Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Wednesday, October 31, 2012

Menata Ulang Festival

Puluhan festival seni di Surabaya terjadi hampir setiap tahun. Namun tahun ini terjadi kekosongan penyelenggaraan. Sebaiknya penyelenggaraan festival perlu ditata ulang. Dalam setahun, bisa dipastikan Surabaya digelontor oleh berbagai festival. Yang terpenting bisa disebut, Festival Seni Surabaya, Festival Cak Durasim, Surabaya Full Music, Festival Teater Pelajar, Bienalle Seni Rupa Jawa Timur (dua tahunan). Selain itu ada berbagai festival yang bersekala kecil dan berorientasi pada produk budaya tertentu, seperti festival ludruk, festival remo, festival teater remaja, festival puisi, dll. Festival yang disebut terakhir hadir secara fluktuatif (baca : tidak tentu). Namun kehadirannya tetap memberikan bagian penting dari orientasi para seniman Surabaya, untuk mengolah iklim kesenian yang kondusif. Namun seiring dengan perubahan politik di pemerintahan di Jawa Timur, beberapa festival di atas tidak bisa terselenggara. Atau bisa dikatakan pada tahun ini gelaran festival seni tidak ada. Senyampang ada kekosongan, memang ada baiknya ada reorientasi pemikiran mengenai penyelenggaraan festival. Demikian disarankan Tjahjono Widarmanto, penyair dari Ngawi, dalam satu artikelnya. Menurut Tjahjono, titik penting festival itu, sebenarnya, pada orientasi membangun peradaban kota yang lebih modern. Festival di Surabaya, sudah selayaknya tidak hanya memandang kwantitasnya saja, tetapi kemana festival itu akan dibawa, dan berorientasi pada kepentingan apa festival itu diadakan. Sementara itu, Djuli Djatiprambudi, kurator seni rupa berpendapat, bagi masyarakat kota yang hiterogen bahkan memiliki kompleksitas problem khas masyarakat kota, festival seni (apapun) harus menyentuh aspek kepentingan bersama (tidak hanya masyarakat seniman saja) tetapi, bisa menyentuh seluruh golongan.”Sehingga festival (apapun) yang diadakan di Surabaya, ‘mampu’ memberikan jawaban atas segala problem yang terjadi di Surabaya,” katanya. Sebuah festival tidak hanya dimaknai sebuah even yang menciptakan sebuah regenerasi, pengorbitan, dan penyiapan bibit baru. Tetapi, pada perkembangannya, festival lebih merupakan sebuah ajang yang mengarah pada pertaruhan nama besar dan potensi. Sebagai contoh, di tahun 1996, FSS mampu menyita perhatian pecinta seni hingga wilayah Asia Tenggara. Inilah yang kemudian membuat even ini dianggap merupakan salah satu even kesenian terbesar di Surabaya, bahkan di Indonesia, karena mampu bertahan lebih dari 10 tahun. Kesuksesan FSS tersebut ternyata berdampak pada iklim festival di Surabaya. Diakui oleh Kadaruslan, selaku ketua dari Yayasan Seni Surabaya, tidak bisa dipungkiri, kesuksesan FSS kemudian memunculkan banyak even-even serupa, seperti Festival Cak Durasim (FCD), Surabaya Full Musik (SFM), Festival Teater Remaja (FTR), dan beberapa festival seni lainnya, baik yang bersifat tradisional maupun modern. Belum lagi festival-festival lain yang berada di luar wilayah seni, seperti Surabaya Shopping Festival (SSF), dan Festival Rujak. Uleg. ”Terlepas dari gagal atau berhasil, tapi ide FSS itu sendiri melatar belakangi munculnya even-even lainnya yang serupa dengan FSS,” akunya. Even lain seperti Festival Cak Durasim, yang biasa digelar di kompleks gedung Cak Durasim, tersebut juga merupakan salah satu agenda andalan Surabaya. Dalam even ini, serupa Festival Seni Surabaya, FCD juga menampilkan aneka seni pertunjukan, seperti teater, tari, dan musik. Hanya saja bedanya, even in tidak semata-mata menggunakan artis atau seniman yang tengah ‘naik daun’, namun beberapa seniman muda juga diundang untuk tampil. Selain itu, even lain seperti FTR yang selain memang menampilkan penampilan kelompok teater remaja, juga memang memiliki target menemukan bibit baru teater, serta tentu saja memasyarakatkan teater remaja. Berbeda lagi dengan beberapa even festival yang berada di luar wilayah seni, seperti SSF, dan Festival Rujak Uleg. Dari segi materi dan konsep, tentu saja, festival yang ini berbeda dengan festival yang berada di wilayah seni. Meskipun demikian, festival yang ini juga tidak menampilkan sesuatu yang remeh temeh, artinya sesuatu yang tidak memiliki kelebihan yang menonjol dibanding lainnya. SSF misalnya, dengan adanya SSF, setiap gerai akan berlomba memajang barangnya yang berkualitas. Begitu pula dengan festival rujak uleg. Demikian juga dengan FSS, even yang digelar setiap tahun ini juga memang tidak untuk pemula. Artinya nama-nama seniman muda tidak masuk sebagai pengisi acara. Sebaliknya nama-nama yang sudah lebih popular dipilih menjadi pengisi acaranya. Akan tetapi, permasalahan yang kemudian muncul adalah makna popularitas itu sendiri. Bagi Syaiful Hajar, seorang seniman senior yang kerap mengikuti even-even pameran berskala nasional, pada sebuah festival yang dipertaruhkan tidak hanya nama dan popularitas, namun lebih dari itu, dalam festival, aspek kualitaslah yang harusnya paling dipertaruhkan. Baginya kualitas ini memang menjadi kata kunci dalam sebuah even festival. Diceritakannya, selama mengikuti even-even seperti Biennale, dirinya mengaku, even-even yang dikelola dengan baik, dipersiapkan dengan matang, dikonsep dengan jelas, maka hasilnya pun akan positif. Dikatakannya, setidaknya bisa dijadikan rujukan untuk even selanjutnya. Selain itu, sebuah acara yang jelas berkualitas, akan berdampak pada kesejahteraan senimannya sendiri.”Biennale Jatim sendiri contohnya, seharusnya bisa dijadikan rujukan bagi curator yang berada di luar Jatim,” terangnya. Sedangkan Ivan Hariyanto, seorang perupa Surabaya yang juga sering mengikuti even bertaraf nasional dan internasional berpendapat, even-even festival pada dasarnya memiliki tujuan bagus, yakni sebagai sosialisasi kota tempat pelaksanaannya pada masyarakat luas akan potensi dan kelebihannya. Ditambahkannya, even-even yang memiliki tujuan positif tersebut hendaknya tuidak dipersempit dengan memunculkan dikotomi-dikotomi. Dikotomi yang dimaksudkannya adalah pengkotakan senior-junior dalam ruang lingkup kesenian. Baginya even festival harusnya menjadi ajang pertarungan kualitas, bukan sekadar popularitas.”Kualitas dan pengalaman lah yang akan bicara,” ujarnya.

