. Hugo berargumen bahwa arsitektur adalah penjaga pesan/dogma yang lugas dan terbuka. Namun kehadiran karya-karya tulis/cetak yang dinilai lebih murah, mudah dan cepat, kenyataannya akan mematikan fungsi arsitektur itu sendiri.
    Fungsi representasi kekuasaan inilah yang membuat arsitektur kemudian tak bisa dilepaskan dari tradisi dan kebudayaan dimana ia berada. Tradisi dan kebudayaan jelas akan sangat memperngaruhi dimensi keterbangunan dan makna dari arsitektur itu sendiri.
    Dicontohkannya adalah karya instalasi bertajuk Instalasi Paviliun Indonesia karya Avianti Armand yang dipamerkan di Venice Biennale 2014. Karya yang berupa instalasi yang memanfaatkan bangunan bekas gudang senjata seluas 500 meter persegi.Dengan bidang kaca yang dipakai untuk membelah ruangan yang remang-remang, ditambah dengan narasi materi yang diproyeksikan di bidang-bidang kaca yang dibiarkan memantul ke arah tanah dan dinding yang kasar, ia menilai karya arsitektural itu adalah pembuktian bahwa sebuah karya arsitektur ternyata mampu menciptakan sebuah ruang yang bisa diapresiasi dalam ranah seni.
    Pada akhirnya, dengan meminjam pendekatan reduksi radikal dari Rene Descartes, bahwa yang otentik milik arsitek dan arsitektur hanyalah gagasan dan wujud dari ruang arsitektur tersebut saja. Keterbangunan dari bentuk dan kerapihan dari sebuah pengerjaan detil belum tentu karena gagasan arsitek, dan belum tentu juga menjamin hadirnya arsitektur yang baik.
    Akan tetapi, kesadaran dan kepekaan akan dialog tubuh dan ruang, akan menggiring terjadinya ruang arsitektur yang baik. Oleh karena itu, jika arsitektur hendak dipahami sebagai sebuah karya seni, maka sudah jelas ruang arsitektur adalah substansi utama dari seni berarsitektur.**

Pementasan Teater Departure karya Kage Mulvilai














Rayakan Kebebasan, Ekspresikan Kenangan

Salah satu adegan dalam pentas Departure



Sorot lighting mempertajam detail tegasnya akar-akar tunjang pohon beringin. Gerak tubuh tanpa dialog para aktor dan iringan musik dengan tempo rendah membuat suasana malam itu kian terasa khidmat dan mistis.

Dalam pertunjukan teater bertajuk Departure yang digelar di kompleks kampus Sanata Dharma, Minggu (20/7) malam itu, 8 orang aktor memang terlihat tampil dengan gerak tubuhnya masing-masing. Meski terpusat pada latar pohon beringin besar di pusat halaman yang biasa disebutsebagai Beringin Sukarno, namun nyatanya setiap gerak tubuh yang mereka tampilkan nyaris tak terkait satu dengan lainnya.
        Dengan gerak tubuhnya masing-masing mereka seperti ingin menyampaikan suatu pesan. Seperti tema pertunjukan itu sendiri, yakni Departure, mereka seperti ingin menunjukkan kepada penonton, bahwa hakikat keberangkatan itu sendiri bukanlah dimana kaki kita akan berpijak nantinya, tapi lebih pada bagaimana cara kaki kita melangkah ke titik yang akan dituju. Di situlah peran dari kenangan dan ingatan. Inilah yang hendak disampaikan 8 aktor dalam pertunjukan yang melibatkan 3 kelompok teater asal DIY itu.
        Pertunjukan dimulai dengan aksi gerak tubuh salah satu aktor berkostum perempuan. Aktor ini membuka pertunjukan dengan melakukan eksplorasi terhadap reranting pohon beringin menjuntai seperti tirai, yang kemudian diikuti oleh penampilan aktor lainnya.Uniknya, kedelapan aktor dalam pertunjukan arahan sutradara sekaligus aktor teater asal Thailand, Kage Mulvilai itu tidak hanya berpusat pada Beringin Sukarno saja. Mereka juga bebas melakukan eksplorasi terhadap beberapa pohon lainnya yang ada di sekitar pohon beringin itu.
       Setelah hampir 1,5 jam, pertunjukan pun ditutup dengan penampilan sang sutradara, Kage Mulvilai yang menampilkan gerak tubuh tanpa dialog. Melalui gerak tubuhnya yang dinamis, seniman yang berproses di kelompok teater Be Floor Thailand itu seperti hendak menampilkan kenangannya akan masa-masa otoriter di negaranya yang memang hingga kini masih dirasakannya memberangus kebebasan berekspresi para seniman seperti dirinya. Semua orang punya kenangan dan ingatan. lihat parade foto
      Begitu juga saya. Melalui pentas inilah saya ingin menunjukkan ingatan saya itu melalui tubuh saya," ungkap Kage saat berbincang dengan Harian Jogja seusai pentas.Kage juga menambahkan pentas yang digelarnya bersama 3 kelompok teater DIY itu merupakan salah satu rangkaian kegiatan riset yang dilakukannya beberapa kota di Indonesia. Diakuinya, kini ia memang tengah melakukan riset tentang kebebasan berekspresi di Indonesia.
     Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami masa-masa kelam diberangusnya kebebasan berekspresi ini. Dari sinilah, Kage sepertinya ingin mewujudkan hal itu dalam bentuk pentas. Termasuk dengan pemilihan tema pertunjukan, Keberangkatan [Departure]. Dalam pementasan teater tubuh itu, Kage ingin menyampaikan pesan bahwa tema Departure jangan hanya dimaknai secara leksikal oleh penonton. Ia ingin penonton memaknainya lebih personal.
     Tentu saja, hal itu bisa dilihat dari tiap gestur dan akting tubuh yang dilakonkan setiap aktornya. Tema Departure dimaknainya sebagai langkah awal untuk menuju kebebasan manusia untuk berekspresi. Bagi Kage, langkah awal itu bisa diwujudkan dalam bentuk pengungkapan atas kenangan dan ingatan seseorang akan masa lalunya.
     Mengenai konsep pertunjukan yang tanpa dialog, Kage menuturkan bahwa pihaknya sama sekali tidak memaksakan konsep pertunjukan kepada seluruh aktor. Ia memberikan kebebasan kepada aktor untuk mengekspresikan apapun yang menjadi ingatannya akan masa lalu. "Saya rasa, gerak tubuh adalah memang cara paling jitu untuk mengungkapkan masa lalu. Bagaimanapun, keberangkatan itu selalu dimulai dari ingatan dan kenangan," tegasnya.**