Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Tuesday, May 15, 2012

Panduan Bagi Para Diktator

Renaisance, seperti yang diketahui banyak pihak, dianggap merupakan era yang membawa aroma perubahan, terutama dalam hal paradigma di beberapa negara Eropa, hingga membuat negara-negara tersebut mampu melepaskan diri dari kungkungan irasionalitas religius yang dianggap merupakan penghambat bagi hak-hak kemanusiaan yang bersifat hakiki. Salah satu tokoh yang dianggap merupakan produk renaisance adalah Niccolo Machiavelli. Sebagai seorang diplomat dan politikus, Machiavelli yang merupakan putra asli dari Florence, Italia tersebut merupakan tumpuan harapan khususnya bagi masyarakat Italia Utara untuk memperbaiki kondisi pemerintahan yang memang masih carut marut akibat masa transisi yang belum genap dari masa kegelapan gereja menuju sebuah abad pencerahan (aufklarung). Tentu saja, melalui dua karya besarnya, yakni Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principe (Sang Pangeran), Machiavelli menjelma menjadi sebuah matahari baru yang menjadi pusat perhatian politik Italia, khususnya wilayah Italia Utara. Inovasi Machiavelli dalam buku Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio dan Il Principe adalah dalam hal memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolak belakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pada pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di medan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari bahasa latin yang berarti ‘status’, yang menunjuk pada eksistensi dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat. Khususnya pada Il Principe (Sang Pangeran), selanjutnya disebut SP, yang baru diterbitkan medio tahun ini, sejatinya merupakan surat yang ditulis oleh Machiavelli pada 1513, yang ditujukan kepada Lorenzo de Medicci seorang penguasa Florence yang kembali berkuasa setahun sebelumnya. Surat itu tak ubahnya adalah sebuah petunjuk manual tentang bagaimana mempertahankan kekuasaan. Namun, melalui surat itu pula, Machiavelli tampak sekali begitu jauh mencampakkan aspek moral dan etika sehingga namanya identik dengan pemerintahan yang korup dan totaliter. Dari surat yang pada 1532 diterbitkan pertama kali itu, orang kemudian mengaitkan nama Machiavelli dengan cara-cara brutal, licik, amoral, dan penuh tipu daya untuk mempertahankan kekuasaan. Tak heran jika pada 1559, Paus Clement VIII sempat melarang peredaran buku tersebut karena dianggap melegalkan absolutisitas dalam pemerintahan Italia. Bagi Machiavelli, politik hanya terkait dengan dua hal, yakni meraih dan mempertahankan kekuasaan. Hal-hal lain yang berada di luar itu, seperti misalnya agama, moralitas dan sebagainya, baginya tidak ada sangkut pautnya dengan aspek-aspek fundamental politik, kecuali jika hal tersebut membantu untuk mendapatkan dan mempertahankan politik itu sendiri. Sesungguhnya, keahlian yang dibutuhkan untuk mendapatkan serta melestarikan kekuasaan tersebut adalah sebuah perhitungan. Oleh karena itulah, bagi Machiavelli, seorang politikus hendaknya mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dipernyatakan dalam setiap situasi. Dalam SP, Machiavelli menjelaskan bahwa seorang penguasa sudah seharusnya tidak terikat dengan norma-norma dan etika yang bersifat tradisional serta konvensional. Dalam pandangannya, seorang penguasa memang sudah seharusnya hanya berorientasi pada kekuasaan itu sendiri, termasuk pada pelegalan dan pengafirmasian segala hal yang akan membawanya ke arah kesuksesan politik. Baginya, penguasa memang harus kikir dan kejam dalam memberikan hukuman kepada para pembangkang yang dapat membahayakan kekuasaannya, karena itu dapat menyebabkan jatuhnya kekuasaan sehingga membuat negara berada dalam keadaan kacau. Memang, dalam buku setebal 260 halaman itu, Machiavelli menggambarkan sebuah kondisi negara yang tengah labil dan sangat tidak bisa diprediksi. Hanya orang hebat dengan pikiran penuh perhitungan yang dapat menaklukkan kondisi sosial politik tersebut. Penolakan Machiavelli terhadap penghakiman etis dalam politik mengakibatkan pemikirannya disebut sebagai pemikiran renaisance yang anti-Christ. Lebih kontroversial lagi, dalam Bab XVIII, Machiavelli bahkan menyarankan agar penguasa tak segan-segan menipu demi sebuah upaya pemertahanan kekuasaan. Oleh karena itulah, sebuah upaya perubahan (baca: pemberontakan), bagi Machiavelli akan menyulut upaya pemberontakan lainnya. Untuk ini Machiavelli mencontohkan tentang bagaimana Duke Ferara, salah seorang penguasa Italia yang tidak mampu menahan gempuran pemberontakan dari Kerajaan Venezia pada 1884 serta juga Julius Caesar pada 1910. ”Karena satu perubahan saja biasanya memancing perubahan yang lain muncul juga,” begitu tulis Machiavelli pada bab II. Menurut Machiavelli pula, kebaikan moral yang terbesar memang adalah sebuah negara, yang bajik serta bijak. Akan tetapi, sebuah negara harus tetap dalam keadaan stabil. Oleh karena itulah, menurutnya segala macam tindakan untuk mempertahankan itu semua, dibenarkan. Meski demikian, Machiavelli juga menganjurkan bahwa seorang Pangeran (baca: Penguasa), tidak boleh