Secangkir Kopi Segudang Gagasan

Harga yang murah, jajanan yang beraneka, adalah alasan mengapa orang datang ke warung kopi. Secangkir kopi, sebatang dua batang rokok, merupakan syarat mutlak penghuni warung kopi. Sedangkan bagi mereka yang tidak merokok, secangkir kopi dan beberapa gorengan adalah sajian nikmat dari warung kopi yang semakin hangat. Bagi segelintir orang, warung kopi juga merupakan tempat yang cocok untuk menumpahkan gagasan. Tidak jarang lahir gagasan besar dari tempat kecil macam begini. Beberapa komunitas yang menelorkan wacana-wacana kritis juga banyak lahir di tempat sepele seperti ini. Ambil contoh, Cak Die Rezim (CDR), Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), dan Komunitas Orang-Orang Penggemar Indie Film (KOPI) STIKOSA AWS. Ketiga komunitas ini merupakan bukti bahwa kopi dan warung kopi merupakan awal lahirnya gagasan penting justru dari tempat yang kerap dianggap remeh.Seperti yang dijelaskan oleh Risang, salah seorang penulis CDR bahwa CDR lahir dari kegelisahan para penulis muda melihat kondisi penulis-penulis muda yang memprihatinkan karena adanya monopoli dan dominasi dari beberapa kelompok. Pada awalnya kegelisahan ini hanya sekedar kegelisahan yang tidak terlampiaskan. Dari secangkir kopi, diskusi mulai berawal. “Dengan CDR kami para penulis muda punya wadah untuk mempublikasikan karya, sekaligus menelorkan wacana-wacana baru tentang sastra”, terangnya. Berbeda lagi dengan FS3LP. Komunitas yang melahirkan banyak sastrawan muda ini berawal dari warung kopi yang mereka namakan sendiri dengan sebutan ‘Mak’. Di tempat ini, mereka biasa berkumpul. Bahan obrolan biasanya muncul begitu kopi mulai disruput. Ketika ditanya mengenai rasa kopi dari ‘Mak’, Denny Jatmiko mengatakan ‘Mak’ merupakan tempat yang paling ideal bagi mereka untuk berkumpul. Bahkan, nama FS 3LP sendiri, diambil dari tempat ini. Nama Luar Pagar dalam singkatan FS3LP diambil dari tempat mereka nongkrong yang berada tepat di luar pagar kampus. Selain itu, komunitas kreatif lain yang tercipta dengan berlatar belakangkan kopi adalah KOPI. Komunitas ini terbentuk pada tahun 2002. Nama kopi diambil dari tempat dimana gagasan untuk mendirikan sebuah kelompok pecinta dan penggiat film indie pertama kali muncul, yakni di warung kopi. Komunitas-komunitas yang lahir dari warung kopi merupakan komunitas yang anggotanya lebih memiliki sifat solider. Solidaritas ini lahir karena persamaan yang mereka rasakan ketika sudah berada di warung kopi. Secangkir kopi yang mereka pesan pada dasarnya menjadi bukti bahwa tidak ada yang perbedaan di warung kopi. Semua sama. Sebab yang mereka makan, minum dan pesan pun tidak memiliki harga yang jauh berbeda. Ini yang membuat mereka kemudian merasa sama. (*)
Pintu Malam

nyawa puisi adalah seribu nama air mata,
begitu katamu,
setelah mematikan damar di sudut kamar
lalu, sejarah kembali murung
: mengurung diri dalam ruang mendung

kita pun kemudian sepi,
ketika kau lucutkan segala perlambang di mataku
dan ingatan yang sayup, saat
hujan membuat kelopakmu kuyup

lalu berikan aku
satu ruang kosong dalam sedihmu,
begitu ucapmu, setelah membakar gurat daun di bibirmu yang embun
(sambil membaca jarak

tubuhmu dengan gerimis yang ranum)

Jogjakarta, 2012

Gelap

hanya gumam,
kusadari, betapa cintaku teramat dalam
tersesat dalam matamu yang pualam

sediam ladam

sebab laut di dadamu lenyap, kucari
rahimmu senyap, hanya matahari
dan lantun musik belukar

setua senja

sungguh,
kusadari, betapa rinduku teramat jauh,
ketika kelak,
kunanti kanakmu, bersimpuh

--sebuah hujan yang lumpuh

Jogjakarta, 2012


Memusar

bukit hujan,
ketika kumeninggalkan
desember telanjang
di bawah bunyi kemarau, terakhir

namamu terukir

dalam rimbun suplir
(aku tahu, sebab kau tak merindukanku;

lalu retak tanah

sepenuh kabut, lelah)

membaca rajahmu,
serupa mengeja sajak tentang batu
mengepayangkanku, semua lambang

tentang nafasku yang jelma kupu

mencipta jejak menuju damar di kamarmu

(aku tahu, sebab kau tak pernah merindukanku;

memandangmu dalam diam

pada puncak suar malam)

Jogjakarta, 2012

Penulis: Risang Anom (nga), dkk.
Editor: Rangga Agnibaya
Tebal: 77 halaman
Tahun Terbit: 2009
___
“Kami tidah ingin mengambil jalan pintas mencari nama besarpribadi melalui perkumpulan yang sudah terakui. , kami ingin belajar dari awal, berkembang bersama dalam proses, atau mungkin kami hanya ingin melepas naluri yang selalu ingin bebas; tidak ingin menyerahkan diri pada kesengsaraan (sara); tidak ingin mengikuti (melok) arus yang dikembangkan oleh komunitas yang telah mendahului kami. Kami akan terus mencoba menentukan gerak bebas menurut kehendak kami sendiri. Sebab, sudah saatnya bagi kami untuk mengoptimalkan segala perasaan yang kami punyai, perasaan yang digunakan mulai awal sampai akhir untuk menikmati kejatuhan, meratapi kegemilangan, dan menggilai masa kegamangan bersama komunitas baru CDC ini…”
_________
Penulis:
1. Nga : [Cak Die Rezim]
2. Agus Budiawan: [Kureng]
3. Abimardha Kurniawan: [Surat-Surat Sunyi, Imogiri, Elegi Penginapan, Diantara Pagelaran Dangdut Alun-Alun Utara Yogyakarta]
4. Finsa Eka Saputra: [Firasat]
5. Wildansyah Bastomi: [Yang Berhenti Bersama Detak Jam, Kisah Sebuah Pelabuhan, Kenangan]
6. Eko Darmoko: [Hari Tua]
7. Rangga Agnibaya: [Kakek Tua Dan Becak, Apa Kabar Kata?, Di Sudut Kata-Kata, Selepas Tuhan Alpa]
8. Itok Kurniawan: [Cipak Liur Ujang Sorean]
9. Bramantia “Dodi”: [Kepada Tjinta, Sangharakalpa, Suatu Senja]
10. I. Manggara: [Kelir Bedah]
11.Eko Ferianto: [Waktu Telah Menantinya, Memoar Tengah Malam]
12. A. Junianto: [Urban Art: Wujud Resistensi Kultural Masyarakat Bawah]

