Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Wednesday, October 31, 2012

Menata Ulang Festival

Puluhan festival seni di Surabaya terjadi hampir setiap tahun. Namun tahun ini terjadi kekosongan penyelenggaraan. Sebaiknya penyelenggaraan festival perlu ditata ulang. Dalam setahun, bisa dipastikan Surabaya digelontor oleh berbagai festival. Yang terpenting bisa disebut, Festival Seni Surabaya, Festival Cak Durasim, Surabaya Full Music, Festival Teater Pelajar, Bienalle Seni Rupa Jawa Timur (dua tahunan). Selain itu ada berbagai festival yang bersekala kecil dan berorientasi pada produk budaya tertentu, seperti festival ludruk, festival remo, festival teater remaja, festival puisi, dll. Festival yang disebut terakhir hadir secara fluktuatif (baca : tidak tentu). Namun kehadirannya tetap memberikan bagian penting dari orientasi para seniman Surabaya, untuk mengolah iklim kesenian yang kondusif. Namun seiring dengan perubahan politik di pemerintahan di Jawa Timur, beberapa festival di atas tidak bisa terselenggara. Atau bisa dikatakan pada tahun ini gelaran festival seni tidak ada. Senyampang ada kekosongan, memang ada baiknya ada reorientasi pemikiran mengenai penyelenggaraan festival. Demikian disarankan Tjahjono Widarmanto, penyair dari Ngawi, dalam satu artikelnya. Menurut Tjahjono, titik penting festival itu, sebenarnya, pada orientasi membangun peradaban kota yang lebih modern. Festival di Surabaya, sudah selayaknya tidak hanya memandang kwantitasnya saja, tetapi kemana festival itu akan dibawa, dan berorientasi pada kepentingan apa festival itu diadakan. Sementara itu, Djuli Djatiprambudi, kurator seni rupa berpendapat, bagi masyarakat kota yang hiterogen bahkan memiliki kompleksitas problem khas masyarakat kota, festival seni (apapun) harus menyentuh aspek kepentingan bersama (tidak hanya masyarakat seniman saja) tetapi, bisa menyentuh seluruh golongan.”Sehingga festival (apapun) yang diadakan di Surabaya, ‘mampu’ memberikan jawaban atas segala problem yang terjadi di Surabaya,” katanya. Sebuah festival tidak hanya dimaknai sebuah even yang menciptakan sebuah regenerasi, pengorbitan, dan penyiapan bibit baru. Tetapi, pada perkembangannya, festival lebih merupakan sebuah ajang yang mengarah pada pertaruhan nama besar dan potensi. Sebagai contoh, di tahun 1996, FSS mampu menyita perhatian pecinta seni hingga wilayah Asia Tenggara. Inilah yang kemudian membuat even ini dianggap merupakan salah satu even kesenian terbesar di Surabaya, bahkan di Indonesia, karena mampu bertahan lebih dari 10 tahun. Kesuksesan FSS tersebut ternyata berdampak pada iklim festival di Surabaya. Diakui oleh Kadaruslan, selaku ketua dari Yayasan Seni Surabaya, tidak bisa dipungkiri, kesuksesan FSS kemudian memunculkan banyak even-even serupa, seperti Festival Cak Durasim (FCD), Surabaya Full Musik (SFM), Festival Teater Remaja (FTR), dan beberapa festival seni lainnya, baik yang bersifat tradisional maupun modern. Belum lagi festival-festival lain yang berada di luar wilayah seni, seperti Surabaya Shopping Festival (SSF), dan Festival Rujak. Uleg. ”Terlepas dari gagal