Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Monday, November 3, 2014

Jejak Blues dalam Gerak Bayangan Tangan

Musik bernada jazz mulai mengalun di ruangan gelap yang berada di kompleks Tembi Rumah Budaya, Senin (27/10) malam itu. Lagu blues berjudul Hoss 'Flat yang populer di tahun 1950-an itu menjadi musik pembuka pentas Teater Bayangan Tangan (Hand Shadow Theatre) yang dipentaskan oleh kelompok teater asal Georgia, Budrugana Gagra.


Bersamaan dengan itu, di layar kain putih yang disorot lampu dari baliknya, muncul bayangan tokoh utama pentas itu, Louis Armstrong yang berujud beruang kecil. Dengan gerak ritmis, tokoh beruang kecil itu bergerak seolah-olah tengah menyanyikan lagu tersebut.

Tak hanya sendiri, dalam pentas bertajuk 'Isn't This A Lovely Day' itu, Louis Armstrong muncul dengan beberapa tokoh satwa lain, seperti kepiting, laba-laba, jerapah, serta beberapa tokoh abstrak seperti boogie-woogie. Tokoh-tokoh tersebut muncul mengiringi gerak Louis Armstrong yang secara runtut tengah menyanyikan beberapa lagu jazz dan blues.

Tak seperti pentas teater bayangan pada umumnya, pada pentas yang digelar selama 2 hari sejak 26-27 Oktober tersebut, semua tokoh yang tampil diciptakan dari gerak tangan para pemain yang berada di balik layar kain putih.

Memang, Budrugana adalah kelompok teater bayangan tangan asal kota Gagra, Georgia. Sejak berdiri 17 tahun lalu, kelompok teater yang terdiri dari berbagai disiplin seni itu secara konsisten mementaskan kelihaian mereka dalam membentuk tokoh dan figur, mulai dari satwa hingga tokoh rekaan (abstrak-imajinatif) dengan menggunakan gerak tangan.

Dalam pentas berdurasi 80 menit itu, Sutradara Gela Kandelaki yang merupakan penggila musik jazz memang tidak hanya menampilkan ringkasan perjalanan hidup maestro jazz dan blues, Louis Armstrong saja. Lebih universal, dalam pentas tersebut lebih banyak bercerita tentang hakikat hidup, persahabatan, kebahagiaan, dan kesedihan. Latar belakang Louis Armstrong yang seorang Afro-Amerika menginspirasi Gela Kandelaki untuk membumbui pementasannya kali ini dengan kultur Afrika. Itu sesuai dengan karakter beragam satwa yang biasa dimainkan oleh Budrugana. Itulah sebabnya, dalam pentas tersebut, ia tak hanya menampilkan karakter-karakter satwa sebagai simbol Afrika, tapi ia juga menampilkan karakter-karakter abstrak seperti boogie-woogie, yang di kultur Afrika dikenal sebagai salah satu gaya dalam musik blues khas Afro-Amerika.


Karakter boogie-woogie tampil sebagai simbol kebahagiaan. Gerak dinamis dan lincah dari boogie-woogie disimbolkannya sebagai bentuk perayaan atas sesuatu. Tentu saja dengan iringan musik jazz yang up-beat, gerak karakter abstrak itu kian dinamis.

Sementara slah satu pemain dalam pentas tersebut, Paata Shengelia, menuturkan bahwa kisah hidup Louis Armstrong dinilainya sangat luar biasa dan inspiratif. Latar belakang ibu Armstrong yang seorang budak negro menjadikan kisah hidup Armstrong sangat dramatis dan laik untuk diangkat dalam sebuah pementasan. Pentas itu setidaknya menampilkan lebih dari 20 judul lagu blues dan jazz yang tak hanya menjadi backsound, tapi juga melebur pada naskah pementasan. Itulah sebabnya, hampir 90% adegan dalam pentas tersebut adalah lirik dari lagu jazz dan blues itu sendiri.

Lahir dari rahim teater bayangan

Dengan melihat teknis penampilannya, yakni dengan menggunakan medium kain putih dan sorot lampu dari baliknya, teater bayangan tangan (hand shadow theatre) ini bisa dikatakan sangat erat berhubungan dengan teater bayangan yang sebelumnya sudah muncul. Di Indonesia, teater bayangan lebih akrab pada seni pertunjukan wayang. G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan, dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang. Bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern, bayang, barang atau menerawang. Semua itu berasal dari akar kata "yang" yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata: laying (nglayang)=yang, dhoyong=yong, reyong=yong, reyong-reyong, atau reyang-reyong yang berarti selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu, poyang-payingen, ruwet dari kata asal: poyang, akar kata yang.

Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap, melayang. Wayang sendiri sebenarnya sangat erat kaitannya dengan perkembangan teater boneka. Betapapun, perangkat utama pertunjukan wayang adalah boneka. Dalam sejarahnya, teater boneka mulai populer di masa kejayaan Islam ketika abad pertengahan. Ketika itu, bentuk teater yang paling populer adalah teater wayang (pertunjukan boneka tangan, pertunjukan bayangan dan boneka ukir) dan pertunjukan yang dikenal sebagai ta'ziya, di mana aktor memainkan episode dari sejarah Islam.

Secara khusus, Syiah Islam memainkan episode syahidnya putra Ali R.A, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali. Dalam perkembangannya, pertunjukan kemudian mengarah pada pertunjukan sekuler yang dikenal sebagai akhraja. Pertunjukan ini tercatat pada abad pertengahan, tepatnya ketika berkembangnya sastra adab, yang saat itu jauh lebih umum daripada teater boneka dan teater ta'ziya.**

Tuesday, September 30, 2014

Parade Foto Pentas Jemek Supardi


Kecemasan Masa Depan Para Manusia Koran


Teknologi adalah musuh sekaligus sahabat bagi manusia. Pesan itulah yang kiranya ingin disampaikan oleh pantomimer (sebutan bagi seniman pantomim) asal Yogyakarta, Jemek Supardi melalui pentas 3 repertoarnya 'Manusia Koran, Tukang Cukur, dan Kotak-Kotak'. 




