Dengan pencahayaan yang temaram, membuat ruang itu semakin tampak suram, apalagi dengan pajangan berbagai pernak pernik etnik semakin memrebakkan suasana suram pada ruangan itu.
Memang, memasuki sebuah ruangan berluas kurang lebih 7 x 7 meter, jajaran barang antik, mulai dari patung-patung besar serupa menhir dan totem tampak berdiri kokh di salah satu sudut ruangan. Sedang di rak-rak yang berada di sudut lain, tampak patung kecil yang mirip boneka-boneka dari suku pedalaman yang terbuat dari berbagai bahan, mulai dari bahan menyerupai fiber, hingga kayu. Selain itu, beberapabuah guci, keramik, yang dilihat dari motifnya adalah motif Tionghoa kuno juga tampak tertata rapi di sudut yang lainnya.
Memandang sekeliling, ada yang akan menarik perhatian, yakni lemari-lemari kaca yang menempel di sepanjang dinding. Dalam lemari itu ada puluhan topeng yang berjajar.
Sambil memandangi jajaran topeng di dindingnya, adalah Reno Halsamer, sang pemilik topeng-topeng itu mencoba menjelaskan satu persatu jenis topeng yang dimilikinya.
Dia mengatakan bahwa secara keseluruhan dia memiliki 3 jenis topeng, yakni Topeng Panji, Kelono, dan Reksangbumi.
Mengenai Topeng Panji, Reno mengatakan bahwa topeng yang satu ini memiliki ekspresi yang menggambarkan pangeran. Untuk ini, dia menurunkan salah satu topeng dengan wajah bulat berwarna putih. Menurutnya, ada semacam kewibawaan seorang pangeran melekat pada pemakainya.
Selain itu dia juga menunjukkan bahwa topeng Panji memiliki ciri khas terdapatnya aksesoris-aksesoris yang menyimbolkan sesuatu. Tapi ketika ditanya mengenai simbol-simbol itu, pria yang juga memiliki bisnis hadycraft di Bali ini mengaku belum mengetahui makna dari simbol-simbol yang terdapat di topeng-topeng miliknya. “Topeng Panji dari Kediri, misalnya, kebanyakan pasti menggunakan daun waru sebagai aksesorinya, tapi saya ga tau apa artinya. Perlu dilakukan penelitian lebih jauh untuk ini”, terang Reno sambil mengelus detail wajah topeng yang ada di tangannya.
Lalu, dia menurunkan sebuah topeng dengan wajah berwarna merah dengan detail dahi yang berkerut-kerut. “Ini lho contohnya Topeng Reksangbumi”, terangnya.
“Sedangkan Kelono lebih mengekspresikan kemarahan”, tambahnya sambil mengembalikan topeng ke tempatnya semula. Dijelaskannya, Topeng Kelono ada yang digambarkan bertaring dan juga ada yang digambarkan berhidung panjang. “Kalau yang hidungnya panjang ini, namanya bapang. Sedang yang ada taringnya, disebut geger”, jelasnya sambil menunjuk salah satu topeng bertaring.
Ekspresi yang muncul dari topeng, serta detail-detail topeng membuat Reno tertarik untuk mengoleksinya. Selain itu juga karena baginya arus modernisasi telah menggerus seniman-seniman tradisional. Hilangnya seniman-seniman itu, disebabkan tidak adanya estafet kepada generasi muda. Inilah yang membuat Reno merasa perlu menjaga kelestarian topeng sebagai aset budaya Indonesia.
Topeng-topeng yang dikoleksi Reno merupakan topeng ritual dan pagelaran yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Perbedaan topeng dari Jawa dan topeng yang berasal dari luar Jawa adalah pada warna wajahnya. Seperti yang dijelaskan Reno bahwa Topeng dari Jawa cenderung lebih bagus, sebab memiliki warna. Sedangkan dari luar Jawa lebih memilih warna asli dari kayunya. “Saya lebih suka topeng dari Jawa. Kalau dari luar Jawa itu ga ada. Jadi kayunya alami. Ga pakai warna”, terangnya.
