
Salah satu puisi yang paling banyak diperdebatkan maknanya adalah “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang. Puisinya cuma sebaris, “bulan di atas kuburan”. Pertama puisi itu sangat pendek. Kedua, malam lebaran yang berarti malam 1 Syawal, adalah saat di mana bulan sama sekali tidak kelihatan.
Dan saya tak ingin memperpanjang debat itu.
Lebaran adalah hari kemenangan, tetapi juga kekalahan; kekalahan bagi yang tak berhasil meningkatkan barang segaris kualitas kemanusiaannya, juga kekalahan bagi yang tak bisa membelikan barang sepotong baju baru untuk anaknya.
Hari kemenangan itu telah menjadi beban, karena terjadi pengeluaran besar-besaran. Ironis, ketika hari kemenangan justru disambut dengan kepanikan, kenaikan harga-harga barang, dan penambahan saldo utang.
Segala hal telah berkiblat kepada kebendaan. Tak ada lagi yang peduli menyelami, apa yang semestinya terjadi di Idul Fitri. Apakah merenungi, menelanjangi jiwa sendiri, atau ke sana ke mari wara-wiri dengan baju baru dan gemerlap perhiasan warna-warni. Mengapa menjelang hari itu segalanya justru menjadi sesak; mall, pasar tradisional, toko sembako, seperti sesaknya dada si fakir yang tak tau harus membelanjakan apa menyambut hari raya, sesak pengap membekap, padahal namanya lebaran, bukan sempitan.
Jika begitu, lebaran memang menjadi bulan di atas kuburan. Pedih, menyayat, sepi, mencekik.
No comments:
Post a Comment