Pojok Benteng Timur yang biasa sunyi di tengah riuh kota Jogja, Kamis (26/9) malam itu penuh sesak. Sorot lighting yang redup dan deretan lampion mempercantik salah satu titik bersejarah Yogyakarta itu.
Setelah dibuka oleh penampilan grup musik Adakalanya, pentas utama pun segera dimulai. Jemek Supardi mulai masuk ke area panggung yang berpropertikan rangka kubus beragam ukuran serta 3 buah manekin berbungkus koran. Iringan backsound membuat setiap gerak Jemek malam itu terasa lebih dramatis.

Tak hanya sendiri, aksi gerak pantomim Jemek Supardi malam itu disusul oleh 2 orang seniman pantomim lainnya. Alhasil, perpaduan gerak Jemek Supardi dan kedua seniman itu membuat pertunjukan pantomim itu terasa lebih kompleks.

Repertoar pertama, 'Manusia Koran' dibuka dengan aksi ketiga seniman pantomim Jogja itu dengan memeragakan adegan laiknya seorang pedagang koran. Dengan backsound keramaian lalu lintas membaya imajinasi penonton pada kerasnya kehidupan yang dilakoni oleh para penjual koran yang diperankan ketiga seniman itu.

Tak cukup disitu, Jemek kemudian menghamparkan lembaran koran besar untuk menutupi tubuh kecilnya. Tidak lama, barulah kepalanya nampak muncul dari balutan koran itu. Ia muncul sambil memegang sebuah tablet. Dengan mimik wajah girang, ia memainkan gadget itu. Melalui adegan ini, Jemek ingin menyampaikan pesan bahwa keberadaan para penjual koran kian terpinggirkan oleh kemajuan teknologi. "Ngapain orang susah-susah beli-baca koran. "Tinggal buka internet dari gadget sudah bisa baca koran. Kalau terus seperti ini, bagaimana nasib para penjual koran ini," ucap Jemek saat ditemui wartawan usai pentas.

Repertoar kedua yang berjudul Tukang Cukur tak dibawakan oleh Jemek Supardi, melainkan oleh seorang seniman pantomim muda, Vicky Tri Sanjaya. Aktor teater muda Yogyakarta ini memerankan seorang tokoh Tukang Cukur yang kian sulit mencari pelanggan. Tentu saja, Tukang Cukur yang diperankannya di sini bukanlah tukang cukur yang menunggu pelanggan dalam sebuah salon kecantikan atau barbershop, melainkan seorang tukang cukur keliling yang biasa mangkal di bawah pohon-pohon besar.

Backsound hujan dan petir kian membuat akting Vicky terlihat lebih dramatis. Mimiknya yang sedih lantaran harus berjuang mencari pelanggan di tengah derasnya hujan menyiratkan beratnya hidup seorang tukang cukur keliling yang keberadaannya kini memang kian terpinggirkan.

Barulah, di repertoar terakhir berjudul Kotak-Kotak, Jemek kembali tampil bersama kedua seniman pantomim itu. Ketiganya memanfaatkan keberadaan rangka-rangka kubus beragam ukuran itu sebagai media akting. Pentas 3 repertoar yang berdurasi sekitar 45 menit itu jelas sekali terasa aroma kritik terhadap manusia yang mulai kehilangan kemanusiaannya lantaran iming-iming teknologi.

Teknologi hadir memang menjanjikan dan menawarkan segala kemudahan dalam menjalani hidup. Manusia yang tak bisa dengan dewasa menyikapinya dipastikan akan kehilang sifat kemanusiaannya. Seniman asli Pakem, Sleman itu berusaha mengingatkan bahwa kondisi manusia kini telah terkotak-kotakkan. Hanya saja, sedikit manusia yang sadar bahwa pada dasarnya kotak kecil yang menjadi esensi kehidupan telah menanti manusia. Kotak itu ialah bernam kematian. Kalau sudah bicara modernisasi, manusia memang kerap seolah lupa dengan kotak yang satu ini.

Saat ini, manusia memang telah mengaburkan esensi dari segala aspek kehidupannya. Contohnya adalah di repertoar ke-2 berjudul 'Tukang Cukur'. Manusia kini telah mengaburkan esensi dari cukur rambut itu sendiri. Cukur rambut yang esensi sebenarnya adalah memotong rambut agar terlihat rapi, kini telah bergeser ke arah gengsi dan gaya hidup. Akibatnya, manusia memilih untuk potong rambut di salon daripada di tukang cukur keliling.




Pantomim dan ruang publik

Jemek Supardi memang dikenal sebagai seorang pantomimer jalanan. Ia lahir dan dibesarkan di jalanan. Maka, di jalanan pula lah ia ingin berkarya. Melalui pantomim, ia percaya dan yakin bisa memberikan hiburan sekaligus pencerahan kepada publik. Ruang publik seperti taman kota, trotoar, hingga pusat perbelanjaan menjadi panggung megah baginya. Dengan mementaskan karyanya di ruang publik, ia bisa berinteraksi langsung dengan penonton.

Jemek Supardi sendiri menekuni bidang pantomim secara total hingga dia merasa bahwa pantomim adalah bagian dari hidupnya. Menurut Jemek, di Indonesia ini belum ada orang yang secara konsisten menekuni bidang tersebut. Pria kelahiran Yogyakarta, 14 Maret 1953 ini semula menekuni teater tetapi kemudian dia merasa ada kekurangan dalam dirinya untuk mendalami bidang tersebut, terutama dalam hal menghafal naskah. Ia pun lantas menjatuhkan pilihan pada seni pantomim yang lebih mengandalkan gerak tubuh. Pantomim telah ditekuni selama kurang lebih tiga puluh tahun.

Sepanjang waktu itu, tidak terbersit pikirannya berpindah profesi demi memegang teguh prinsip dan konsistensinya pada pilihan hidup, yakni berpantomim. Jemek menempuh pendidikan dasarnya hingga berakhir di SMSR.