Topeng ritual sering dipakai oleh penarinya ketika upacara-upacara adat. Sedangkan topeng pagelaran lebih bersifat hiburan. “Ini contoh topeng ritual,mas”, jelasnya sambil menunjuk 2 kotak berkaca yang berisikan masing-masing satu buah topeng dengan wajah berwarna putih dan satunya berwarna kuning.
Ketika ditanya mengenai ciri yang membedakan antara topeng ritual dengan topeng pagelaran, Reno menjelaskan bahwa bentuk topeng ritual cenderung lebih nyeleneh jika dibandingkan dengan topeng pagelaran. “Ini, mas contohnya topeng ritual yang lain, yang lebih serem. Serem kan?”, guraunya sambil menunjukkan topeng barong Bali yang berujud kala (raksasa, red) bersayap.
Dalam pagelaran, topeng juga sering dimanfaatkan sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Ditunjukkannya topeng dengan wajah berwarna putih, dengan memakai aksesori berupa topi kompeni, namun memiliki taring seperti kala.
Berburu Topeng
Dalam memburu topeng-topeng koleksinya, Reno harus berburu ke daerah-daerah yang sulit dijangkau. Dia mengaku bahwa untuk mendapatkan koleksinya, dia harus mencari kolektor-kolektor lain yang berniat untuk menjual koleksinya. Selain itu, terkadang dia tidak bisa menemukan topeng di daerah tempat pembuatannya. Oleh karena itu Reno mengandalkan balai-balai lelang. “Sekarang sudah susah menemukan topeng di daerah tempat pembuatannya. Contohnya Topeng Cirebon aja. Nyari topeng Cirebon pasti susah di Cirebon sendiri. Topeng itu sudah sangat langka di Cirebon. Topeng Malang juga sudah susah ditemukan di Malang”, ungkapnya sambil menurunkan topeng dengan wajah berwarna emas yang diyakininya berasal dari Malang.
Untuk mendapatkan topeng yang benar-benar asli, Reno memanfaatkan pengalaman dan kejeliannya dalam memilih. Tidak bisa dipungkiri, pengalaman mengakrabi topeng selama kurang lebih 10 tahun membuatnya tidak lagi sulit membedakan mana topeng yang asli dan mana yang palsu.
Biasanya dia melihat dari adanya kulit topeng bagian dalam yang menghitam karena tumpukan keringat dan daki dari si pemakainya. “Selain itu, goresan-goresan di dalamnya juga menandakan bahwa topeng itu asli”, tambahnya sambil mengelus-elus bagian dalam topeng.
Dari sekian banyak topeng yang dimilikinya, ada satu topeng yang menurutnya sangat unik. Topeng itu berujud Panji yang memiliki bentuk kepala seperti Buddha. Jadi sepintas tampak seperti patung kepala Buddha. Reno mengaku, yang membuat topeng Budha ini unik adalah bentuknya yang menyerupai Buddha, padahal di Cina sendiri Buddha tidak pernah diwujudkan dalam bentuk topeng. “Ini asli Jawa. Asal tahu saja, di Cina, Buddha tidak dibikinkan topeng, mas.”, akunya.
Karena usia topeng-topeng yang dimiliki Reno cenderung tua, maka tidak heran jika, serbuk-serbuk rayap sering muncul, namun untuk mengantisipasinya, Reno tidak sampai membayar pegawai untuk mengatasinya. Cukup dirinya sendiri yang menyemprot-topeng-topeng itu dengan obat anti rayap, meskipun diakuinya itu tidak sering. Selain itu faktor usia juga mempengaruhi daya tahan kayu topeng itu. Tidak sedikit pula topeng-topeng milik Reno yang patah karena kayunya lapuk.
Ketika ditanya, apakah koleksinya dijual atau tidak. Reno hanya tersenyum. Dia mengaku bahwa baginya mengoleksi topeng bukan untuk bisnis. “Sering orang asing ke sini untuk menanyakan harga topeng-topeng saya. Tapi saya ga bisa kasih. Ya... karena memang tidak dijual”, jelasnya.



No comments:
Post a Comment