Aku Berkarya Maka Aku Ada

Eksistensi sastra Jawa hanya bergantung pada sastrawannya. Minimnya media berbahasa Jawa mereka harus berjibaku menerbitkan karyanya sendiri. Media berbahasa Jawa boleh dikatakan sangat minim. Di Surabaya media yang ada hanya dua, Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Itupun terbit hanya untuk kalangan tertentu yang berminat dengan bahasa Jawa. Di dua media ini, bisa dikatakan budaya Jawa, secara libih luas mampu disiarkan. Selain itu bila dibandingkan dengan sastra daerah lain, sastra Jawa masih memiliki tempat yang cukup menguntungkan. Hal ini disebabkan penutur bahasa Jawa memang masih terbilang cukup banyak. Meski demikian bukan berarti praktisi sastra Jawa banyak bermunculan. Kenyataannya, tidak banyak sastrawan yang mau secara total berkarya demi kemajuan dan keberadaan sastra Jawa. Oleh karena itu, bisa dikatakan, sastra Jawa semakin terjepit di tengah banyaknya penutur bahasa Jawa. Keterjepitan sastra Jawa tidak hanya didasarkan pada jumlah sastrawan yang sedikit, namun juga pada perkembangan wacana mengenai kesusasteraan Jawa yang hanya berkutat pada segelintir orang saja. Namun demikian, sastra Jawa punya cara sendiri untuk terus hidup. Salah satunya adalah berkarya. Suparto Brata, seorang pengarang sastra Jawa sepakat bahwa kondisi sastra Jawa kini cukup memprihatinkan. Diakuinya, banyak sastrawan yang mengaku sastrawan Jawa, namun eksistensinya dalam membangun dan mempertahankan sastra Jawa malah harus dipertanyakan kembali. Baginya, meski secara komersialitas tidak segemilang dengan karya-karyanya sastra Indonesia, namun dirinya masih tetap berupaya semaksimal mungkin untuk berkarya di ranah sastra Jawa. ”Yang penting bagi saya adalah berkarya. Dengan berkarya maka sastra itu ada,” papar Suparto. Selain karya, eksistensi budaya Jawa yang didalamnya juga ada sastra Jawa dan bahasa Jawa, harus ada perhatian dari pemerintah. Suparto mencontohkan, penetapan hari Bahasa Ibu oleh pemerintah ternyata juga tidak maksimal. Meski sudah ada perda yang mengatur untuk hal itu, namun pada kenyataanya pelaksanaan akan hal itu masih belum ada. Selain itu, ditambahkan oleh Suparto, kongres juga diadakan sebagai salah satu jalan untuk menyatukan visi dan misi dalam mempertahankan kelestarian bahasa Jawa. Dikatakannya, kongres Bahasa Jawa yang diadakan juga seharusnya bisa menjadi jalan untuk mempertahankan kelestarian bahasa Jawa. Akan tetapi, diakuinya, kongres yang sudah berusia 15 tahun tersebut masih belum menghasilkan sesuatu yang konkret.”Malah menghabiskan dana bermilyar-milyar,” ujarnya. Hal tersebut didukung oleh Bonari Nabonenar. Menurutnya akan lebih baik jika uang yang digunakan untuk membiayai kongres-kongres semacam itu, digunakan untuk memberikan apresiasi terhadap komunitas dan elemen-elemen lain yang mendukung keberadaan bahasa Jawa tersebut. Ditemui secara terpisah, Widodo Basuki, pengurit sastra Jawa, sependapat dengan Suparto Broto. Menurut wartawan Jaya Baya ini, sastra Jawa hanya bisa eksis karena perjuangan para sastrawan secara mandiri. ”Banyak sastrawan Jawa yang masih separuh hati untuk bergelut dengan budaya Jawa ini,” kata Widodo yang pernah meraih penghargaan Rancage dari Ayib Rosidi, tahun 2000. Widodo menceritakan, selama ini dirinya, terus berusaha menerbitkan puisi-puisi Jawanya meski harus mendanai sendiri. Menurutnya ini kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Daripada mengeluh terus tidak adanya media massa yang menampung puisi Jawa, Widodo, berusaha mengumpulkan puisi-puisinya dengan cukup memfotokopi. Mantan ketua komite sastra Dewan Kesenian Surabaya periode 1998-2003 ini juga pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan kupulan puisi jawanya Layang Saka Tlatah Wetan (1999). “Selama ini saya terus mencoba konsisten pada sastra Jawa,” tambahnya. Tidak berbeda dengan Sri Setyowati atau biasa disapa Trinil, juga lebih aktif menerbitkan buku karya sastranya sendiri. Keterlibatannya dengan media massa dimulai tahun 1998. sejak tahun itu Trinil aktif menulis reportase untuk majalah Jaya Baya, Tabloid Bromo, Kidung, dan Penjebar Semangat. Selain menulis dengan menggunakan dialek Suroboyoan, Trinil juga menulis dengan gaya bahasa Mataraman (Jawa halus). Keterlibatan Trinil pada dunia perpuisian memang belum lama. Tetapi beberapa puisinya sudah pernah terkumpul dalam Kabar Saka Bendulmrisi, suntingan Suharmono Kasiyun yang diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Sastra Campursari suntingan Bonari Nabonenar yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Timur. Selain menulis puisi, Trinil juga menulis crita cekak (cerpen, red) yang dimuat di Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Trinil ternyata juga sudah menerbitkan buku cerita anak berjudul Kasih Sayang yang Tak Padam. Selain itu Trinil juga sudah menerbitkan novel bahasa Jawa, Sarunge Jagung. Joko Prakoso, dosen Sekolah Tinggi Karawitan Wilwatikta (STKW), menekankan seharusnya sastra Jawa dipahami sebagai wilayah tersendiri yang terpisah dari wilayah lain. Hal ini disebabkan sastra Jawa memiliki pecinta dan peminat sendiri yang berbeda dengan sastra nasional atau sastra Indonesia.”Sastra Jawa tidak bisa dipertandingkan dengan sastra-sastra lain,” ujarnya. Agar tidak terkesan kuno dan semakin ketinggalan zaman, dikatakanyanya, harusnya sastra Jawa harus menyesuaikan dengan zamannya.”Campursari adalah bukti sastra Jawa sudah bisa diterima oleh masyarakat banyak,” pungkas Joko

Wednesday, May 23, 2012

Wayang Kulit China-Jawa





Menanti Penerus

Keberadaan wayang kulit China-Jawa satu-satunya di Indonesia yang terdapat di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta menanti penerus. Dikhawatirkan,wayang kulit ini akan punah bila tidak ada yang mampu memainkannya. Wayang kulit China-Jawa lahir di Yogyakarta tahun 1925 dan diciptakan oleh Gan Thwan Sing. Diperkirakan, wayang ini pernah berjaya sekitar tahun 1930 hingga 1960-an. Setelah sang dalang sekaligus penciptanya wafat sekitar tahun 1966, wayang ini pun lenyap.

Seksi Koleksi Konservasi Preparasi Museum Sonobuduyo Yogyakarta, Winarsih, menyatakan, pertunjukan wayang China-Jawa ini tidak lagi bisa dimainkan. Ini menjadi kendala untuk memperkenalkan wayang yang terbuat dari kulit kerbau tersebut kepada masyarakat luas. "Yang kami lakukan saat ini hanya merawatnya. Kami tidak memiliki dalangnya. Pembuatnya pun juga tidak pernah mewariskan kesenian wayang China-Jawa kepada keturunannya," kata Winarsih di Museum Sonobuduyo, Yogyakarta, Selasa (22/5).

Berdasarkan penuturannya, wayang tersebut diberikan oleh Java Institute kepada Museum Sonobudoyo sekitar tahun 1935. Wayang ini tidak hanya menjadi warisan budaya, tapi juga menceritakan akulturasi budaya China-Jawa. "Wayang ini sedang dikaji ulang oleh peneliti dari Universitas Indonesia," tambahnya. Legenda China digunakan sebagai materi cerita atau lakon wayang. Sementara tata cara pertunjukkan wayang Jawa digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan legenda China. Konsep perkawinan dua budaya yang berbeda ini dituangkan dengan menulis lakon-lakon wayang Jawa gaya Mataraman.

Teks-teks lakon wayang China-Jawa tersebut ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa. Lakon-lakon itu digubah dari khasanah folklor China kuno yang populer dalam masyarakat China perantauan. "Selama pemerintahan Orba, jenis wayang China Jawa dan juga wayang Potehi tidak diakui sebagai bagian dari warisan dan tradisi jenis wayang yang dikenal dan dimainkan di Indonesia," ujarnya.

Winarsih berharap, dengan kajian ulang wayang China-Jawa ini,akan bisa memunculkan kembali seni pertunjukannya. Tak hanya itu, kepunahan akan wayang China-Jawa ini juga akan terminimalisir seiring wayang ini dimainkan kembali. "Kedua Jenis wayang tersebut merupakan wujud akulturasi budaya di Nusantara. Mereka pun telah menyumbangkan sebuah maha karya yang memperkaya budaya nusantara."

(Olivia Lewi Pramesti)
( http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/wayang-kulit-china-jawa-menanti-penerus)

Thursday, May 17, 2012

5 Sajak tentang Kota yang Terkoyak-Koyak





Eros Kota

tubuhmu terbalut cahaya,
terhempas balingbaling tua,
serupa terowongan, tubuhmu menjauh,

dan aku mencintaimu

sepertinya
sesuatu semayam di bolamatamu,
adalah luas alas cemara,
dan terjal tebingtebing sungai
menjelma hasratmu,

dan aku memang mencintaimu

dadamu penuh badai
di musim sajak,
awan berarak, bagai angin yang mabuk
oleh aroma senyummu yang setajam arak

sungguh, demi doa yang kupasung
di putih bukit tubuhmu,

aku masih saja,
mencintaimu

Yogyakarta, 2012

Retas Kota

Mata:

jendela tentang gedung tua,
tentang plaza,
tentang koran kota
yang memuat pemasungan nabi dan sabdasabda

Telinga:

cawan luka,
yang menadah tampias hujan
dari bayi rembulan
yang membulat di rahim malam

Dada:

kelabu aspal gersang
payudara setengah matang
dan sisa mortir di sudut ranjang

Rahim:

sebuah bangsal tanpa nama
di labirin prosa tanpa tema
serupa pematang desa
tempat kita, para pengembara,
bercerita,
tentang akhir sebuah doa