Selanjutnya ia lebih fokus pada dunia teater, terutama pantomim. Keahlian itu ia dapatkan sendiri atau belajar secara otodidak. Ia menciptakan seni dalam bahasa gerak berdasarkan imajinasinya. Tidak ada tokoh yang memberi ilmu tentang pantomime kepadanya. Karya seni mime Jemek Supardi biasanya dibawakan tunggal dan kolektif. Selama 35 tahun ia berkesenian, telah banyak karya telah dilahirkan, antara lain: Sketsa-sketsa Kecil (1979), Dokter Bedah (1981), Perjalanan Hidup Dalam Gerak (1982), Jemek dan Laboratorium, Jemek dan Teklek, Jemek dan Katak, Jemek dan Pematung, Arwah Pak Wongso, Perahu Nabi Nuh (1984), Lingkar-Lingkar, Air, Sedia Payung Sesudah Hujan, Adam dan Hawa, Terminal-Terminal, Manusia Batu (1986), Kepyoh (1987), Patung Selamat Datang, Pengalaman Pertama, Balada Tukang Becak, Halusinasi, Stasiun, dan Wamil (1988), Soldat (1989), Maisongan (1991), Menanti di Stasiun, Sekata Katkus du Fulus (1992), Se Tong Se Teng Gak (1994), Termakan Imajinasi (1995) Pisowanan, Kesaksian Udin, Kotak-Kotak, Pak Jemek Pamit Pensiun (1997), Badut-Badut Republik atau Badut-Badut Politik, Bedah Bumi atau Kembali ke Bumi, Dewi Sri Tidak menangis, Menunggu Waktu, Pantomim Yogya-Jakarta di Kereta (1998), Kaso Katro (1999) Eksodos (2000), 1000 Cermin Pak Jemek (2001), Topeng-topeng (2002), Air Mata Sang Budha (2007),  Mata-Mati, Maesongan#2, Menunggu (Kabar), dan Kematian (2008).**

Foto-foto lihat di sini

Monday, August 4, 2014

Peristiwa Kotabaru Dalam Bingkai Kethoprak Ringkes




Seorang pemuda terlihat hendak menurunkan bendera Jepang yang tengah berkibar gagah di puncak tiang. Sang saka merah putih yang ada di genggamannya hendak dinaikkannya menggantikan bendera Nippon bergambar matahari terbit itu.
Belum juga bendera merah putih dinaikkannya, salah seorang kawannya mengingatkan pemuda itu untuk tak gegabah menurunkan bendera Jepang. Berdasar maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono IX, penurunan bendera hanya boleh dilakukan jika mendapat dukungan dari seluruh rakyat Jogja. Adegan kemudian beralih pada sosok Siti Ngaisah. Seorang perempuan muda yang dengan gagah berani menurunkan bendera Hinomaru dan menggantinya dengan bendera merah putih.
             
              Itulah penggalan adegan pembuka dalam pementasan Kethoprak Ringkes Tjap Tjonthong yang bertajuk Kotabaru Lunas Janji yang digelar di Taman Budaya pukul 20.00, sejak 1-2 Agustus lalu.
     Sutradara sekaligus penulis naskah Pementasan Susilo Nugroho membenarkan bahwa pementasan itu memang ditulis berdasarkan kisah sejarah. Dikatakannya, kisah yang diadaptasinya itu merupakan peristiwa bersejarah yang melibatkan laskar rakyat Jogja menghadapi pasukan Jepang yang ketika itu tengah menduduki wilayah Jogja dan berpusat di kawasan Kotabaru. Sebagai catatan, persitiwa heroik itu sendiri terjadi pada 5 Oktober.
     Oleh karena itulah, dalam penulisan naskahnya, seniman yang akrab disapa Den Baguse Ngarso itu mencoba untuk mencari referensi data tak hanya dari buku-buku sejarah saja, melainkan juga dari hasil penuturan beberapa pelaku sejarah. Akan tetapi, ia mengaku tidak mendapatkan banyak informasi terkait hal itu.
     Itulah sebabnya, proses penulisan naskah untuk pementasan itu, diakuinya memakan waktu yang cukup lama, yakni mencapai 3 bulan. Namun, untuk proses latihannya sendiri, ia mengaku tak lebih dari sebulan saja.
     Dalam pementasan itu, Jepang yang sudah kehilangan kekuasaan politiknya memang seharusnya tidak lagi menduduki Indonesia. Namun nyatanya, Jepang masih saja bersikap seolah mereka tetap memiliki kekuasaan atas tanah air ini. Mereka berusaha melucuti senjata milik rakyat dan laskar Jogja. Hal inilah yang memicu kemarahan masyarakat Jogja.
     Akibatnya, laskar dari seluruh golongan dan usia pun bergerak. Dalam pementasan itu, Susilo Nugroho memang tidak menampilkan keseluruhan tokoh yang terlibat dalam adegan peristiwa bersejarah tersebut.
Susilo Nugroho

     Sebagai pementasan, Susilo hanya hanya menampilkan beberapa tokoh saja, seperti misalnya Faridan Noto yang dikenal sebagai pemuda gagah berani yang mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan Jogja dari pendudukan Jepang. Selain itu ada pula Umar, Sudarsono, Retno Wilis, dan Sampiran. Mereka kemudian menggalang kekuatan dengan caranya sendiri tanpa komando yang jelas, namun tetap kompak untuk mencapai tujuan yang sama.
     Di luar tokoh-tokoh fakta tersebut, Susilo ternyata juga menyisipkan seorang tokoh rekaan bernama Kamuna yang diperankannya sendiri. Melalui tokoh itulah, Susilo ingin menyampaikan pesan moral bahwa ketika masa perjuangan, rakyat bisa bersatu. Akan tetapi ketika tujuan kemerdekaan itu telah dicapai, sangat mungkin rakyat akan kembali terpecah. Perpecahan bukan lagi disebabkan oleh kehadiran penjajah, melainkan disebabkan oleh kepentingan rakyat sendiri. Setidaknya, dari tokoh Kamuna inilah Susilo ingin menggambarkan kondisi itu.(JUN)

lihat galeri foto di galeri foto

Pementasan Kethoprak Ringkes Tjap Tjonthong 'Kotabaru Lunas Janji'


