Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Sunday, June 1, 2014

Multikulturalisme: Solusi atau Bunuh Diri?



Semua agama yang dikonstruksi secara formal dengan sebuah legalisasi sebagai ‘agama resmi’ di Indonesia pada dasarnya merupakan barang impor. Agama resmi tersebut hadir bukan dari dan dalam tabung kosong, melainkan ada dan mengada dalam konteks kebudayaan masyarakat. Ini berarti bahwa jauh sebelumnya, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah memiliki keyakinan meski belum bisa dikategorikan dalam konteks keagamaan. 
Kehadiran 'agama resmi' itu pun kemudian menciptakan keanekaragaman baru dan menjadi suatu kekuatan integratif sehingga menciptakan identitas yang melekat dengan masyarakat tersebut. Di bagian lain, terjadi semacam dialog antara agama resmi dan keyakinan keagamaan setempat, dan antar pemeluk 'agama resmi' (baca: umat). Pada kenyataanya, terjadi konversi, tarik ulur, ketegangan, dan ‘penaklukkan’ atas nama agama atau ‘Berperang Demi Tuhan’. Dari situlah perlahan wajah 'agama resmi' itu pun pada akhirnya muncul.

Dalam Islam misalnya, konstruksi minna dan minkum segera direproduksi dalam sebuah arena. Bahkan tak jarang kemudian konstruksi itu pun dengan sengaja direduksi. Inilah yang kemudian membuat perjalanan agama menjadi menyimpang dari esensi agama yang pada hakikatnya rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam, terj) berubah menjadi konflik dengan atas nama Tuhan. Agama menjadi ‘berlumuran darah’ dan manusia pun ‘baku bunuh’ dengan mengatasnamakan Tuhan. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia menguatkan hipotesa tersebut. Konflik individu meluas menjadi konflik keyakinan keagamaan karena manipulasi simbol sakral untuk kepentingan sesaat dan konsepsi ‘jihad’ yang direproduksi dengan (sangat) sempit.
Dalam konteks kenegaraan, atribut-atribut agama tidak diusung secara formal, melainkan hanya diambil substansinya saja. Sedangkan atribut formal yang ada dalam UUD, landasan idiil, dan landasan operasional membuat negara kemudian dinyatakan sebagai negara beragama ‘kaum beriman’. Bahkan untuk menegaskannya, Departemen Agama, sebagai tangan kanan negara dengan segala otoritasnya kemudian berhak (baca: wajib) untuk menentukan sah atau tidaknya (baca: mudarad) kelompok keagamaan yang berbeda. Dari sinilah kemudian, masyarakat luas mulai mengenal dan terbiasa dengan istilah bid'ah, sesat, dsb.
Satu hal yang perlu dicermati di sini, keputusan negara itu pada dasarnya sangat tidak kedap kepentingan politik. Keputusan itu pun sengaja dimunculkan untuk legitimasi paspor kekuasaan. Dari sinilah, secara tidak langsung, saya dapat mengatakan bahwa lembaga tersebut merupakan institusi yang tak ubahnya seperti ‘Tuhan’. Pasalnya, dari tangan mereka lah kadar keimanan seseorang ditentukan. Penganut agama yang tidak sesuai dengan keputusan mereka sudah barang tentu akan dinyatakan sebagai penganut agama terlarang, sesat dan menyesatkan.
Seharusnya agama menjadi urusan pribadidari tiap individu. Negara hanya mengatur keberadaan agama di ranah publik. Dalam ranah itu manusia dituntut untuk menjunjung tinggi kepentingan publik sehingga formalisasi agama menjadi tidak penting lagi. Untuk ini, saya pribadi kemudian teringat dengan surat tentang toleransi agama yang pernah ditulis oleh seorang tokoh empirisme asal Inggris, John Locke pada tahun 1989. Dalam surat itu tertulis: '[A]pabila berkumpul secara hidmat, menjalankan perayaan agama, beribadah di tempat umum diijinkan kepada kelompok agama tertentu, maka hal ini juga harus diijinkan terhadap kelompok agama yang lain'. 