Yogya, 2012

Lelaki

dindingdinding bata,
adalah peta,
tempat ia belajar tentang hidup
yang terus dilalap senja

dan cerminburam,
adalah potret,
tentang masa kecilnya,
yang ditelan loronglorong kota

maka, jadilah lelaki itu,

lelaki yang memunguti
bangkaibangkai mimpinya,
di lenguh sungai keruh
yang melintasi kening kita

serta surat bersih tanpa ralat,
ialah namanama hari yang terlewat,
sebab waktu, baginya,
adalah pintu menuju suara
yang memanggil ruh katakata

maka jadilah lelaki itu

Yogya, 2012

Kematian Malam

seperti malam
kehilangan memarmemar fajar

tubuhmu adalah mawar
serupa lindu
yang mencerabutku, dari ranting,
bernama, rindu

sungguh,
angin beraroma jalang,
seperti abjad pada sajakku,
yang lupa pulang

sementara,
pada saputangan waktu
kau bubuhkan tandatangan,
tentang lengang jalan,
tentang halaman,

ihwal kematian

Yogya, 2012

Pantai

kau masih bertanya,
di persimpangan mana, ia akan moksa

sungguh, demi sepotong pagi,
dipotongnya sebuah adegan reinkarnasi

sebab setiap langkah, sesungguhnya adalah pengingkarannya atas lelah
dan puncak menara mengajarinya mengeja sejarah

penanda tentang arah, tentang bangkai kota yang memerah

sungguh, aku percaya,
ke laut jualah ia akan kembali meninggalkan kita

memanen cerita tentang nahkoda yang bertaruh nyawa
tentang suar yang menjadi altar bagi para syahbandar

maka, ia akan kembali ke sana
meninggalkan tubuh kita
di pecahan ombak di gulungan senja

Yogya, 2012

Ritual Dosa

menuang senyummu dalam retak cawan
yang menciptakan sepi, percik bunga api
hantam lembaran mantra,
yang kau kibaskan perlahan
dengan penuh duka,
penuh kenikmatan

sedang malaikat berzirah, turun malam ini,
sujud hening, menabur mawar,
dalam sebuah pengakuan dosa,
usai persetubuhan kita dengan gelap,
dengan senyap

Yogya, 2012

Tuesday, May 15, 2012

Panduan Bagi Para Diktator

Renaisance, seperti yang diketahui banyak pihak, dianggap merupakan era yang membawa aroma perubahan, terutama dalam hal paradigma di beberapa negara Eropa, hingga membuat negara-negara tersebut mampu melepaskan diri dari kungkungan irasionalitas religius yang dianggap merupakan penghambat bagi hak-hak kemanusiaan yang bersifat hakiki. Salah satu tokoh yang dianggap merupakan produk renaisance adalah Niccolo Machiavelli. Sebagai seorang diplomat dan politikus, Machiavelli yang merupakan putra asli dari Florence, Italia tersebut merupakan tumpuan harapan khususnya bagi masyarakat Italia Utara untuk memperbaiki kondisi pemerintahan yang memang masih carut marut akibat masa transisi yang belum genap dari masa kegelapan gereja menuju sebuah abad pencerahan (aufklarung). Tentu saja, melalui dua karya besarnya, yakni Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principe (Sang Pangeran), Machiavelli menjelma menjadi sebuah matahari baru yang menjadi pusat perhatian politik Italia, khususnya wilayah Italia Utara. Inovasi Machiavelli dalam buku Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio dan Il Principe adalah dalam hal memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolak belakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pada pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di medan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari bahasa latin yang berarti ‘status’, yang menunjuk pada eksistensi dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat. Khususnya pada Il Principe (Sang Pangeran), selanjutnya disebut SP, yang baru diterbitkan medio tahun ini, sejatinya merupakan surat yang ditulis oleh Machiavelli pada 1513, yang ditujukan kepada Lorenzo de Medicci seorang penguasa Florence yang kembali berkuasa setahun sebelumnya. Surat itu tak ubahnya adalah sebuah petunjuk manual tentang bagaimana mempertahankan kekuasaan. Namun, melalui surat itu pula, Machiavelli tampak sekali begitu jauh mencampakkan aspek moral dan etika sehingga namanya identik dengan pemerintahan yang korup dan totaliter. Dari surat yang pada 1532 diterbitkan pertama kali itu, orang kemudian mengaitkan nama Machiavelli dengan cara-cara brutal, licik, amoral, dan penuh tipu daya untuk mempertahankan kekuasaan. Tak heran jika pada 1559, Paus Clement VIII sempat melarang peredaran buku tersebut karena dianggap melegalkan absolutisitas dalam pemerintahan Italia. Bagi Machiavelli, politik hanya terkait dengan dua hal, yakni meraih dan mempertahankan kekuasaan. Hal-hal lain yang berada di luar itu, seperti misalnya agama, moralitas dan sebagainya, baginya tidak ada sangkut pautnya dengan aspek-aspek fundamental politik, kecuali jika hal tersebut membantu untuk mendapatkan dan mempertahankan politik itu sendiri. Sesungguhnya, keahlian yang dibutuhkan untuk mendapatkan serta melestarikan kekuasaan tersebut adalah sebuah perhitungan. Oleh karena itulah, bagi Machiavelli, seorang politikus hendaknya mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dipernyatakan dalam setiap situasi. Dalam SP, Machiavelli menjelaskan bahwa seorang penguasa sudah seharusnya tidak terikat dengan norma-norma dan etika yang bersifat tradisional serta konvensional. Dalam pandangannya, seorang penguasa memang sudah seharusnya hanya berorientasi pada kekuasaan itu sendiri, termasuk pada pelegalan dan pengafirmasian segala hal yang akan membawanya ke arah kesuksesan politik. Baginya, penguasa memang harus kikir dan kejam dalam memberikan hukuman kepada para pembangkang yang dapat membahayakan kekuasaannya, karena itu dapat menyebabkan jatuhnya kekuasaan sehingga membuat negara berada dalam keadaan kacau. Memang, dalam buku setebal 260 halaman itu, Machiavelli menggambarkan sebuah kondisi negara yang tengah labil dan sangat tidak bisa diprediksi. Hanya orang hebat dengan pikiran penuh perhitungan yang dapat menaklukkan kondisi sosial politik tersebut. Penolakan Machiavelli terhadap penghakiman etis dalam politik mengakibatkan pemikirannya disebut sebagai pemikiran renaisance yang anti-Christ. Lebih kontroversial lagi, dalam Bab XVIII, Machiavelli bahkan menyarankan agar penguasa tak segan-segan menipu demi sebuah upaya pemertahanan kekuasaan. Oleh karena itulah, sebuah upaya perubahan (baca: pemberontakan), bagi Machiavelli akan menyulut upaya pemberontakan lainnya. Untuk ini Machiavelli mencontohkan tentang bagaimana Duke Ferara, salah seorang penguasa Italia yang tidak mampu menahan gempuran pemberontakan dari Kerajaan Venezia pada 1884 serta juga Julius Caesar pada 1910. ”Karena satu perubahan saja biasanya memancing perubahan yang lain muncul juga,” begitu tulis Machiavelli pada bab II. Menurut Machiavelli pula, kebaikan moral yang terbesar memang adalah sebuah negara, yang bajik serta bijak. Akan tetapi, sebuah negara harus tetap dalam keadaan stabil. Oleh karena itulah, menurutnya segala macam tindakan untuk mempertahankan itu semua, dibenarkan. Meski demikian, Machiavelli juga menganjurkan bahwa seorang Pangeran (baca: Penguasa), tidak boleh dibenci. Selain karena kebencian tersebut dapat menyulut pemberontakan dan kekacauan, Pangeran merupakan satu-satunya pewaris kekuasaan yang memang diturunkan secara turun temurun. Baginya, seorang penguasa yang bijaksana harus membangun kekuasaannya berdasarkan dari apa yang ia kuasai, dan bukan dari apa yang orang lain kuasai; ia harus berusaha agar ia tidak dibenci. Seperti yang dituliskan Machiavelli dalam Bab IV Sang Pangeran, “yang terbaik ialah ditakuti dan dicintai. Bila seseorang tidak dapat kedua-duanya, maka lebih baik ditakuti daripada dicintai.” Dari SP tersebut, setidaknya ada tiga pandangan yang berbeda terhadap Machiavelli jika dilihat dari karya-karyanya. Pandangan pertama, menyatakan bahwa Machiavelli adalah seorang pengajar kejahatan atau setidaknya mengajarkan immoralism dan amoralism dalam politik pemerintahan. Pandangan ini dikemukakan oleh Leo Strauss (1957) karena melihat ajaran Machiavelli menghindar dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan. Pandangan kedua, merupakan aliran yang lebih moderat, yang dipelopori oleh Benedetto Croce (1925) yang melihat Machiavelli sebagai sekadar seorang realis atau pragmatis yang melihat tidak digunakannya etika dalam politik. Sedangkan pandangan ketiga yang dipelopori oleh Ernst Cassirer (1946), yang memahami pemikiran Machiavelli sebagai sesuatu yang ilmiah dan cara berpikir seorang ilmuwan politikus. Untuk ini, Cassirer menyebut Machiavelli sebagai “Galileo of politics”, terutama dalam hal membedakan antara fakta politik dan nilai moral (between the facts of political life and the values of moral judgment). Meski banyak menuai kecaman dan kesan negatif dari beberapa tokoh lain, tidak sedikit tokoh yang membela Machiavelli. Mereka beranggapan bahwa pemikiran Machiavelli kerap disalahartikan. Hal tersebut lantaran orang hanya melihat Machiavelli dari SP saja, sedikit sekali orang membaca karyanya yang lain, terutama Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio). Jika ditelaah dari karyanya yang terakhir ini, Machiavelli sebenarnya adalah orang yang bermoral dan religius. Memang, jika SP banyak menimbulkan perdebatan, maka tidak demikian halnya dengan Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) yang oleh banyak ahli dipandang mewakili komitmen dan kepercayaan politik pribadi Machiavelli, khususnya terhadap republik. Dalam semua karyanya, secara konsisten Machiavelli membagi tatanan kehidupan sipil dan politik menjadi yang bersifat minimal dan yang penuh yang mempengaruhi pencapaian kehidupan bersama. Dalam karyanya tersebut, Machiavelli mengakui bahwa hukum yang baik dan tentara yang baik merupakan dasar bagi suatu tatatan sistem politik yang baik. Namun karena paksaan dapat menciptakan legalitas, maka dia menitikberatkan perhatian pada paksaan. Karena tidak akan ada hukum yang baik tanpa senjata yang baik, maka Machiavelli hanya akan membicarakan masalah senjata. Dengan kata lain, hukum secara keseluruhan bersandar pada ancaman kekuatan yang memaksa. Otoritas merupakan hal yang tidak mungkin jika terlepas dari kekuasaan untuk memaksa. Oleh karena itu, Machiavelli menyimpulkan bahwa ketakutan selalu tepat digunakan, seperti halnya kekerasan yang secara efektif dapat mengontrol legalitas. Seseorang akan patuh hanya karena takut terhadap suatu konsekuensi, baik kehilangan kehidupan atau kepemilikan. Argumentasi Machiavelli dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa politik secara keseluruhan dapat didefinisikan sebagai supremasi kekuasaan memaksa. Otoritas adalah suatu hak untuk memerintah. Sedangkan SP sendiri lahir lebih karena sebuah reaksi atas kedaaan Italia yang saat itu tengah terpecah belah dan sangat rentan terhadap serangan, baik dari luar, maupun dari dalam Italia sendiri. Kondisi itulah yang membuat Machiavelli kemudian tidak lagi memperbincangkan etika. Dia lebih berbicara mengenai negara dari sudut pandang medis. Dirinya yakin bahwa Italia memang sedang berada dalam keadaan kritis. Machiavelli pun fokus untuk menyembuhkan negaranya dan membuatnya lebih kuat, salah satunya adalah dengan memperkuat barisan pemerintahan pribumi yang memang bersifat absolut dan turun temurun. Bukti lain adalah terminologi medis yang dipakainya dalam SP. Ditulisnya, “para penghasut harus segera diamputasi, sebelum mereka menginfeksi seluruh negara”. Namun, seiring penelitian yang dilakukan terhadap pemikiran Machiavelli ini, sebuah bukti mencengangkan akhirnya ditemukan, yakni surat Machiavelli berangka tahun 1810 yang berisikan pengakuannya sendiri bahwa dirinya menulis Il Principe agar mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan keluarga Medici. Akan tetapi, terlepas dari itu semua, pemikiran-pemikiran Machiavelli hendaknya menjadi sebuah telaah kritis terhadap sistem kekuasaan pemerintahan yang bersih, dan stabil. Buku ini pun, sayangnya diterjemahkan sebagaimana aslinya, tanpa disertai tulisan tambahan yang membuat buku ini lebih berharga sebagi acuan dari penguasa yang menginginkan sebuah kondisi aman dan tenteram tanpa munculnya pemberontakan dan pembangkangan dalam bentuk apapun.***