Lukisan Kaca, Antara Eksistensi dan Saksi Sejarah Seni

Foto: Harian Jogja
Meski telah menjadi bagian dari sejarah panjang seni rupa Indonesia, seni lukis kaca belum diketahui secara pasti kapan mulai masuk ke Indonesia.
     Terkait hal ini, peneliti dari Institut Nasional des Laungues et Civilisations Orientales, Paris, Jerome Samuel yang pernah melakukan penelitian lukisan kaca di Indonesia, memperkirakan bahwa lukisan kaca paling cepat masuk ke Indonesia pada dasawarsa terakhir abad ke-19.             
              Menurutnya, sampai paruh pertama abad ke-19 kaca masih merupakan sejenis barang atau bahan yang mewah dan sangat mahal, rasa mewah terhadap bahan kaca itu terjadi baik di Indonesia maupun di Asia, termasuk Cina dan Jepang.
     Samuel pernah mencari data tentang kaca dalam arsip laporan tahunan VOC di Batavia, untuk kantor pusat di Amsterdam. Di dalam laporan itu, terdapat beberapa catatan tentang import barang-barang kaca dari Belanda atau Eropa untuk dijual atau diberikan sebagai hadiah kepada raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia. Tapi VOC lebih banyak menjual atau memasok kaca ke India, Cina, dan Jepang, Di Indonesia sendiri kaca tetap langka sampai awal abad ke-20, kecuali untuk kalangan terbatas.
     Di Jawa, menurut Samuel, keberadaan lukisan kaca dapat dibuktikan dengan keikutsertaan Jat, seorang pelukis dari Kupang Praupan, Surabaya, yang ikut serta dalam Pasar Malam tahunan di Surabaya, baru pada tahun 1908.
     Keberadaan tersebut diabadikan dalam foto laporan acara tersebut. Hardiman juga menambahkan bahwa, ada cerita yang berbeda dengan Samuel, yaitu tentang lukis kaca dari pantai Kuta, Bali. Tersebutlah seorang perempuan cantik keturunan Cina. Perempuan nan jelita ini dinikahi laki-laki berkebangsaan Denmark, Mads Lange. Suatu hari, tahun 1884, perempuan cantik ini dilukis dia atas permukaan kaca oleh seorang pelukis Cina. Kemudian hasil lukisan kaca itu, oleh berbagai kalangan dianggap sebagai lukisan kaca pertama yang ditemukan di Indonesia. Kini lukisan tersebut tersimpan di suatu museum di Denmark.
     Sejarah lukisan kaca Indonesia, sebagian besar masih tersembunyi. Tetapi pada kenyataannya lukisan kaca di Jawa pernah mengalami masa jaya pada tahun 1930-an hingga akhir 1950-an adalah fakta yang kerap diungkap. Pada masa itu, lukisan kaca bertalian dengan tanda status sosial tertentu. Pemilik lukisan kaca adalah mereka yang sukses berdagang, telah naik haji, atau sekurang-kurangnya telah menikah. Lukisan kaca juga berfungsi sebagai penguat hubungan batin antara pemilik lukisan kaca dengan tokoh wayang dalam lukisan yang dimilikinya.
     Perlu diketahui tema-tema lukisan kaca yang dikoleksi oleh para orang kaya di Jawa, pada umumnya lukisan Hanoman, Kresna, Bratasena, Semar dan sebagian yang lain tema lukisan diambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Selain itu juga ditemukan lukisan berupa dua pengantin, legenda para Nabi, lukisan masjid Demak, kaligrafi Arabeska dan sebagainya.
     Dengan tema-tema tersebut lukisan kaca dapat berkembang dengan baik sampai tahun 50-an. Keberlanjutan tema yang disukai masyarakat masih baik, sampai awal tahun 70-an. Mulai tahun 70-an muncul nama-nama pelukis kaca yang cukup dikenal masyarakat, seperti Karto, Sastradiharjo (Sastra Gambar), Maryono, Yazid, Maruna, Sudarga, Harun, Rastika dan sebagainya. Selain itu, belakangan muncul  nama yang berasal dari kalangan kampus seni juga muncul, seperti Haryadi Suadi, Suatmaji, AB Dwiantoro, Arwin Hidayat, Ismoyo, Supono, Paikun, Mahyar, Murjiyanto, Pracoyo, Priyo Sigit, Rohman, Subari dan sebagainya, yang terus ikut menyemarakkan seni lukis kaca sampai jelang tahun 90-an.
     Sementara perkembangan seni lukis kaca di Bali, juga kurang lebih sama seperti di daerah lain di Indonesia. Di Bali seni lukis kaca dapat dilacak keberadaannya di wilayah Buleleng, tepatnya di Desa Nagashepa. Dari sana lahir nama-nama besar pelukis kaca seperti Jro Dalang Diah (pendiri komunitas pelukis kaca Nagashepa), I Kadek Suradi, I Nengah Silib, I Ketut Samudrawan, dan I Ketut Santosa dan sebagainya. Dari aspek kenyataan sejarah inilah lukis kaca berjalan ke arah waktu kedepan tiada henti dengan kekuatannya sendiri.
     Di era 1950-an hingga akhir tahun 1970-an pasar lukisan kaca masih berjaya dan banyak diminati. Lukisan kaca banyak dibeli, dikoleksi oleh kelompok petani kaya, yang mempunyai sawah berhektar-hektar. Para petani yang kaya itu umumnya tinggal di desa-desa di wilayah Kabupaten. Pada waktu itu, para pelukis kaca kerap menjajakan lukisan kaca ke desa-desa di kecamatan, bahkan kelurahan. Tak jarang, petani sukses itu sendiri yang datang ke desa dimana para pelukis kaca berkarya, mereka memesan lukisan kaca dengan tema-tema yang sesuai dengan permintaan. Inilah keadaan, dimana komunikasi antara perupa dan petani (masyarakat) menjadi aktif, sehingga untuk memudahkan bagi pelanggan, maka para pelukis membawa karya-karyanya ke pasar, untuk dijualnya didekatkan dengan pembelinya.
     Pendekatan komunikasi melalui pasar ini terkait dengan citra status sosial petani (pasar) yang menjadi meningkat dengan memajang lukisan kaca di rumahnya. Khususnya di Bali, lanjut Hardiman, pasar itu kini adalah cerita lama yang telah mati.
     Pasar seni lukis kaca lama itu pun kini diganti dengan pasar baru, yang hanya diminati orang asing, itu pun orang-orang yang memang mempunyai perhatian terhadap seni tradisi, para peneliti, antropolog, atau seniman yang punya kepentingan khusus dengan lukisan kaca.
     Sedikit kaum intelektual lokal yang mencintai tradisi, yang kemudian mengoleksi lukisan kaca barang satu atau dua lembar saja. Dan pasar baru itupun jumlahnya sungguh amat sedikit, bisa dihitung dengan jari. Di Bali, hingga saat ini komunitas seni lukis kaca yang masih hidup hanyalah di desa Nagasepaha, Buleleng. Di desa yang terletak tujuh kilometer ke arah Timur dari kota Singaraja itu, terdapat belasan pelukis kaca yang aktif berkarya juga berpameran. Namun demikian, seni lukis kaca merekapun suatu saat akan terpinggirkan oleh arus utama seni lukis masa kini. Bahkan medan sosial seni rupa Bali cenderung memosisikan seni lukis kaca sebagai seni nista, seni kelas dua, milik para pengrajin belaka.
     Keadaan itu juga terjadi di hampir seluruh pusat-pusat lukis kaca di Jawa, sebagian besar mereka beralih profesi untuk menjadi petani buruh, merantau di kota atau tetap membuat lukisan bila ada pesanan. Memang ada usaha untuk melestarikan lukis kaca, khususnya lembaga pendidikan seni dengan membuka mata pelajaran seni lukis kaca, seperti di beberapa sekolah menengah seni rupa dan kerajinan, bahkan lembaga pendidikan tinggi seperti ISI Solo, juga mengkhususkan kearah pelestarian seni tradisi, termasuk mata kuliah lukis kaca. Tetapi usaha-usaha tersebut, belum membuahkan gaung yang walau telah membumi di persada Nusantara.(JUN)