atau berhasil, tapi ide FSS itu sendiri melatar belakangi munculnya even-even lainnya yang serupa dengan FSS,” akunya. Even lain seperti Festival Cak Durasim, yang biasa digelar di kompleks gedung Cak Durasim, tersebut juga merupakan salah satu agenda andalan Surabaya. Dalam even ini, serupa Festival Seni Surabaya, FCD juga menampilkan aneka seni pertunjukan, seperti teater, tari, dan musik. Hanya saja bedanya, even in tidak semata-mata menggunakan artis atau seniman yang tengah ‘naik daun’, namun beberapa seniman muda juga diundang untuk tampil. Selain itu, even lain seperti FTR yang selain memang menampilkan penampilan kelompok teater remaja, juga memang memiliki target menemukan bibit baru teater, serta tentu saja memasyarakatkan teater remaja. Berbeda lagi dengan beberapa even festival yang berada di luar wilayah seni, seperti SSF, dan Festival Rujak Uleg. Dari segi materi dan konsep, tentu saja, festival yang ini berbeda dengan festival yang berada di wilayah seni. Meskipun demikian, festival yang ini juga tidak menampilkan sesuatu yang remeh temeh, artinya sesuatu yang tidak memiliki kelebihan yang menonjol dibanding lainnya. SSF misalnya, dengan adanya SSF, setiap gerai akan berlomba memajang barangnya yang berkualitas. Begitu pula dengan festival rujak uleg. Demikian juga dengan FSS, even yang digelar setiap tahun ini juga memang tidak untuk pemula. Artinya nama-nama seniman muda tidak masuk sebagai pengisi acara. Sebaliknya nama-nama yang sudah lebih popular dipilih menjadi pengisi acaranya. Akan tetapi, permasalahan yang kemudian muncul adalah makna popularitas itu sendiri. Bagi Syaiful Hajar, seorang seniman senior yang kerap mengikuti even-even pameran berskala nasional, pada sebuah festival yang dipertaruhkan tidak hanya nama dan popularitas, namun lebih dari itu, dalam festival, aspek kualitaslah yang harusnya paling dipertaruhkan. Baginya kualitas ini memang menjadi kata kunci dalam sebuah even festival. Diceritakannya, selama mengikuti even-even seperti Biennale, dirinya mengaku, even-even yang dikelola dengan baik, dipersiapkan dengan matang, dikonsep dengan jelas, maka hasilnya pun akan positif. Dikatakannya, setidaknya bisa dijadikan rujukan untuk even selanjutnya. Selain itu, sebuah acara yang jelas berkualitas, akan berdampak pada kesejahteraan senimannya sendiri.”Biennale Jatim sendiri contohnya, seharusnya bisa dijadikan rujukan bagi curator yang berada di luar Jatim,” terangnya. Sedangkan Ivan Hariyanto, seorang perupa Surabaya yang juga sering mengikuti even bertaraf nasional dan internasional berpendapat, even-even festival pada dasarnya memiliki tujuan bagus, yakni sebagai sosialisasi kota tempat pelaksanaannya pada masyarakat luas akan potensi dan kelebihannya. Ditambahkannya, even-even yang memiliki tujuan positif tersebut hendaknya tuidak dipersempit dengan memunculkan dikotomi-dikotomi. Dikotomi yang dimaksudkannya adalah pengkotakan senior-junior dalam ruang lingkup kesenian. Baginya even festival harusnya menjadi ajang pertarungan kualitas, bukan sekadar popularitas.”Kualitas dan pengalaman lah yang akan bicara,” ujarnya.