Wednesday, March 7, 2012

Wiwitan, Sebuah Pengharapan Jelang Panenan




Dalam dua barisan, sekitar 30 orang rombongan berjalan beriringan menembus panas pagi di sekitar Bulak Graulan dan Bulak Dubangsan Desa Giripeni Kecamatan Wates.

Rombongan yang masing-masing membopong uba rampe yang terdiri dari bermacam-macam hasil bumi mulai dari sayuran, buah-buahan, padi, hingga sebuah ingkung (ayam utuh) yang ditempatkan dalam sebuah nampan bambu.

Tentu saja, barisan itu dipimpin oleh dua orang sesepuh desa yang membawa sebuah sesaji berupa seikat padi dan tumpeng hasil bumi.

Dalam iringan gamelan, rombongan tersebut berjalan dari rumah salah satu warga menuju kedua bulak yang letaknya saling berhadapan tersebut.

Di sekitar bulak sendiri, dengan beratapkan tenda, sudah menunggu beberapa warga lainnya dan juga beberapa perwakilan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dipertahut) Kulonprogo, Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan (KP4K) serta aparatur desa setempat.

Setelah melewati warga yang berkumpul di bawah tenda tersebut, rombongan kemudian langsung menuju ke bulak yang kemudian diikuti dengan ritual penancapan sesaji berupa ikatan padi oleh sesepuh desa.

Bagi Sunaryono, sesepuh desa yang bertugas menancapkan ikatan padi itu ke lahan persawahan, mengatakan bahwa tradisi yang mereka sebut sebagai Wiwitan tersebut merupakan sebuah upaya untuk menjaga kelestarian tradisi adat Jawa.

Tradisi mereka memang mengajarkan bahwa wiwitan hanya dilakukan pada akhir musim tanam I. tradisi itu bagi mereka adalah salah satu bentuk doa dan pengharapan mereka atas Yang Maha Kuasa agar panen yang hendak mereka lakukan di Musim Tanam I bisa mencapai hasil yang maksimal. ”Kami percaya, kalau musim tanam I hasilnya bagus, biasanya di musin tanam II dan III hasilnya pun akan ikut bagus,” ujarnya yang saat ritual tersebut mengenakan busana adat jawa lengkap berupa jarik, beskap, dan blangkon.

Sedangkan untuk hasil panenan musim tanam I tahun lalu, Dikin, 62, yang merupakan Ketua Kelompok Martani menjelaskan bahwa hasil panen yang dicapai kelompoknya mencapai 9,63 ton per hektar. ”Sedangkan luas lahan pesawahan kami [Bulak Graulan] adalah 25 hektar dari total semuanya 43,04 hektar,” ucapnya.

Sedangkan pada masa tanam II, diakuinya, petani di kelompoknya mengalami penurunan produksi, lantaran disebabkan adanya musim kemarau yang menyebabkan kondisi tanah menjadi tidak subur.Akibatnya tanaman mereka yang waktu itu masih berumur 30 hari terserang penyakit hama ulat sundep seluas hampir lebih dari 2000 meter persegi. ”Akibatnya, saat itu produksi kami hanya mencapai 7,8 hektar per ton,” keluhnya.

Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut) Kulonprogo, M.Aris Nugroho justru memberikan apresiasi guna mendukung dengan kegiatan wiwitan yang dilakukan para kelompok tani. Hal itu merupakan wujud rasa syukur atas hasil pertanian yang diperoleh pasca bencana erupsi merapi yang melanda para petani. ”Semoga hasil pertanian petani pada musim tanam (MT) I ini mengalami peningkatan dengan hasil yang maksimal,” ujarnya.

Dalam wiwitan itu pula juga dilakukan sosialiasi tentang Temu Teknologi oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut) Kabupaten Kulonprogo, Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Perikanan Kehutanan (KP4K) Kulon Progo dan perangkat desa. Sosisalisasi tersebut bertujuan untuk memberikan pembinaan dan evaluasi terhadap kegiatan pertanian yang telah dilakukan masyarakat. ”Untuk tahun 2012 ini, target hasil produktifitas padi di Kulonprogo mencapai 127.901 ton gabah kering giling (GKG). Kami berharap mampu memberikan kontribusi kepada Pemerintah Provinsi DIJ,” ujarnya.

Lomba Foto Wisata & Budaya Java Promo 2012


Syarat & Ketentuan Lomba

1. Foto bertema wisata atau budaya dengan lokasi di 15 kabupaten/kota anggota Java Promo.
2. Karya foto yang diambil di luar lokasi 15 kabupaten/kota anggota Java Promo otomatis dinyatakan gugur.
3. Peserta dapat mengirimkan paling banyak 7 karya.
4. Karya yang dikirimkan HARUS BERWARNA, hasil karya sendiri, tidak sedang diikutsertakan dalam lomba sejenis, belum pernah dinyatakan menang dalam lomba foto.
5. Karya yang dikirimkan dilarang keras berbau sadisme atau pornografi.
6. Dilarang menggunakan teknik infrared dan menambah atau mengurangi elemen foto. Editing yang diijinkan sebatas cropping, burning dan dodging.
7. Penggunaan model diijinkan, tetapi panitia tidak bertanggung jawab apabila dikemudian hari muncul permasalahan antara peserta/pemenang dengan model .
8. Karya yang masuk menjadi hak Java Promo untuk digunakan sebagai materi promosi pariwisata atau lainnya dengan mencantumkan nama fotografer.
9. Peserta yang mengikutsertakan karyanya pada lomba ini, dianggap menerima dan menyetujui seluruh persyaratan.
10. Keputusan Dewan Juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.


Mekanisme Pengiriman Foto

* Foto dikirimkan dalam bentuk cetakan ukuran 12 R dan file digital dalam CD dengan format JPEG, sisi terpanjang minimal 2500 pixels. Di belakang foto ditempel tulisan : Judul, lokasi, nama fotografer , alamat, telepon (HP).
* Foto diterima panitia paling lambat hari Selasa 27 Maret 2012 pada jam kerja atau diantar ke alamat panitia :
o Sekretarian Bersama Java Promo : Kantor BAPPEDA Kab. Sleman, Jl. Parasamya No.1 Beran, Tridadi, Sleman, Yogyakarta 55511
o Dinas Pariwisata di 15 kabupaten/kota anggota Java Promo


Penjurian & Pengumuman Pemenang

* Penjurian dilakukan oleh fotografer profesional dan praktisi pariwisata yang dilaksanakan pada tanggal 29 Maret 2012
* Pemenang diumumkan tanggal 30 Maret 2012 melalui telepon dan website resmi Java Promo www.javapromo.com
* Contact Person : 081227019696 (Agus)


Hadiah

* Juara I Rp. 10.000.000,-
* Juara II Rp. 7.500.000,-
* Juara III Rp. 5.000.000,-
* 15 karya terpilih @ Rp. 500.000,-


Java Promo adalah lembaga kerjasama promosi wisata yang beranggotakan 15 kabupaten/kota di Jawa Tengah dan DIY yaitu :

1. Kabupaten Bantul. DIY
2. Kabupaten Kulon Progo, DIY
3. Kabupaten Sleman, DIY
4. Kabupaten Gunung Kidul, DIY
5. Kota Yogyakarta, DIY
6. Kabupaten Magelang, Jateng
7. Kota Magelang, Jateng
8. Kabupaten Temanggung, Jateng
9. Kabupaten Wonosobo, Jateng
10. Kabupaten Purworejo, Jateng
11. Kabupaten Kebumen, Jateng
12. Kabupaten Boyolali, Jateng
13. Kabupaten Klaten, Jateng
14. Kabupaten Karanganyar, Jateng
15. Kabupaten Semarang, Jateng


Sekretariat Bersama :
Bappeda Sleman, Jl. Parasamya No. 1 Beran, Tridadi, Sleman 55511.
Telp/Fax : +62 274 866668,
E-mail : javapromo@indo.net.id dan java_promo@indo.net.id
wbsite: www.javapromo.com

Monday, January 23, 2012

Kampung Surabayan Dulu dan Kini

SORE itu (23/1) masih begitu terik. Sinar matahari masih perkasa menciptakan bayang lamur ke arah timur. Begitu pula di kampung ini. Surabayan. Kampung di kawasan Kedung Sari itu seperti pada sore-sore sebelumnya, riuh oleh lalu lalang warga atau sekadar orang yang kebetulan sedang lewat.

Meski sudah jarang berdiri bangunan-bangunan dengan arsitektur kuno dan sudah didominasi bangunan kampung modern, rumah-rumah di sana berpetak-petak dengan ukuran yang tak begitu luas. Kondisi itu seakan-akan menerjemahkan bahwa kampung itu memang tidak mementingkan keadaan bangunan per bangunan, tetapi lebih mengutamakan jumlah penghuni.


Kondisinya yang cukup kumuh itu adalah potret nyata dari sesuatu yang wajar, khas, dan membudaya sebagai kampung. Kumuh merupakan kata kunci jika mencoba mencari pengertian kampung di Surabaya. Tapi, siapa yang menyangka jika kampung itu adalah salah satu kampung tertua di Surabaya. Nama yang sama, bisa jadi itu alasan kenapa kampung ini kemudian dikatakan sebagai kampung tertua di Surabaya.


Budayawan Surabaya yang juga penulis buku Masuk Kampung Keluar Kampung (2008), Akhudiat berpendapat lain. Dikatakannya, Surabayan merupakan kampung pertama di Surabaya setelah dilihatnya sebuah perjanjian yang dalam ilmu sejarah biasa disebut Ferry Charter atau Perjanjian Penyeberangan.


Perjanjian ini pada dasarnya merupakan sebuah kisah yang termaktub dalam Kitab Negarakretagama karya Suttasoma. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa Raja Majapahit menyinggahi setidaknya 40 desa di sekitar sungai Brantas dan Bengawan Solo. Dari 40 desa itu, beberapa di antaranya adalah Desa Surabayan, Bungkul, dan Jambangan. Saat itu Surabaya berada dalam kondisi yang  sangat jauh berbeda dengan sekarang.


Jangan dibandingkan dengan sekarang, saat itu Surabaya masih berupa kumpulan pulau-pulau kecil yang masing-masing memiliki sebuah kota utama yang sekaligus merupakan pelabuhan dan pintu masuk ke pulau tersebut.


Sedangkan Surabayan sendiri pada mulanya adalah sebuah kota penting dalam pemerintahan Majapahit. Betapa tidak, dalam Negarakretagama disebutkan bahwa Surabayan disebut sebagai salah satu dari kota pelabuhan yang cukup sibuk. Bahkan, secara keseluruhan, Wonokromo merupakan kawasan pelabuhan utama bagi Surabaya.


Ini dibenarkan oleh Autar Abdillah. Menurut seniman yang tesisnya mengambil tema Budaya Arek Surabaya (2007) ini, di abad ke-4, yang namanya Surabaya hanya merupakan beberapa pulau kecil di sisi sebelah timur. Pulau-pulau itu di antaranya adalah Bagong, Bungkul, Gunungsari, dan beberapa pulau kecil yang kini menjadi kampung-kampung di kawasan sekitar sungai Brantas, seperti Rungkut, Prapen, dan Ngasem.