Membaca Karya Para Penjinak Kaca


Salah seorang pengunjung mengamati salah satu karya seni lukis kaca dalam 'Penjinak Kaca' di Tembi Rumah Budaya
Selama ini seni lukis kaca lebih dianggap sebagai seni rupa tradisi yang stagnan dan tidak dinamis. 
Di satu sisi memang benar. Mengingat seni rupa dengan teknik melukis permukaan kaca sejauh ini tak banyak perupa yang menerapkannya, seni lukis kaca juga lebih dianggap sebagai seni tradisi yang tidak kontemporer.
Namun, di sisi lain, anggapan ini tak sepenuhnya benar. Pasalnya, dengan berkembangnya seni rupa di Indonesia, seni lukis kaca menjadi semacam teknik sekaligus genre tersendiri dalam seni rupa yang bisa dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terkesan lebih dinamis.
Setidaknya, hal inilah yang ingin ditunjukkan oleh 4 perupa dari 4 kota yang berbeda ini. Dalam pameran seni rupa yang digelar di Tembi Rumah Budaya sejak 11 Juli-11 Agustus 2014 tersebut, keempat perupa, yakni masing-masing Hadi Koco (Surabaya), Ketut Santosa (Bali), Rina Kurniyati (Yogyakarta), dan Nugroho (Magelang) ingin menunjukkan bahwa lukisan kaca kini telah berkembang melampaui kebiasaan, konvensi, dan proses teknik yang selama ini ada. 
Menurut Kurator Pameran, Mike Sutanto, hal ini bukanlah sebuah upaya untuk melawan arus. Akan tetapi, upaya keempat perupa itu lebih pada penciptaan 'area' kreativitas sendiri. "Karena mereka tergolong perupa yang konsisten sebagai seorang pelukis kaca," tuturnya.
Meski menampilkan karya sejenis, yakni lukisan kaca, namun keempat perupa itu terlihat menampilkan lukisan dengan masing-masing gayanya. Sebut saja misalnya Ketut Santosa yang lebih menampilkan perpaduan unsur tradisi dengan menggunakan teknik dekoratif. Selain itu, karya Ketut Santosa juga lebih mengarah pada penyuluhan terhadap masyarakat terkait isu-isu sosial seperti misalnya kesehatan.
Sedangkan Hadi Santosa, dengan gaya realisnya lebih menampilkan karya-karya yang memotret segala realita yang ada di sekitarnya. Tak hanya itu, perupa asal Surabaya ini juga menampilkan beberapa karya potretnya, seperti misalnya lukisan Nelson Mandela, dan Sukarno. Sementara perupa tuan rumah, Rina Kurniyati lebih menampilkan karya-karya pop yang superrealistik. Tak heran dalam pameran tersebut, Rina menampilkan beberapa karya berupa lukisan gambar muka sebuah mobil tua.
Begitu pula dengan Nugroho, perupa asal Magelang yang lebih menampilkan karya-karya ekspresif dan terkesan liar. "Uniknya, perupa ini [Nugroho] juga menampilkan karya instalasinya," imbuh Mike.
Intinya, menurut Mike, keempat perupa itu sepertinya memang mengemban misi tersendiri. Sebagai kurator, ia membaca misi itu adalah sebuah upaya pembongkaran makna lukisan kaca yang selama ini dikenal sebagai 'Folksong in Paint' menjadi 'Social/Personal in Paint'. "Inilah yang menyebabkan pameran ini kami beri titel Para Penjinak Kaca," simpulnya.
(Harian Jogja, 4 Agustus 2014)