Dari surat itu terbaca bahwa Locke memaknai toleransi sebagai persamaan perlakuan di antara kelompok-kelompok keagamaan/kepercayaan. Atau dengan kata lain toleransi mengandung makna memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok agama untuk melaksanakan/menjalankan peribadatannya. Non-diskriminasi, keragaman dan toleransi merupakan elemen yang melekat di dalam hak atas kebebasan beragama. 
 Dari sinilah esensi beragama pun menjadi penting, sebab hak asasi manusia identik dengan ma’rifat agama. Dengan demikian, maka pola hubungan antara negara dan agama di Indonesia, menurut saya perlu segera direstrukturisasi.
Negara melalui Departemen Agama sudah terlalu jauh mengintervensi kehidupan masyarakat, terutama bagi penganut agama maupun kepercayaan di Indonesia. Departemen Agama seharusnya mengurusi masalah yang bersifat administrasi pelayanan publik. 
Pada dasarnya dampak pengakuan agama resmi itu menyebabkan beberapa agama lokal ataupun keyakinan-keyakinan seperti hendak ‘dipaksakan’ masuk ke dalam agama itu. Kebijakan negara yang mengintervensi agama setidaknya ada 18 buah, mulai dari surat keputusan, surat keputusan bersama, hingga yang berupa radiogram-radiogram. Berdasarkan data di Kejaksaan Agung periode 1949-1992, terdapat sekurang-kurangnya 51 aliran kepercayaan di Indonesia (KOMPAS, 6 Mei 2004). Bahkan aliran kepercayaan tersebut mengalami peningkatan sebanyak 8,8 juta per tahun (Suara Merdeka, 2 Mei 2005)
Penentuan agama legal itu pada dasarnya memiliki tujuan positif, akan tetapi pada pelaksanaannya, seringkali justru menimbulkan diskriminasi. Diskriminasi di sini adalah dalam konteks keyakinan keagamaan, yang pada akhirnya dapat memunculkan dikotomi ‘agama resmi dan agama tidak resmi’. Akibatnya, masyarakat yang tidak menjadi bagian dari ‘agama resmi’ seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari negara, seperti dalam hal pencatatan perkawinan, dan kelahiran. 
Lebih radikal lagi, kelompok adat yang notabene berada di antara batas keduanya, kerap dianggap ‘tidak beragama’, padahal segala bentuk pelayanan publik sering menjadikan agama sebagai ‘paspor’nya. Artinya, tanpa mencantumkan ‘agama resmi’, orang akan mengalami kesulitan untuk memperoleh hak-hak sipil, seperti pelayanan pengurusan Kartu Tanda Penduduk, percatatan perkawinan, dsb.
Sebuah pertanyaan yang menurut saya bisa dijadikan sebuah perenungan dan permenungan adalah, masihkah kita harus berdebat tentang keberadaan ‘agama resmi’ dan ‘agama tidak resmi’ itu, serta aliran-aliran kepercayaan serta penganutnya. Atau dalam kondisi lebih ekstrem, perlukah kita berdebat soal 'agama yang paling resmi di antara agama resmi'. Untuk ini, negara seharusnya menyediakan ruang selebar-lebarnya untuk bernegosiasi dengan mereka serta untuk melaksanakan keyakinan keagamaan mereka. Negara seharusnya menampung berbagai aspirasi dari masyarakat dan memberikan tempat yang sama kepada semua pihak. Dengan begini, masyarakat yang sebelumnya telah terkotak-kotakkan itu pun tidak lantas kian mempertegas garis batas yang mengkotaki mereka itu. Aspek terpentingnya adalah menciptakan kerukunan antar umat beragama dan menghindari pertumpahan darah atas nama agama.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia pun sudah seharusnya menempatkan diri sebagai agama yang ‘mayor’ di Indonesia, artinya tidak dengan menempatkan diri sebagai agama yang menguasai dan selalu ‘meng-atasi’ agama lain dan kepercayaan-kepercayaan lainnya, inilah yang saya katakan sebagai wujud Islamisasi Indonesia. Pasalnya hal itu sudah barang tentu akan memicu ketegangan serta konflik dengan kelompok masyarakat penganut agama lain (dengan mengatasnamakan Tuhan). Satu lagi yang terpenting, resolusi yang harus segera diambil oleh negara jangan sampai hanya yang bersifat melegitimasi terbentuknya ‘Islamisasi’ tersebut.**