Bahkan saat itu, menurut Autar, Pulau Wonosrama, yang kemudian kini menjadi kampung Pulo Wonokromo, diakui Autar, merupakan kawasan pelabuhan yang sangat sibuk. "Kawasan ini memang seolah menjadi pintu masuk ke pulau-pulau yang lebih dalam,” ujar staf pengajar drama di Sendratasik Universitas Surabaya (Unesa) ini.


”Hingga pada akhirnya muncul kampung Ampel Dento,” sela Akhudiat kemudian. Abad ke-14 memang ditandai dengan munculnya sebuah kampung Arab di kawasan Ampel. Keadaan saat itu, Surabaya sudah tidak lagi terpencar-pencar menjadi  pulau-pulau kecil, melainkan sudah menyatu dengan dilakukannya proses reklamasi oleh beberapa warga.


Selepas itu, barulah kawasan utara menjadi sangat sibuk. Betapa tidak, kawasan utara yang merupakan kawasan pesisir menjadi pusat aktivitas manusia dari berbagai tempat. Akibatnya, kawasan ini menjadi begitu plural. Begitu beranekanya hingga pada masa koloni, sempat terjadi perbedaan hukum publik menjadi 3, yakni hukum Eropa, Timur Asing, Pribumi.


Hukum Eropa merupakan hukum yang berlaku bagi warga berkebangsaan Belanda, Inggris, dan juga beberapa warga Eropa. Hukum Timur Asing diperuntukkan pada masyarakat berkebangsaan Arab, Cina, dan beberapa masyarakat yang berasal dari Asia. Terakhir, hukum yang diperuntukkan bagi pribumi, bagi masyarakat asli.


Saat itu, secara administratif, pemerintah kolonial memang setidaknya membagi Surabaya menjadi dua wilayah besar, yakni Kota Atas dan Kota Bawah.


Kota Atas yang berada jauh dari pesisir bisa dibilang merupakan kawasa elite tempat pusat peradaban bagi kaum-kaum borjuis. Kawasan yang saat itu meliputi daerah Darmo, Simpang, dan sekitarnya itu memang merupakan kawasan pemukiman yang banyak dihuni warga Eropa.


Sedangkan Kota Bawah merupakan kawasan yang setiap harinya selalu sibuk. Kawasan yang dipecah oleh Sungai Kalimas menjadi dua wilayah besar ini merupakan kawasan pusat perdagangan yang bisa dibilang merupakan urat nadi Surabaya.


Setidaknya memasuki abad ke-18, kurang lebih tahun 1900, saat Jembatan Petekan dibangun, pengaturan kota bawah ini sudah demikian rapi. Di antaranya adalah dikelompokkannya kawasan yang dihuni masyarakat yang sejenis atau serumpun.


Misalnya di sisi barat Sungai Kalimas, khususnya di kawasan Kalongan, Gatotan, Krembangan, merupakan hunian masyarakat Eropa, atau setidaknya masyarakat-masyarakat Indo-Belanda.


Sedangkan di sisi timur sungai Kalimas, yakni di kawasan yang sekarang dikenal dengan Jl. Karet dan sekitarnya merupakan pusat hunian masyarakat-masyarakat beretnis Tionghoa. Agak ke barat, tepatnya di kawasan Ampel, yang saat itu sudah semakin berkembang dari sekadar kampung Ampel Gentho, semakin banyak warga beretnis Arab berkumpul dan beranak pinak di kawasan itu. "Jadi memang, waktu itu cukup dekat kawasan China dan Arab," sela Akhudiat lagi.


Barulah di sisi timur Sungai Kalimas, tepatnya di sisi sebelah utara kampung pecinan, merupakan tempat kumuh yang dihuni masyarakat pribumi.


Memang, pembagian-pembagian ini, dikatakan oleh Akhudiat, cukup tegas. Hukum yang dijalankan pemerintah kolonial waktu itu memang cukup tegas. ”Pernah sekali waktu ada warga China yang kemalaman di kawasan Krembangan. Dia menginap di sana. Ga pake lama, langsung ditangkap dia,” terang Akhudiat dengan gaya bicaranya yang khas.


Baru inilah mulai muncul pengertian kampung. Waktu itu ciri khas kampung yang paling mudah dikenali adalah kumuh dan letaknya yang memang menjorok ke dalam. "Jauh dari straat," Akhudiat mengistilahkan.


Straat merupakan sebutan bagi jalan besar, jalan raya, atau jalan utama yang memang waktu itu pembangunannya lebih diutamakan pada kawasan-kawasan yang kerap dilalui masyarakat Eropa, yang menjalankan roda kehidupan Surabaya.


Ternyata apa yang dijelaskan Akhudiat tersebut memang benar-benar ada hingga sekarang. Buktinya kampung-kampung asli yang memang pantas disebut sebagai kampung, letaknya pasti berada tidak dekat dengan jalan-jalan besar.


Selain itu, egalitarian masyarakat kampung pun dari masa pra koloni pun sudah demikian tampak. Misalnya dengan kebiasaan main ceki (suatu permainan cara China seperti pei, bongkin) dan misuh (mengumpat). Ini wajar mengingat hampir di setiap kampung terdapat gardu atau yang sekarang kerap disebut dengan pos satpam, merupakan pusat sosialisasi serta transformasi berbagai informasi antar masyarakat. "Sehingga sebagai pengisi waktu pun mereka kemudian main ceki di sana," ujar Akhudiat.


Belum lagi, kebiasaan masyarakat kampung yang tidak bisa dihindari adalah mendem (minum minuman keras). Puncaknya, kegiatan ini adalah ketika ada salah satu warga yang punya hajat, baik itu perkawinan, maupun khitanan, minuman keras menjadi suguhan wajib. Uniknya tidak hanya menjadi suguhan bagi para undangan, melainkan juga dijual di sekitar rumah yang punya hajat, lengkap dengan tambulnya (makanan pelengkap saat minum minuman keras).


Tidak hanya itu, masih ada ciri khas lain yang memang sangat menonjol dari kampung-kampung asli di di Surabaya adalah adanya pagupon (kandang burung dara). Menurut Akhudiat, pagupon ini merupakan bukti dari kegemaran warga kampung Surabaya untuk ando’an doro, istilah untuk aktivitas yang biasa disebut dengan adu merpati.


Kini meski modernisasi telah merambah dan mengubah Surabaya menjadi kota metropolis, namun kenyataannya, jika memasuki kampung-kampung tersebut, misalnya, kampung Peneleh, Bubutan, Wonokromo, Jambangan, hingga timur seperti kampung Sidotopo, Bulak, hingga terus ke timur ke kawasan kampung nelayan Nambangan, nuansa kampung setidaknya sedikit masih terasa.


Letaknya yang jauh dari jalan besar dan beberapa ciri khas lain seperti selalu ditemukannya gardu dan pagupon pun menjadi bukti bahwa akar tradisi dan kebiasaan warga kampung Surabaya yang egaliter dan apa adanya memang masih dipegang dan dijalankan, baik secara sadar maupun tidak sadar.


Kini, kampung-kampung yang ada di Surabaya, sudah terdistorsi oleh masuknya modernisasi yang semakin merajalela. Lalu, apakah lokalitas khas kampung sebagai identitas kota ini akan terus luntur. Akhirnya satu per satu kampung di Surabaya akan lenyap dan berubah menjadi kawasan yang di tahun 1930-an dikenal sebagai kota atas. Sebuah kawasan elite yang sama sekali tidak bernafaskan egalitarian sebagai identitas asli masyarakat Surabaya.