baca juga: Lukisan Kaca, Antara Eksistensi dan Saksi Seni

Tuesday, July 22, 2014

Memandang Arsitektur dari Sudut Pandang Seni



David Hutama saat menjadi pemateri dalam Diskusi Guru Muda di Langgeng
Art Foundation, Sabtu (19/7).
Jika selama ini karya arsitektur dikenal sebagai dunia profesional dan kreatif yang jauh dari kotak penggolongan karya seni, seniman harus membiasakan diri dengan masuknya bidang yang erat kaitannya dengan bangunan ini ke dunia seni.Setidaknya, dalam diskusi Guru Muda yang digelar di Langgeng Art Foundation, Sabtu (19/7) siang lalu, arsitek yang juga merupakan dosen di Universitas Pelita Harapan, David Hutama yang didapuk sebagai pembicara dalam diskusi itu mengakui bahwa bukanlah hal yang mudah untuk menghubungkan antara arsitektur dan seni. Menurutnya, menggabungkan keduanya itu rumit-rumit sederhana.
    Setidaknya ada 3 hal penting yang harus diperhatikan. Selain harus dikenal terlebih dulu konsep arsitektur, bagaimana proses penciptaannya, serta yang terakhir adalah bagaimana mewacanakan persepsi ruang arsitektur itu dalam sebuah apresiasi seni. Dengan begini, substansi dari arsitektur itu sebenarnya ada pada ruang. Pada tataran inilah, seorang arsitek bisa dicermati gagasannya sebagai seorang seniman juga.
    Sebagai subjek, karya aristektural merupakan ruang yang terbentuk oleh keterbangunannya itu sendiri. Sedangkan sebagai objek, karya aristektural adalah sebuah bangunan. Persoalannya kini, kedua hal ini tidak dapat dipisahkan.
    Begitu pula terkait kerja proses penciptaannya, pemilihan material menjadi daya kuat yang mempengaruhi karakteristik karya arsitektural itu sendiri. Menurutnya, pemilihan material itu memungkinkan munculnya karakter-karakter penciptaan yang lebih baru. Dari sinilah, ia menganggap kerja arsitektural itu tak ubahnya seperti seorang perupa dalam menciptakan sebuah karya instalasi berukuran besar.
    Dalam buku De Architechtura Libri Decem karya Marcus Vitruvius Pollio, pengertian arsitektur memang lebih ditekankan kepada keterbangungan/ketukangan. Lebih tepatnya tentang bagaimana seseorang yang menyandang status sebagai arsitek memiliki kemampuan dalam merangkai material guna menciptakan sebuah bangunan yang megah. Penekanan ini cukup mudah dipahami lantaran adanya batasan teknologi dan materian bangunan yang tersedia.
    Pada masa Vitruvius, bisa diduga material bangunan utama hanya meliputi 2 hal saja, yakni bebatuan dan kayu. Dengan 4 iklim yang terdapat di tanah Italia, kayu jelas bukan pilihan material yang baik. Oleh karena itu batu menjadi pilihan utama untuk mendirikan bangunan.
    Dari sinilah terlihat betapa mendirikan bangunan itu adalah wilayah bagi orang atau pihak yang memiliki kekuasaan. Hal ini juga terlihat di kawasan Asia. Bangunan candi yang memanfaatkan batu-batu besar jelas tak berdiri begitu saja. Peran massal dan pengaruh kekuasaan menjadi sangat penting dalam proses pendirian bangunan itu (candi). Akan tetapi, khusus dalam hal pembangunan candi ini, kekuasaan yang dimaksud bukanlah kekuasaan dalam arti politis, melainkan pada kekuasaan dalam arti penjaga dogma.
    Itulah sebabnya, Victor Hugo dalam The Hunchback of Notredame membahas secara khusus peran arsitektur tersebut. Hugo berargumen bahwa arsitektur adalah penjaga pesan/dogma yang lugas dan terbuka. Namun kehadiran karya-karya tulis/cetak yang dinilai lebih murah, mudah dan cepat, kenyataannya akan mematikan fungsi arsitektur itu sendiri.
    Fungsi representasi kekuasaan inilah yang membuat arsitektur kemudian tak bisa dilepaskan dari tradisi dan kebudayaan dimana ia berada. Tradisi dan kebudayaan jelas akan sangat memperngaruhi dimensi keterbangunan dan makna dari arsitektur itu sendiri.
    Dicontohkannya adalah karya instalasi bertajuk Instalasi Paviliun Indonesia karya Avianti Armand yang dipamerkan di Venice Biennale 2014. Karya yang berupa instalasi yang memanfaatkan bangunan bekas gudang senjata seluas 500 meter persegi.Dengan bidang kaca yang dipakai untuk membelah ruangan yang remang-remang, ditambah dengan narasi materi yang diproyeksikan di bidang-bidang kaca yang dibiarkan memantul ke arah tanah dan dinding yang kasar, ia menilai karya arsitektural itu adalah pembuktian bahwa sebuah karya arsitektur ternyata mampu menciptakan sebuah ruang yang bisa diapresiasi dalam ranah seni.
    Pada akhirnya, dengan meminjam pendekatan reduksi radikal dari Rene Descartes, bahwa yang otentik milik arsitek dan arsitektur hanyalah gagasan dan wujud dari ruang arsitektur tersebut saja. Keterbangunan dari bentuk dan kerapihan dari sebuah pengerjaan detil belum tentu karena gagasan arsitek, dan belum tentu juga menjamin hadirnya arsitektur yang baik.
    Akan tetapi, kesadaran dan kepekaan akan dialog tubuh dan ruang, akan menggiring terjadinya ruang arsitektur yang baik. Oleh karena itu, jika arsitektur hendak dipahami sebagai sebuah karya seni, maka sudah jelas ruang arsitektur adalah substansi utama dari seni berarsitektur.**

Pementasan Teater Departure karya Kage Mulvilai














Rayakan Kebebasan, Ekspresikan Kenangan

Salah satu adegan dalam pentas Departure



Sorot lighting mempertajam detail tegasnya akar-akar tunjang pohon beringin. Gerak tubuh tanpa dialog para aktor dan iringan musik dengan tempo rendah membuat suasana malam itu kian terasa khidmat dan mistis.

