Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Thursday, August 27, 2009

Pilih Ngisi Jedhing, Apa Ngisi Ceramah


Monggo pinarak, mas....

Tepangaken, niki foto kula kaliyan Cak Sapari pas dhateng Australia...

Yang dimaksud foto itu tentu bukan foto dirinya, melainkan foto dua ekor kucing yang biasa dijual di pasar-pasar. Celetukan ‘aneh’ semacam itu sudah biasa meluncur dari pelawak ludruk Kartolo. Ia menyambut saya seperti menyambut teman ludrukannya, slengeken.

Itulah keseharian seniman ludruk yang namanya melambung di era 1980-an itu. Guyonan dan dagelan selalu muncul meski dirinya sedang berusaha berbicara serius.

Itulah salah satu ciri yang membuat Kartolo mendapat tempat di hati penggemarnya. Ini pula yang membuat budayawan Sindhunata mengabadikan Kartolo lewat buku Ilmu Ngglethek Prabu Minohek. Menurut Sindhunata, jalan hidup Kartolo memang begitu sederhana. Sangat ngglethek (pasrah).

Kesederhanaan itu tercermin dari gaya hidupnya. Sosok Kartolo yang biasa dikenal sebagai pria yang slengekan, ternyata ketika berada di rumah, ia seorang ayah yang cenderung pendiam.

Ruang tamunya juga kelihatan sederhana. Ada tiga set sofa dengan berbagai hiasan dinding, mulai dari berbagai piagam penghargaan yang dipigura rapi, hingga bebarapa buah foto keluarga dan foto Masjidil Haram besar yang terpampang di dinding sebelah kanan. Cara berpakaianpun juga kelihatan sederhana. Sehari-harinya ia hanya berkaos oblong putih yang dimasukkannya rapi ke dalam celana kain.

Meski nuansa humor dan guyonan kerap muncul tanpa sadar, namun diakui oleh pelawak kelahiran Watuagung, Prigen, Pasuruan tersebut dirinya juga terkadang ingin tampil serius dan khidmat, khususnya ketika berada di tempat ibadah.

”Kadang anggepane wong, wong ludruk itu jauh dari jalan agama,” kata Kartolo, kali ini dengan mimik serius.

Namun anggapan itu ditepisnya. Paling tidak, apa yang dialami jauh dari kesan orang yang tidak nyanthol agama. Bagi suami Kastini ini, keberadaannnya sampai seperti saat ini tak lepas dari kersaning sing gawe urip.

Betapa tidak, pada awal karirnya dulu, ia juga seperti pemain ludruk lainnya. Pindah dari gedong satu ke gedong lainnya. Namun pengalaman itu yang akhirnya menempa dirinya.

”Yang ada di otak saya waktu masih ngeludruk di gedong-gedong, ya cuma makan, tidur. Itu saja. Lha wong saat itu, bisa makan dua kali sehari saja sudah untung,” kata pemeroleh penghargaan ‘Seniman Berprestasi 2005’ dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo.

Hasil dari lara lapa itu menemukan titik baliknya sekitar tahun 1978. Tahun itu dicatat Kartolo sebagai awal dari karirnya di dunia ludruk. Pelawak kelahiran 2 Juli 1947 tersebut, mengaku pernah bermimpi ada suara dalam tidurnya yang mengatakan waktu yang dimilikinya hanya tersisa tiga tahun. Setelah mengalami mimpi itulah, kemudian Cak Tolo, panggilan akrab Kartolo, mulai mengakrabi dunia religius.

Dirinya mulai berpikir pada dasarnya manusia dilahirkan ke bumi dalam kondisi yang lemah. Saat itu, baginya manusia tidak ubahnya hanya makhluk yang memiliki kekuatan yang sangat terbatas. ”Di titik tertentu, manusia itu tidak punya dan tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.

Setidaknya prinsip itulah yang kemudian membuat Kartolo muda kemudian beralih menjadi sosok yang religius, sebuah sifat yang tidak lagi dialaminya setelah dirinya bergabung dengan ludruk.

Memang, masa kecil Kartolo yang dihabiskan di Watuagung, Prigen, Pasuruan, merupakan masa kecil yang selain dekat dengan kesenian, juga dekat dengan agama. Selain berkesenian, yakni karawitan, Kartolo kecil juga dididik agama dengan cukup disiplin, mengingat lingkungan dimana Kartolo tinggal merupakan lingkungan yang bisa dikatakan sebagai lingkungan santri.

Ternyata benar, setelah tiga tahun Kartolo ternyata mengalami sesuatu hal yang benar-benar kemudian mengubah jalan dan nasib hidupnya. ”Kurang lebih di tahun 1980, saya kemudian ditawari rekaman oleh Nirwana Record. Sejak itulah nasib saya berubah drastis,” ungkapnya.

