Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Tuesday, December 20, 2011

Merti dusun Imorenggo Desa Karangsewu Kecamatan Galur

Perayaan pertama untuk keselamatan bersama


Birunya langit pagi itu (11/12), sekitar pukul 08.00 membuat sinar matahari menjadi sama sekali tak berpenghalang. Namun itu tak membuat 40 orang yang berjalan sekitar 500 meter mengarak sebuah gunungan setinggi 2 meter dan beberapa uba rampe yang diletakkan di atas peti dan dipanggul oleh beberapa pemuda, merasa lelah.

Arak-arakan itu berawal dari sekitar situs Pandan Segegek tepatnya di rumah Sudarwanto, Ketua Wilayah Dusun Imorenggo Desa Karangsewu, Kecamatan Galur ke arah aula dusun Imorenggo, tempat diselenggarakannya acara yang bertajuk Hari Bhakti Transmigrasi dan Merti Dusun yang merupakan salah satu wilayah lokasi transmigrasi lokal tersebut.

Setelah mengikuti serangkaian acara yang dihadiri Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Riyadi Sunarto, Kabid Kebudayaan Disbudparpora Joko Mursito, dan Camat Galur Jazil Ambar Was’an tersebut, maka sekitar pukul 12.00, gunungan dan uba rampe itu diarak kembali dari aula dusun menuju ke tepi laut untuk dilarung.

Dengan membawa sebuah wadah berbungkus kain putih, 6 macam jenang-jenangan, di antaranya termasuk jenang burabari, jenang gecok, dan jenang pancawarna, Sudarwanto, yang didapuk sebagai pemimpin arak-arakan tersebut kemudian berjalan dari pantai menuju bibir pantai.

Ombak pantai selatan yang menyambut kakinya seperti hendak menjemput besek berisi jenang itu. Tanpa menunggu lama, besek itu pun segera dilemparkannya ke gulungan ombak berbuih putih yang ada di depannya itu.

Barulah setelah itu, gunungan dan uba rampe kembali diarak ke aula untuk kemudian diperebutkan oleh warga yang sedari pagi sudah datang berharap bisa mendapatkan satu atau dua hasil bumi yang dipajang pada gunungan itu. ”Kalau di labuhan pada umumnya, warga bisa langsung berebut hasil bumi, tapi di sini lain. Kami hanya mengijinkan warga berebut gunungan dan uba rampe di aula. Bukan di atas pasir pantai ini. Sayang, kalau jatuh di pasir kan makanannya jadi kotor,” ujarnya.

Surati, salah satu warga mengaku puas setelah mendapatkan beberapa hasil bumi dari gunungan dan uba rampe yang diperebutkan itu. ”Saya dapat terong, pare, kacang panjang. Lumayan buat sayur,” canda nenek berusaia 50 tahun itu.

Bahkan demi hasil bumi itu, warga dusun 15 Desa Karangsewu Kecamatan Galur tersebut rela harus terjatuh-jatuh saat berebut dengan puluhan warga lainnya. ”Saya sampai terseok-seok,” ujarnya.

Acara itu sendiri, diakui oleh Sudarwanto, baru pertama kali ini digelar secara besar-besaran. ”Sebelumnya, karena keterbatasan dana, kami hanya menggelar kecil-kecilan saja di rumah warga,” akunya.

Sedangkan pelaksanaannya, diakui oleh transmigran asal Dusun Siliran, Desa Karangsewu, Kecamatan Galur itu biasa digelar setiap 15 Sura. ”Karena kini warga ada rejeki berlebih, acara itu digelar besar-besaran seperti ini,” ungkapnya.

Tanggal 15 Sura, diyakininya merupakan tanggal yang istimewa. Secara spiritual, dirinya mengakui bahwa setiap di tanggal itulah, dirinya merasa bahwa kehidupannya selalu berubah. ”Hidup kami menjadi baru. Dan anehnya, kami merasakannya setiap tanggal 15 Sura itu,” ujarnya.

Merti dusun itu diakuinya adalah salah satu bentuk ungkapan rasa syukur terhadap Maha Pencipta terhadap segala nikmat yang diperoleh seluruh warga khususnya panen yang melimpah.

Selain itu juga merupakan harapan dan doa agar dijauhkan dari dampak-dampak buruk baik yang diakibatkan oleh alam maupun oleh manusia. ”Merti dusun ini sebagai bentuk doa warga kepada Tuhan agar dijauhkan dari dampak-dampak alam dan manusia sehingga tercipta kesejahteraan. Kami juga ingin memupuk dan melestarikan budaya Jawa yang akhir-akhir ini tergeser budaya kebarat-baratan,” ujarnya.

Diakuinya, sesaji atau uba rampe yang diarak dalam merti dusun itu hanya sebagai bentuk mengemas budaya Jawa sebagai seni. Sedangkan permohonan warga tetap ditujukan kepada Tuhan. Prosesi labuhan atau melarung uba rampe ke laut dilakukan karena laut merupakan muara dari semuanya. ”Sehingga semua apa yang menjadi kendala kami simboliskan dibuang ke laut. Jenang yang dilarung enam macam, antara lain jenang burabari, jenang gecko, dan jenang poncowarno. Tadi gunungan tidak diperebutkan di laut karena untuk menjaga keamanan dan agar makanan tidak kotor,” imbuhnya.






No comments:

Post a Comment