Dalam pertunjukan teater bertajuk Departure yang digelar di kompleks kampus Sanata Dharma, Minggu (20/7) malam itu, 8 orang aktor memang terlihat tampil dengan gerak tubuhnya masing-masing. Meski terpusat pada latar pohon beringin besar di pusat halaman yang biasa disebutsebagai Beringin Sukarno, namun nyatanya setiap gerak tubuh yang mereka tampilkan nyaris tak terkait satu dengan lainnya.
        Dengan gerak tubuhnya masing-masing mereka seperti ingin menyampaikan suatu pesan. Seperti tema pertunjukan itu sendiri, yakni Departure, mereka seperti ingin menunjukkan kepada penonton, bahwa hakikat keberangkatan itu sendiri bukanlah dimana kaki kita akan berpijak nantinya, tapi lebih pada bagaimana cara kaki kita melangkah ke titik yang akan dituju. Di situlah peran dari kenangan dan ingatan. Inilah yang hendak disampaikan 8 aktor dalam pertunjukan yang melibatkan 3 kelompok teater asal DIY itu.
        Pertunjukan dimulai dengan aksi gerak tubuh salah satu aktor berkostum perempuan. Aktor ini membuka pertunjukan dengan melakukan eksplorasi terhadap reranting pohon beringin menjuntai seperti tirai, yang kemudian diikuti oleh penampilan aktor lainnya.Uniknya, kedelapan aktor dalam pertunjukan arahan sutradara sekaligus aktor teater asal Thailand, Kage Mulvilai itu tidak hanya berpusat pada Beringin Sukarno saja. Mereka juga bebas melakukan eksplorasi terhadap beberapa pohon lainnya yang ada di sekitar pohon beringin itu.
       Setelah hampir 1,5 jam, pertunjukan pun ditutup dengan penampilan sang sutradara, Kage Mulvilai yang menampilkan gerak tubuh tanpa dialog. Melalui gerak tubuhnya yang dinamis, seniman yang berproses di kelompok teater Be Floor Thailand itu seperti hendak menampilkan kenangannya akan masa-masa otoriter di negaranya yang memang hingga kini masih dirasakannya memberangus kebebasan berekspresi para seniman seperti dirinya. Semua orang punya kenangan dan ingatan. lihat parade foto
      Begitu juga saya. Melalui pentas inilah saya ingin menunjukkan ingatan saya itu melalui tubuh saya," ungkap Kage saat berbincang dengan Harian Jogja seusai pentas.Kage juga menambahkan pentas yang digelarnya bersama 3 kelompok teater DIY itu merupakan salah satu rangkaian kegiatan riset yang dilakukannya beberapa kota di Indonesia. Diakuinya, kini ia memang tengah melakukan riset tentang kebebasan berekspresi di Indonesia.
     Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami masa-masa kelam diberangusnya kebebasan berekspresi ini. Dari sinilah, Kage sepertinya ingin mewujudkan hal itu dalam bentuk pentas. Termasuk dengan pemilihan tema pertunjukan, Keberangkatan [Departure]. Dalam pementasan teater tubuh itu, Kage ingin menyampaikan pesan bahwa tema Departure jangan hanya dimaknai secara leksikal oleh penonton. Ia ingin penonton memaknainya lebih personal.
     Tentu saja, hal itu bisa dilihat dari tiap gestur dan akting tubuh yang dilakonkan setiap aktornya. Tema Departure dimaknainya sebagai langkah awal untuk menuju kebebasan manusia untuk berekspresi. Bagi Kage, langkah awal itu bisa diwujudkan dalam bentuk pengungkapan atas kenangan dan ingatan seseorang akan masa lalunya.
     Mengenai konsep pertunjukan yang tanpa dialog, Kage menuturkan bahwa pihaknya sama sekali tidak memaksakan konsep pertunjukan kepada seluruh aktor. Ia memberikan kebebasan kepada aktor untuk mengekspresikan apapun yang menjadi ingatannya akan masa lalu. "Saya rasa, gerak tubuh adalah memang cara paling jitu untuk mengungkapkan masa lalu. Bagaimanapun, keberangkatan itu selalu dimulai dari ingatan dan kenangan," tegasnya.**

Sunday, June 1, 2014

Multikulturalisme: Solusi atau Bunuh Diri?



Semua agama yang dikonstruksi secara formal dengan sebuah legalisasi sebagai ‘agama resmi’ di Indonesia pada dasarnya merupakan barang impor. Agama resmi tersebut hadir bukan dari dan dalam tabung kosong, melainkan ada dan mengada dalam konteks kebudayaan masyarakat. Ini berarti bahwa jauh sebelumnya, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah memiliki keyakinan meski belum bisa dikategorikan dalam konteks keagamaan. 
Kehadiran 'agama resmi' itu pun kemudian menciptakan keanekaragaman baru dan menjadi suatu kekuatan integratif sehingga menciptakan identitas yang melekat dengan masyarakat tersebut. Di bagian lain, terjadi semacam dialog antara agama resmi dan keyakinan keagamaan setempat, dan antar pemeluk 'agama resmi' (baca: umat). Pada kenyataanya, terjadi konversi, tarik ulur, ketegangan, dan ‘penaklukkan’ atas nama agama atau ‘Berperang Demi Tuhan’. Dari situlah perlahan wajah 'agama resmi' itu pun pada akhirnya muncul.