Secangkir Kopi Segudang Gagasan

Harga yang murah, jajanan yang beraneka, adalah alasan mengapa orang datang ke warung kopi. Secangkir kopi, sebatang dua batang rokok, merupakan syarat mutlak penghuni warung kopi. Sedangkan bagi mereka yang tidak merokok, secangkir kopi dan beberapa gorengan adalah sajian nikmat dari warung kopi yang semakin hangat. Bagi segelintir orang, warung kopi juga merupakan tempat yang cocok untuk menumpahkan gagasan. Tidak jarang lahir gagasan besar dari tempat kecil macam begini. Beberapa komunitas yang menelorkan wacana-wacana kritis juga banyak lahir di tempat sepele seperti ini. Ambil contoh, Cak Die Rezim (CDR), Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), dan Komunitas Orang-Orang Penggemar Indie Film (KOPI) STIKOSA AWS. Ketiga komunitas ini merupakan bukti bahwa kopi dan warung kopi merupakan awal lahirnya gagasan penting justru dari tempat yang kerap dianggap remeh.Seperti yang dijelaskan oleh Risang, salah seorang penulis CDR bahwa CDR lahir dari kegelisahan para penulis muda melihat kondisi penulis-penulis muda yang memprihatinkan karena adanya monopoli dan dominasi dari beberapa kelompok. Pada awalnya kegelisahan ini hanya sekedar kegelisahan yang tidak terlampiaskan. Dari secangkir kopi, diskusi mulai berawal. “Dengan CDR kami para penulis muda punya wadah untuk mempublikasikan karya, sekaligus menelorkan wacana-wacana baru tentang sastra”, terangnya. Berbeda lagi dengan FS3LP. Komunitas yang melahirkan banyak sastrawan muda ini berawal dari warung kopi yang mereka namakan sendiri dengan sebutan ‘Mak’. Di tempat ini, mereka biasa berkumpul. Bahan obrolan biasanya muncul begitu kopi mulai disruput. Ketika ditanya mengenai rasa kopi dari ‘Mak’, Denny Jatmiko mengatakan ‘Mak’ merupakan tempat yang paling ideal bagi mereka untuk berkumpul. Bahkan, nama FS 3LP sendiri, diambil dari tempat ini. Nama Luar Pagar dalam singkatan FS3LP diambil dari tempat mereka nongkrong yang berada tepat di luar pagar kampus. Selain itu, komunitas kreatif lain yang tercipta dengan berlatar belakangkan kopi adalah KOPI. Komunitas ini terbentuk pada tahun 2002. Nama kopi diambil dari tempat dimana gagasan untuk mendirikan sebuah kelompok pecinta dan penggiat film indie pertama kali muncul, yakni di warung kopi. Komunitas-komunitas yang lahir dari warung kopi merupakan komunitas yang anggotanya lebih memiliki sifat solider. Solidaritas ini lahir karena persamaan yang mereka rasakan ketika sudah berada di warung kopi. Secangkir kopi yang mereka pesan pada dasarnya menjadi bukti bahwa tidak ada yang perbedaan di warung kopi. Semua sama. Sebab yang mereka makan, minum dan pesan pun tidak memiliki harga yang jauh berbeda. Ini yang membuat mereka kemudian merasa sama. (*)
Pintu Malam

nyawa puisi adalah seribu nama air mata,
begitu katamu,
setelah mematikan damar di sudut kamar
lalu, sejarah kembali murung
: mengurung diri dalam ruang mendung

kita pun kemudian sepi,
ketika kau lucutkan segala perlambang di mataku
dan ingatan yang sayup, saat
hujan membuat kelopakmu kuyup

lalu berikan aku
satu ruang kosong dalam sedihmu,
begitu ucapmu, setelah membakar gurat daun di bibirmu yang embun
(sambil membaca jarak

tubuhmu dengan gerimis yang ranum)

Jogjakarta, 2012

Gelap

hanya gumam,
kusadari, betapa cintaku teramat dalam
tersesat dalam matamu yang pualam

sediam ladam

sebab laut di dadamu lenyap, kucari
rahimmu senyap, hanya matahari
dan lantun musik belukar

setua senja

sungguh,
kusadari, betapa rinduku teramat jauh,
ketika kelak,
kunanti kanakmu, bersimpuh

--sebuah hujan yang lumpuh

Jogjakarta, 2012


Memusar

bukit hujan,
ketika kumeninggalkan
desember telanjang
di bawah bunyi kemarau, terakhir

namamu terukir

dalam rimbun suplir
(aku tahu, sebab kau tak merindukanku;

lalu retak tanah

sepenuh kabut, lelah)

membaca rajahmu,
serupa mengeja sajak tentang batu
mengepayangkanku, semua lambang

tentang nafasku yang jelma kupu

mencipta jejak menuju damar di kamarmu

(aku tahu, sebab kau tak pernah merindukanku;

memandangmu dalam diam

pada puncak suar malam)