Sejak bergabung dengan Nirwana Record, Kartolo Cs sudah menghasilkan 90 kaset rekaman lakon ludruk. Ini dihasilkannya dalam kurun waktu 1980-1995. Jika dirata-rata, setiap dua bulan sekali Kartolo Cs menghasilkan satu kaset.

Beberapa kaset yang pertama kali ditelurkannya adalah Peking Wasiat dan Welut Ndase Ireng. Sedangkan kaset yang terakhir diproduksi adalah Rujak Kikil. Kaset ini keluar pada 1995, persis saat Basman, rekan pemain ludruk, meninggal dunia.

Sejak lawakannya direkam di pita kaset, hidupnya berubah menjadi lebih baik seiring dengan larisnya kaset rekamannya serta semakin banyaknya job dan show yang dilakoni bersama teman-temannya seperti almarhum Sokran, almarhum Munawar, almarhum Blontang, Sapari, dan Ning Tini, bergabung setelah dinikahi 1974.

Diakui oleh Kartolo, awalnya mimpi itu tidak digubrisnya, namun setelah dirinya mengalami kejadian-kejadian yang dialaminya dalam mimpi-mimpinya tersebut, barulah dia percaya bahwa mimpi pada hakikatnya adalah perlambang akan sebuah peristiwa yang akan terjadi. ”Wis ta lah, ngalah-ngalahi Mama Lorent pokok’e,” ungkapnya sambil terkekeh-kekeh.

Dalam setiap perubahan hidup Kartolo, selalu didahului dengan mimpi. Diceritakannya, dirinya pernah bermimpi dilempar oleh tiga buah bungkusan yang terbungkus kain sarung. ”Ternyata tidak lama setelah itu, karir saya semakin melejit. Seperti nggathuk-nggathukne yo? Tapi itulah kenyataanya,” kenangnya.

Dikatakannya lagi, bahwa suatu hari dirinya pernah bermimpi mengenai hujan deras yang melanda tempat dirinya akan tampil melawak. Ternyata, tidak lama, ketika dirinya sampai di kawasan Dampit, Malang, hujan memang benar-benar turun deras, hingga akhirnya show-nya terpaksa ditunda.

Tidak hanya berkaitan dengan karirnya, tetapi mimpinya pernah berbuah duka. Diceritakan Kartolo, tentang firasat mimpi sebelum adiknya meninggal dunia. Dia bermimpi dimintai sumbangan.”Ternyata, setelah saya bertemu dan dimintai sumbangan salah satu yayasan, lah kok ga lama, saya dapat telepon dari Pasuruan. Adik saya meninggal karena kecelakaan,” kenangnya yang kali ini dengan suara pelan.

Kini Kartolo sudah menyandang haji. Gelar haji itu sudah disandangnya sejak tahun 2001 lalu. Ia mengaku sangat terlambat berhaji, karena baru menuaikan haji setelah usianya tua. Namun Kartolo mengaku tidak menyesal, karena toh bisa memberangkatkan haji kedua orang tuanya.

”Zaman itu, meski kami banyak job, tapi saya dahulukan untuk membahagiakan orang tua saya dulu,” aku bapak dari Gristianingsih dan Dewi Trianti.

Dengan menyandang status haji dan juga ‘orang ngetop’, ketika berada di kampungnya, diakuinya kerap warga lainnya menawarinya untuk menjadi pemimpin mereka, khususnya dalam hal ibadah.

Diceritakannya, dia kerap ditawari untuk menjadi imam dan khatib di masjid kompleksnya yang berada di kawasan Kupang Jaya. Akan tetapi, dengan guyonan dan dagelan pula, Kartolo menanggapi semua tawaran dari warga tersebut. ”Lek aku dadi imam, gelem ta peno terawih mulai jam pitu buyar jam papat isuk? Itu yang saya katakan pada mereka. Akhirnya mereka kan nge­per,” terangnya.

Selain itu, dia juga kerap diminta untuk mengisi ceramah. Dia juga menanggapi tawaran tersebut dengan guyonan. ”Lah mendhing saya ngisi jedhing dulu, baru ngisi ceramah,” ujarnya.

Memang, meski dia terbilang cukup tekun menjalankan ibadah agama, namun Kartolo mengaku masih belum pantas untuk menyandang status yang disebutnya sebagai pelawak dakwah. ”Kalau cuma nyinggung sedikit, gak apa-apa. Tapi kalau sampai serius ngomong soal agama, saya belum berani. Takut salah,” akunya.

Dia mengatakan, dua hal yang dihindari saat melawak adalah politik dan agama.”Itu masalah sensitif. Saya bukan politikus, juga bukan dai. Saya cuma pelawak yang pura-pura jadi politikus dan pura-pura jadi pendakwah,” kata Karlontong...eh..Kartolo.