Dalam Islam misalnya, konstruksi minna dan minkum segera direproduksi dalam sebuah arena. Bahkan tak jarang kemudian konstruksi itu pun dengan sengaja direduksi. Inilah yang kemudian membuat perjalanan agama menjadi menyimpang dari esensi agama yang pada hakikatnya rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam, terj) berubah menjadi konflik dengan atas nama Tuhan. Agama menjadi ‘berlumuran darah’ dan manusia pun ‘baku bunuh’ dengan mengatasnamakan Tuhan. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia menguatkan hipotesa tersebut. Konflik individu meluas menjadi konflik keyakinan keagamaan karena manipulasi simbol sakral untuk kepentingan sesaat dan konsepsi ‘jihad’ yang direproduksi dengan (sangat) sempit.
Dalam konteks kenegaraan, atribut-atribut agama tidak diusung secara formal, melainkan hanya diambil substansinya saja. Sedangkan atribut formal yang ada dalam UUD, landasan idiil, dan landasan operasional membuat negara kemudian dinyatakan sebagai negara beragama ‘kaum beriman’. Bahkan untuk menegaskannya, Departemen Agama, sebagai tangan kanan negara dengan segala otoritasnya kemudian berhak (baca: wajib) untuk menentukan sah atau tidaknya (baca: mudarad) kelompok keagamaan yang berbeda. Dari sinilah kemudian, masyarakat luas mulai mengenal dan terbiasa dengan istilah bid'ah, sesat, dsb.
Satu hal yang perlu dicermati di sini, keputusan negara itu pada dasarnya sangat tidak kedap kepentingan politik. Keputusan itu pun sengaja dimunculkan untuk legitimasi paspor kekuasaan. Dari sinilah, secara tidak langsung, saya dapat mengatakan bahwa lembaga tersebut merupakan institusi yang tak ubahnya seperti ‘Tuhan’. Pasalnya, dari tangan mereka lah kadar keimanan seseorang ditentukan. Penganut agama yang tidak sesuai dengan keputusan mereka sudah barang tentu akan dinyatakan sebagai penganut agama terlarang, sesat dan menyesatkan.
Seharusnya agama menjadi urusan pribadidari tiap individu. Negara hanya mengatur keberadaan agama di ranah publik. Dalam ranah itu manusia dituntut untuk menjunjung tinggi kepentingan publik sehingga formalisasi agama menjadi tidak penting lagi. Untuk ini, saya pribadi kemudian teringat dengan surat tentang toleransi agama yang pernah ditulis oleh seorang tokoh empirisme asal Inggris, John Locke pada tahun 1989. Dalam surat itu tertulis: '[A]pabila berkumpul secara hidmat, menjalankan perayaan agama, beribadah di tempat umum diijinkan kepada kelompok agama tertentu, maka hal ini juga harus diijinkan terhadap kelompok agama yang lain'. 
Dari surat itu terbaca bahwa Locke memaknai toleransi sebagai persamaan perlakuan di antara kelompok-kelompok keagamaan/kepercayaan. Atau dengan kata lain toleransi mengandung makna memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok agama untuk melaksanakan/menjalankan peribadatannya. Non-diskriminasi, keragaman dan toleransi merupakan elemen yang melekat di dalam hak atas kebebasan beragama. 
 Dari sinilah esensi beragama pun menjadi penting, sebab hak asasi manusia identik dengan ma’rifat agama. Dengan demikian, maka pola hubungan antara negara dan agama di Indonesia, menurut saya perlu segera direstrukturisasi.
Negara melalui Departemen Agama sudah terlalu jauh mengintervensi kehidupan masyarakat, terutama bagi penganut agama maupun kepercayaan di Indonesia. Departemen Agama seharusnya mengurusi masalah yang bersifat administrasi pelayanan publik. 
Pada dasarnya dampak pengakuan agama resmi itu menyebabkan beberapa agama lokal ataupun keyakinan-keyakinan seperti hendak ‘dipaksakan’ masuk ke dalam agama itu. Kebijakan negara yang mengintervensi agama setidaknya ada 18 buah, mulai dari surat keputusan, surat keputusan bersama, hingga yang berupa radiogram-radiogram. Berdasarkan data di Kejaksaan Agung periode 1949-1992, terdapat sekurang-kurangnya 51 aliran kepercayaan di Indonesia (KOMPAS, 6 Mei 2004). Bahkan aliran kepercayaan tersebut mengalami peningkatan sebanyak 8,8 juta per tahun (Suara Merdeka, 2 Mei 2005)
Penentuan agama legal itu pada dasarnya memiliki tujuan positif, akan tetapi pada pelaksanaannya, seringkali justru menimbulkan diskriminasi. Diskriminasi di sini adalah dalam konteks keyakinan keagamaan, yang pada akhirnya dapat memunculkan dikotomi ‘agama resmi dan agama tidak resmi’. Akibatnya, masyarakat yang tidak menjadi bagian dari ‘agama resmi’ seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari negara, seperti dalam hal pencatatan perkawinan, dan kelahiran. 
Lebih radikal lagi, kelompok adat yang notabene berada di antara batas keduanya, kerap dianggap ‘tidak beragama’, padahal segala bentuk pelayanan publik sering menjadikan agama sebagai ‘paspor’nya. Artinya, tanpa mencantumkan ‘agama resmi’, orang akan mengalami kesulitan untuk memperoleh hak-hak sipil, seperti pelayanan pengurusan Kartu Tanda Penduduk, percatatan perkawinan, dsb.
Sebuah pertanyaan yang menurut saya bisa dijadikan sebuah perenungan dan permenungan adalah, masihkah kita harus berdebat tentang keberadaan ‘agama resmi’ dan ‘agama tidak resmi’ itu, serta aliran-aliran kepercayaan serta penganutnya. Atau dalam kondisi lebih ekstrem, perlukah kita berdebat soal 'agama yang paling resmi di antara agama resmi'. Untuk ini, negara seharusnya menyediakan ruang selebar-lebarnya untuk bernegosiasi dengan mereka serta untuk melaksanakan keyakinan keagamaan mereka. Negara seharusnya menampung berbagai aspirasi dari masyarakat dan memberikan tempat yang sama kepada semua pihak. Dengan begini, masyarakat yang sebelumnya telah terkotak-kotakkan itu pun tidak lantas kian mempertegas garis batas yang mengkotaki mereka itu. Aspek terpentingnya adalah menciptakan kerukunan antar umat beragama dan menghindari pertumpahan darah atas nama agama.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia pun sudah seharusnya menempatkan diri sebagai agama yang ‘mayor’ di Indonesia, artinya tidak dengan menempatkan diri sebagai agama yang menguasai dan selalu ‘meng-atasi’ agama lain dan kepercayaan-kepercayaan lainnya, inilah yang saya katakan sebagai wujud Islamisasi Indonesia. Pasalnya hal itu sudah barang tentu akan memicu ketegangan serta konflik dengan kelompok masyarakat penganut agama lain (dengan mengatasnamakan Tuhan). Satu lagi yang terpenting, resolusi yang harus segera diambil oleh negara jangan sampai hanya yang bersifat melegitimasi terbentuknya ‘Islamisasi’ tersebut.**