Jogjakarta, 2012

Penulis: Risang Anom (nga), dkk.
Editor: Rangga Agnibaya
Tebal: 77 halaman
Tahun Terbit: 2009
___
“Kami tidah ingin mengambil jalan pintas mencari nama besarpribadi melalui perkumpulan yang sudah terakui. , kami ingin belajar dari awal, berkembang bersama dalam proses, atau mungkin kami hanya ingin melepas naluri yang selalu ingin bebas; tidak ingin menyerahkan diri pada kesengsaraan (sara); tidak ingin mengikuti (melok) arus yang dikembangkan oleh komunitas yang telah mendahului kami. Kami akan terus mencoba menentukan gerak bebas menurut kehendak kami sendiri. Sebab, sudah saatnya bagi kami untuk mengoptimalkan segala perasaan yang kami punyai, perasaan yang digunakan mulai awal sampai akhir untuk menikmati kejatuhan, meratapi kegemilangan, dan menggilai masa kegamangan bersama komunitas baru CDC ini…”
_________
Penulis:
1. Nga : [Cak Die Rezim]
2. Agus Budiawan: [Kureng]
3. Abimardha Kurniawan: [Surat-Surat Sunyi, Imogiri, Elegi Penginapan, Diantara Pagelaran Dangdut Alun-Alun Utara Yogyakarta]
4. Finsa Eka Saputra: [Firasat]
5. Wildansyah Bastomi: [Yang Berhenti Bersama Detak Jam, Kisah Sebuah Pelabuhan, Kenangan]
6. Eko Darmoko: [Hari Tua]
7. Rangga Agnibaya: [Kakek Tua Dan Becak, Apa Kabar Kata?, Di Sudut Kata-Kata, Selepas Tuhan Alpa]
8. Itok Kurniawan: [Cipak Liur Ujang Sorean]
9. Bramantia “Dodi”: [Kepada Tjinta, Sangharakalpa, Suatu Senja]
10. I. Manggara: [Kelir Bedah]
11.Eko Ferianto: [Waktu Telah Menantinya, Memoar Tengah Malam]
12. A. Junianto: [Urban Art: Wujud Resistensi Kultural Masyarakat Bawah]