dibenci. Selain karena kebencian tersebut dapat menyulut pemberontakan dan kekacauan, Pangeran merupakan satu-satunya pewaris kekuasaan yang memang diturunkan secara turun temurun. Baginya, seorang penguasa yang bijaksana harus membangun kekuasaannya berdasarkan dari apa yang ia kuasai, dan bukan dari apa yang orang lain kuasai; ia harus berusaha agar ia tidak dibenci. Seperti yang dituliskan Machiavelli dalam Bab IV Sang Pangeran, “yang terbaik ialah ditakuti dan dicintai. Bila seseorang tidak dapat kedua-duanya, maka lebih baik ditakuti daripada dicintai.” Dari SP tersebut, setidaknya ada tiga pandangan yang berbeda terhadap Machiavelli jika dilihat dari karya-karyanya. Pandangan pertama, menyatakan bahwa Machiavelli adalah seorang pengajar kejahatan atau setidaknya mengajarkan immoralism dan amoralism dalam politik pemerintahan. Pandangan ini dikemukakan oleh Leo Strauss (1957) karena melihat ajaran Machiavelli menghindar dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan. Pandangan kedua, merupakan aliran yang lebih moderat, yang dipelopori oleh Benedetto Croce (1925) yang melihat Machiavelli sebagai sekadar seorang realis atau pragmatis yang melihat tidak digunakannya etika dalam politik. Sedangkan pandangan ketiga yang dipelopori oleh Ernst Cassirer (1946), yang memahami pemikiran Machiavelli sebagai sesuatu yang ilmiah dan cara berpikir seorang ilmuwan politikus. Untuk ini, Cassirer menyebut Machiavelli sebagai “Galileo of politics”, terutama dalam hal membedakan antara fakta politik dan nilai moral (between the facts of political life and the values of moral judgment). Meski banyak menuai kecaman dan kesan negatif dari beberapa tokoh lain, tidak sedikit tokoh yang membela Machiavelli. Mereka beranggapan bahwa pemikiran Machiavelli kerap disalahartikan. Hal tersebut lantaran orang hanya melihat Machiavelli dari SP saja, sedikit sekali orang membaca karyanya yang lain, terutama Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio). Jika ditelaah dari karyanya yang terakhir ini, Machiavelli sebenarnya adalah orang yang bermoral dan religius. Memang, jika SP banyak menimbulkan perdebatan, maka tidak demikian halnya dengan Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) yang oleh banyak ahli dipandang mewakili komitmen dan kepercayaan politik pribadi Machiavelli, khususnya terhadap republik. Dalam semua karyanya, secara konsisten Machiavelli membagi tatanan kehidupan sipil dan politik menjadi yang bersifat minimal dan yang penuh yang mempengaruhi pencapaian kehidupan bersama. Dalam karyanya tersebut, Machiavelli mengakui bahwa hukum yang baik dan tentara yang baik merupakan dasar bagi suatu tatatan sistem politik yang baik. Namun karena paksaan dapat menciptakan legalitas, maka dia menitikberatkan perhatian pada paksaan. Karena tidak akan ada hukum yang baik tanpa senjata yang baik, maka Machiavelli hanya akan membicarakan masalah senjata. Dengan kata lain, hukum secara keseluruhan bersandar pada ancaman kekuatan yang memaksa. Otoritas merupakan hal yang tidak mungkin jika terlepas dari kekuasaan untuk memaksa. Oleh karena itu, Machiavelli menyimpulkan bahwa ketakutan selalu tepat digunakan, seperti halnya kekerasan yang secara efektif dapat mengontrol legalitas. Seseorang akan patuh hanya karena takut terhadap suatu konsekuensi, baik kehilangan kehidupan atau kepemilikan. Argumentasi Machiavelli dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa politik secara keseluruhan dapat didefinisikan sebagai supremasi kekuasaan memaksa. Otoritas adalah suatu hak untuk memerintah. Sedangkan SP sendiri lahir lebih karena sebuah reaksi atas kedaaan Italia yang saat itu tengah terpecah belah dan sangat rentan terhadap serangan, baik dari luar, maupun dari dalam Italia sendiri. Kondisi itulah yang membuat Machiavelli kemudian tidak lagi memperbincangkan etika. Dia lebih berbicara mengenai negara dari sudut pandang medis. Dirinya yakin bahwa Italia memang sedang berada dalam keadaan kritis. Machiavelli pun fokus untuk menyembuhkan negaranya dan membuatnya lebih kuat, salah satunya adalah dengan memperkuat barisan pemerintahan pribumi yang memang bersifat absolut dan turun temurun. Bukti lain adalah terminologi medis yang dipakainya dalam SP. Ditulisnya, “para penghasut harus segera diamputasi, sebelum mereka menginfeksi seluruh negara”. Namun, seiring penelitian yang dilakukan terhadap pemikiran Machiavelli ini, sebuah bukti mencengangkan akhirnya ditemukan, yakni surat Machiavelli berangka tahun 1810 yang berisikan pengakuannya sendiri bahwa dirinya menulis Il Principe agar mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan keluarga Medici. Akan tetapi, terlepas dari itu semua, pemikiran-pemikiran Machiavelli hendaknya menjadi sebuah telaah kritis terhadap sistem kekuasaan pemerintahan yang bersih, dan stabil. Buku ini pun, sayangnya diterjemahkan sebagaimana aslinya, tanpa disertai tulisan tambahan yang membuat buku ini lebih berharga sebagi acuan dari penguasa yang menginginkan sebuah kondisi aman dan tenteram tanpa munculnya pemberontakan dan pembangkangan dalam bentuk apapun.***

No comments:

Post a Comment