Ode Untuk Waktu



sebab tak pernah tegas kau bercerita soal langit, tak pernah tegas berkisah soal surga di sela dua awan yang mengambang di kamarmu. tak pernah pula kau tulis surat untuk daun-daun gugur itu. lalu dimana ukiran wajahmu kau sembunyikan: di bangkai malam, di sebalik cermin buram, atau sebuah telegram yang tak pernah terkirimkan.

kau di mana, aku bertanya pada sisa swaramu yang mendengung di secangkir kopi pahit yang tak mampu kuhabiskan pagi ini. sebab semua begitu getir, saat tarianmu mulai mengalir, tanah basah depan rumah hanya bisa meraung melihat keningmu diukir mendung.

bukan pantai, hanya segaris senja di teras rumahmu yang tampak menyala. hanya secarik kertas berisi sebuah prosa tentang kematian. tentang tubuhmu yang mendadak dingin ketika kau lihat matahari di ujung jariku mulai pecah. seperti tak mampu kau temukan aku, kau bayangkan bergemetarannya bibirmu: mengucap namaku.

betapapun, aku ingin tahu di mana kau kini. sebongkah alamat yang teronggok di pucuk kartu pos bergambar nabi seperti benar-benar telah menyesatkanmu. jangan kau buang kartu pos itu, sebab aku masih mencarimu: sebuah alif yang begitu naif.

mungkin aku yang keliru menerjemahkan setiap kertap dan ceracap, yang selama ini selalu kau dengungkan ke dalam asbak yang penuh dengan bangkai bebatang kretek yang tak habis terhisap. maka, kuminta selalu salahkan aku, hanya demi segaris sungai di bibirmu yang selalu ingin kulihat meluap.

coba lihat, anak kita sudah belajar menulis lagi. langit tanah dan laut adalah kertas baginya. takkah sesekali kau ingin kembali membunuhku. seperti yang kau lakukan dulu ketika tiba-tiba katamu kau melihat sebuah topeng menggantung di mata kiriku. sebab hanya dengan membunuhku, kulihat sungai itu semakin membuncah. itulah mimpi kita.

dan kita sering berdebat soal itu. tentang nama yang tak boleh disebut ketika sayup-sayup nafasmu mulai hambar dan redup. lalu kenapa bisa kau kehabisan suara. bukankah bagi kita suara adalah selembar waktu yang terasa begitu baka. bukankah waktu adalah pintu. pintu menuju hujan yang terus lelap dan tak pernah terselesaikan.

sayangku yang jauh, entah berapa kali harus kukelilingi ranjangku. setidaknya kota ini, hanya agar kembali kauberiku sobekan-sobekan kertas, pecahan botol tuak, dan potongan-potongan bintang. hanya agar aku bisa mabuk. mabuk oleh senyummu, oleh alamat rumahmu, oleh sungai senja di teras rumahmu.

aku tahu, toh kau tak pernah tertidur. selalu kau tanyakan dimana jasadku tersungkur. selalu kau cari tahu di mana bangkai sajakku kusimpan. itulah, selalu saja kau anggap aku ini adalah penyair, meski kau tahu, betapa aku tidak suka itu. aku bukan penyair, kataku. aku hanya sebuah gerbong kereta yang tak pernah lupa menyapa kursi-kursi dingin di sebuah stasiun tua.

dan kau tahu, mustahil kita menghentikan hujan. kerna kita bukan angin, bukan peletik nyala damar, bukan pula cemericit burung-burung manyar. kita hanya sebuah perahu, dari kertas yang bersiap dihanyutkan arus demetik waktu. sebab memang segala mula adalah waktu, dan kau tahu benar soal itu. lalu seperti tak peduli, darahku kemudian kau teteskan sebagai wujud persembahan rindumu pada selembar kabut yang lindap di puncak gunung dan aroma keringatmu yang menggantung.

begitu lelah. kita memang begitu lelah. itu pesan yang kau tulis kepadaku lengkap dengan gambar kepala berbuket berikut sepasang tanduk dari karet dan selembar ekor burung merak yang di ujungnya tertancap sepasang telur retak. hingga kini aku masih tak mampu menangkap makna pesan itu. entah karena begitu lamban, atau memang benar, kita telah begitu lelah.

kau tunjukkan aku jalan pulang ke rumah kita. rumah yang dulu pernah kita susun dari selembar kabut dan gerimis yang kau kata tak pernah terdengar ritmis. memang saat itu, kita berdua hanya bisa menunggu, perihal apa yang bakal diturunkan oleh mendung yang menggaung murung.

tak pernah kau ajarkan aku tentang keajaiban. sebuah keajaiban yang mengubah malam menjadi sebuah bukit dengan puncak yang merobek langit. aku pun lupa, bahwa kita memang tidak terlahir dari sana, dari bukit itu. kita terlahir dari sungai-sungai keruh yang semalam tak usai bercinta dengan gedung-gedung tua.

bagi kita, hidup tak ubahnya selembar kertas koran yang memang tak mampu lagi garam-garam laut mewarnai dan melukisinya. hidup kita telah usai, katamu. saat takdir menjelma sebuah menara suar yang menuntun perahu yang gusar menjemput ajal, kita berpelukan. di bawah senja yang pecah, tubuhmu melepuh oleh api yang menjilat dari kedua mataku.

begitu bangganya dirimu atas kematian begitu biasa ini. sama bangganya ketika dulu kita lahir bersama, telanjang bersama saat ombak terbelah dua oleh buritan sampan. Sadarlah lelakiku, katamu. kita hanyalah makhluk sederhana hasil percintaan kota yang pengap oleh asap dengan gedung-gedung tua tanpa atap. itulah, maka kematian buatmu adalah hal yang biasa, sebab tak lagi ada yang istimewa dari arti sebuah persetubuhan.

memang itulah makna kematian buatmu. senja yang tak pernah kau jemput, mendadak menjadi sebilah pisau setajam batang-batang rumput. kau tahu, nyaris saja senja itu membakar atap kamar kita. tapi nyatanya, akhir-akhir ini senja memang selalu datang lebih awal. saat engkau mengira, senyum dan air susumu bakal banal.

sungguh, cintaku, tak pernah sanggup kulepas kau berlayar sendiri. betapa kau tak tahu makna angin yang menerbangkan dingin, atau hujan yang melarutkan ingatan. tapi tetap saja, kau pergi, sebab tanpa pergi, takkan pernah ada kembali, katamu. Seperti tanpa hilang, tak pernah ada kata datang.

cukup masuk akal, ketika langkahmu terdengar menjauh. betapapun, aku telah melempar sauh, jauh ke arah gugusan karang di sana yang tampak rapuh. mimpi kita terlihat berlesatan saat angin sore yang remuk berhembus dari sebuah menara tua yang nyaris ambruk.

jangan lupa matikan peletik damar, saat kelak tak lagi kau punya kamar. saat kelak tak lagi kau punya sayap yang selalu kau banggakan pada setiap sore yang senyap. ya, sore yang seperti tak pernah habis kau sesap. itulah kebanggaan kita atas kota ini. kau begitu takjub akan sore, bukan senja. Bagimu sore tak ubahnya adalah pintu menuju sebuah dunia baru yang begitu gelap dan tabu, namun justru itu yang membuatmu terlelap.

takkah kau sadar, kematian kita adalah nyanyian burungburung nazar saat melihat bangkai di tanah gersang yang memar. bagi kota ini, cinta kita adalah duri dan embun yang menyisipi urat daun. sebab setiap puing dan sisa batu bata, bagi kota ini adalah telinga, adalah mata, adalah jemari yang siap bersaksi saat kita bercinta nanti.

dan pagi, mungkin hanya mimpi yang tersisa. sisa gincu bercampur luka di tepian gelas berisikan cahaya senja. kutemukan biji matamu di sana. kutemukan sepotong bibir atasmu juga di sana. ku ajak bicara. tentang malam, asap, gerimis, dan sisa darah dari kemaluanmu yang mengamis.

ya, mungkin hanya kemaluanmu yang mampu kulupakan, saat kulihat waktu yang mencumbu karang bebatu di garis pantai yang landai. tak ada yang mampu kuingat dari sana, selain sebuah oase dengan sungai airmata jernih yang menderas di tengah hutan pinus dan sebuah altar kudus.

Sangat mungkin, serupa Ruci, kau membiarkan aku mengangkuh di lorong gelap telingamu. maka jadilah kau manusia, ucapmu dengan terus melihat gerak bibirku yang kau anggap sia-sia. hingga mataku membanjir oleh ritmis desahanmu yang dihujam mendung. sebuah fragmen bunuh diri yang begitu melankolis.

lalu dengan sangat ragu, aku langkahkan kaki yang lunglai akibat tikaman sejarah yang tak pernah usai. mengarah pada liang keperempuananmu yang riuh oleh sirine ambulans. Sedang jarum jam memutar terbalik, ketika nafasmu terdengar rintik.

2011-2012