Aku Berkarya Maka Aku Ada

Eksistensi sastra Jawa hanya bergantung pada sastrawannya. Minimnya media berbahasa Jawa mereka harus berjibaku menerbitkan karyanya sendiri. Media berbahasa Jawa boleh dikatakan sangat minim. Di Surabaya media yang ada hanya dua, Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Itupun terbit hanya untuk kalangan tertentu yang berminat dengan bahasa Jawa. Di dua media ini, bisa dikatakan budaya Jawa, secara libih luas mampu disiarkan. Selain itu bila dibandingkan dengan sastra daerah lain, sastra Jawa masih memiliki tempat yang cukup menguntungkan. Hal ini disebabkan penutur bahasa Jawa memang masih terbilang cukup banyak. Meski demikian bukan berarti praktisi sastra Jawa banyak bermunculan. Kenyataannya, tidak banyak sastrawan yang mau secara total berkarya demi kemajuan dan keberadaan sastra Jawa. Oleh karena itu, bisa dikatakan, sastra Jawa semakin terjepit di tengah banyaknya penutur bahasa Jawa. Keterjepitan sastra Jawa tidak hanya didasarkan pada jumlah sastrawan yang sedikit, namun juga pada perkembangan wacana mengenai kesusasteraan Jawa yang hanya berkutat pada segelintir orang saja. Namun demikian, sastra Jawa punya cara sendiri untuk terus hidup. Salah satunya adalah berkarya. Suparto Brata, seorang pengarang sastra Jawa sepakat bahwa kondisi sastra Jawa kini cukup memprihatinkan. Diakuinya, banyak sastrawan yang mengaku sastrawan Jawa, namun eksistensinya dalam membangun dan mempertahankan sastra Jawa malah harus dipertanyakan kembali. Baginya, meski secara komersialitas tidak segemilang dengan karya-karyanya sastra Indonesia, namun dirinya masih tetap berupaya semaksimal mungkin untuk berkarya di ranah sastra Jawa. ”Yang penting bagi saya adalah berkarya. Dengan berkarya maka sastra itu ada,” papar Suparto. Selain karya, eksistensi budaya Jawa yang didalamnya juga ada sastra Jawa dan bahasa Jawa, harus ada perhatian dari pemerintah. Suparto mencontohkan, penetapan hari Bahasa Ibu oleh pemerintah ternyata juga tidak maksimal. Meski sudah ada perda yang mengatur untuk hal itu, namun pada kenyataanya pelaksanaan akan hal itu masih belum ada. Selain itu, ditambahkan oleh Suparto, kongres juga diadakan sebagai salah satu jalan untuk menyatukan visi dan misi dalam mempertahankan kelestarian bahasa Jawa. Dikatakannya, kongres Bahasa Jawa yang diadakan juga seharusnya bisa menjadi jalan untuk mempertahankan kelestarian bahasa Jawa. Akan tetapi, diakuinya, kongres yang sudah berusia 15 tahun tersebut masih belum menghasilkan sesuatu yang konkret.”Malah menghabiskan dana bermilyar-milyar,” ujarnya. Hal tersebut didukung oleh Bonari Nabonenar. Menurutnya akan lebih baik jika uang yang digunakan untuk membiayai kongres-kongres semacam itu, digunakan untuk memberikan apresiasi terhadap komunitas dan elemen-elemen lain yang mendukung keberadaan bahasa Jawa tersebut. Ditemui secara terpisah, Widodo Basuki, pengurit sastra Jawa, sependapat dengan Suparto Broto. Menurut wartawan Jaya Baya ini, sastra Jawa hanya bisa eksis karena perjuangan para sastrawan secara mandiri. ”Banyak sastrawan Jawa yang masih separuh hati untuk bergelut dengan budaya Jawa ini,” kata Widodo yang pernah meraih penghargaan Rancage dari Ayib Rosidi, tahun 2000. Widodo menceritakan, selama ini dirinya, terus berusaha menerbitkan puisi-puisi Jawanya meski harus mendanai sendiri. Menurutnya ini kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Daripada mengeluh terus tidak adanya media massa yang menampung puisi Jawa, Widodo, berusaha mengumpulkan puisi-puisinya dengan cukup memfotokopi. Mantan ketua komite sastra Dewan Kesenian Surabaya periode 1998-2003 ini juga pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan kupulan puisi jawanya Layang Saka Tlatah Wetan (1999). “Selama ini saya terus mencoba konsisten pada sastra Jawa,” tambahnya. Tidak berbeda dengan Sri Setyowati atau biasa disapa Trinil, juga lebih aktif menerbitkan buku karya sastranya sendiri. Keterlibatannya dengan media massa dimulai tahun 1998. sejak tahun itu Trinil aktif menulis reportase untuk majalah Jaya Baya, Tabloid Bromo, Kidung, dan Penjebar Semangat. Selain menulis dengan menggunakan dialek Suroboyoan, Trinil juga menulis dengan gaya bahasa Mataraman (Jawa halus). Keterlibatan Trinil pada dunia perpuisian memang belum lama. Tetapi beberapa puisinya sudah pernah terkumpul dalam Kabar Saka Bendulmrisi, suntingan Suharmono Kasiyun yang diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Sastra Campursari suntingan Bonari Nabonenar yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Timur. Selain menulis puisi, Trinil juga menulis crita cekak (cerpen, red) yang dimuat di Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Trinil ternyata juga sudah menerbitkan buku cerita anak berjudul Kasih Sayang yang Tak Padam. Selain itu Trinil juga sudah menerbitkan novel bahasa Jawa, Sarunge Jagung. Joko Prakoso, dosen Sekolah Tinggi Karawitan Wilwatikta (STKW), menekankan seharusnya sastra Jawa dipahami sebagai wilayah tersendiri yang terpisah dari wilayah lain. Hal ini disebabkan sastra Jawa memiliki pecinta dan peminat sendiri yang berbeda dengan sastra nasional atau sastra Indonesia.”Sastra Jawa tidak bisa dipertandingkan dengan sastra-sastra lain,” ujarnya. Agar tidak terkesan kuno dan semakin ketinggalan zaman, dikatakanyanya, harusnya sastra Jawa harus menyesuaikan dengan zamannya.”Campursari adalah bukti sastra Jawa sudah bisa diterima oleh masyarakat banyak,” pungkas Joko