
Gemulainya Sang Prajurit
Pancasila...
Minongko dasar negoro...
Kalimat pembuka itu sudah mulai terdengar dari suara penyanyi perempuan yang bening melengking. Terasa begitu harmonis berpadu dengan suara bebunyian yang keluar dari kendang, bedug, tambur, kencreng, rebana, terbang, dan jidor ditabuh oleh 10 orang pemusik secara bersamaan.
Tak lama, 12 penari perempuan berkostum prajurit kompeni Belanda berlengan panjang hitam yang dibagian dada dan punggunya berhiaskan lipatan-lipatan kain kecil berwarna kombinasi merah-kuning. Kaki mereka yang berbungkus stocking warna kulit, tampak jenjang dengan balutan celana pendek ketat yang dihiasi pelet vertikal berwarna merah-putih di sisi luarnya. Rambut panjang mereka tertutup rapi oleh topi hitam yang tepinya diberi kain berwarna merah-putih dan kuning emas.
Sesuai dengan namanya, gerakan kepala keduabelas penari ini terlihat seperti mengangguk-angguk. Ini membuat 2 jambul bulu yang terpasang di depan topi mereka.
Perempuan yang awal masuk panggung berlagak seperti pria itu, kemudian perlahan mulai menampilkan gerakan-gerakan tarian yang terlihat berbeda saat pertama kali mereka memasuki panggung.
Seiring dengan lantunan musik yang temponya pun semakin meninggi, 12 perempuan cantik itu semakin larut dalam menggerakkan tangan kepala, bahu bahkan pinggul dan pantat mereka. Tak heran, tarian ini memang lebih memperlihatkan eksotisme gerakan pinggul dan kirig (bahu).
Di sesi terakhir, 2 orang penari tampak semakin liar. Inilah yang disebut dengan trance (ndadi). Kedua penari yang memang tengah kerasukan ruh halus ini semakin tak terkontrol. Mulai dari gerakan tari yang semakin menjadi, hingga pada aksi makan sesaji, dan kemenyan.
Masyarakat mengenal tarian ini dengan sebutan Angguk. Terlepas dari nama yang memang disesuaikan dengan gerakan kepala penarinya yang mengangguk-angguk, tarian ini dikenal sebagai tarian khas Kulonprogo.
Tak mudah memang, merunut asal mula darimana pertama kali tarian ini berasal. Namun yang pasti, tarian ini tidak hanya terdapat di Kulonprogo.
Diakui sendiri oleh Sri Wuryanti Surajio, seorang seniman pendiri sanggar tari Angguk Sri Panglaras Kulonprogo, bahwa memang tidak hanya di Kulonprogo saja Tari Angguk terdapat. Ternyata di beberapa daerah lain seperti Purworejo, bahkan Wonosobo.
Bahkan, diakuinya pula, Tari Angguk ditengarai memang berasal dari Desa Bagelen, yang kini secara administratif masuk wilayah Kabupaten Purworejo. ”Tapi kan memang lokasinya berdekatan dengan kami,” ujarnya.
Memang, sanggar miliknya bisa dikatakan sebagai satu-satunya sanggar yang pertama kali kembali mempopulerkan Tari Angguk di Kulonprogo. ”Saat itu sekitar tahun 1991,” ucapnya.
Dikisahkannya, jauh sebelum itu, sekitar tahun 1950an, sebenarnya Tari Angguk pertama kali masuk ke Kulonprogo. Awalnya, tarian ini dimainkan sebagai tarian pergaulan para remaja dan biasa digelar setelah musim panen tiba sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Namun, ketika masuk ke Kulon Progo, tarian ini kemudian dimainkan oleh kaum laki-laki. Tetapi sekitar tahun 1970, terjadi pergeseran sehingga dimainkan oleh kaum perempuan dengan dirintisnya beberapa kelompok kesenian Tari Angguk putri yang dirintis oleh Sri Panglaras dimana saat itu masih bernama Sri Lestari.
Meski hingga kini belum ditemukan keterangan yang jelas alasan perubahan penari tersebut, namun faktor komersialisme dan tuntutan pasar hiburan diperkirakan menjadi tolok ukur perubahannya, karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia hiburan penari perempuan lebih menarik jika dibandingkan dengan pria.
Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahkan oleh Sri sendiri. Menurutnya, selain lebih luwes, ternyata masyarakat dalam hal ini penonton, lebih menyukai seorang penari perempuan daripada laki-laki.
Dengan alasan inilah kemudian, Sri memodifikasi gerakan yang memang semula dilakukan oleh laki-laki. ”Tanpa mengubah peran, hanya memodifikasi gerakan,” tukasnya.
Diakuinya, tak benar jika ada orang mengatakan Tari Angguk sudah ditinggalkan. Buktinya adalah dengan masih eksisnya sanggar Tari Angguk miliknya yang berada di Pripih, Desa Hargomulyo, Kecamatan Kokap.
Jika awalnya, Tari Angguk lebih bersifat sakral, dengan menggunakan tetembangan yang diambil dari Kitab Barzanji yang menceritakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya. Kini, lantaran semakin banyaknya permintaan dari kalangan non religi, maka syair-syair Islami pun kini sudah bergeser ke syair-syair yang bersifat nasionalis. ”Tapi masih menggunakan bahasa Jawa,” ungkapnya.
Sedangkan Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpor) Kulonprogo, Sarjana mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan pembinaan kepada setiap seniman yang ada di Kulonprogo. ”Salah satunya adalah dengan penyelenggaraan Festival Kesenian Rakyat yang dilaksanakan beberapa hari lalu,” ucapnya.
Selain itu, dirinya juga menegaskan bahwa pihak Disbudparpor kini tengah mengupayakan promosi wisata dengan menggunakan Tari Angguk sebagai salah satu ikonnya.
Sedangkan dari pihak Dewan Kebudayaan Kulonprogo (DKPP), Imam Syafei, ketua DKPP mengatakan bahwa pihak pemerintah jangan hanya memanfaatkan Tari Angguk sebagai ikon simbol promosi wisata saja, melain kan juga harus sesegera mungkin menerbitkan kebijakan-kebijakan yang bersifat protektif terhadap seni tradisonal asli Kulonprogo, tak terkecuali Tari Angguk.
Menurutnya, upaya protektif tersebut kini sangat diperlukan untuk melestarikan kesenian tradisional. Upaya protektif tersebut menurutnya bisa dilakukan oleh Dinas Pendidikan dalam hal pembinaan.
Terkait hal ini, Kepala Seksi Pendidikan Kesenian Pelajar Joko Mursito mengatakan, meski Tari Angguk kini digolongkan sebagai kesenian unggulan yang telah mandiri, namun bukan berarti pembinaan tidak diperlukan. ”Untuk ini kami menyerahkan sesuai dengan kebijakan sekolah masing-masing untuk menempatkan pendidikan tari ini pada kurikulum muatan lokalnya,” ucapnya.
No comments:
Post a Comment