Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Sunday, May 29, 2011

KESENIAN PANJIDOR

"KESENIAN PANJIDOR"

Bertahan tanpa harapkan belas kasihan


Atur rombo para sesura

blajarane kulonprogo

samiya ingkang samiya

rawuh mriksa ingkang samiya rawuh


Bening dan berat suara penyanyi yang keluar dari corong mikrofon dengan nada timur tengahan terdengar meriuh seiring bunyi rebana yang ditabuh bersama jidor, dan stambul.

Selang beberapa saat, barulah seorang pria masuk ke dalam pentas diikuti oleh seorang pria lain yang berperut lebih buncit. Setelah puas bergaya bak seorang prajurit, kedua pria itu lantas bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Jawa.

Merekalah Umarmaya dan Umarmadi. Dalam Babad Menak, kedua tokoh ini memang seperti menjadi aktor utamanya. Sesuai dengan cerita sebenarnya, dalam setiap pementasan Panjidor, Umarmadi memang selalu ditampilkan dalam bentuk tokoh lelaki berperut buncit dan bergelagat jenaka. Sejatinya, sama halnya dengan Umarmaya, Umarmadi juga merupakan seorang penguasa, hanya saja jika Umarmaya adalah raja, Umarmadi adalah seorang Kepala Penasehat dari Raja Menak, raja yang hendak dikalahkan oleh Umarmaya. Akhirnya dirinya dikalahkan oleh Umarmaya hingga akhirnya keduanya menjadi kawan baik, dan kemudian Raja Menak pun berhasil ditaklukkan.

Begitu pula dalam pentas tarian yang nota bene merupakan satu-satunya di Indonesia ini, kedua tokoh ini memang menjadi pusat cerita.

Adalah Panjidur, nama tarian yang berasal dari Jambon, Desa Donomulyo, Kecamatan Nanggulan ini memang merupakan tarian yang ceritanya mengadopsi dari babad Menak yang menceritakan tentang peperangan antara orang mukmin dengan kaum kafir. ”Sehingga kebanyakan memang cerita tentang pasukan Paserbumi,” ungkap Ponijo, pembina kelompok Panjidur Langen Kridhatama yang merupakan kelompok kesenian pemilik Panjidur.

Meski tidak sepopuler dan setua Tarian Angguk, ternyata siapa yang menyangka jika Panjidur ini juga terbilang berusia sudah cukup tua. Betapa tidak, tarian ini sudah ada di Kulonprogo sejak 1948. Saat itu, Sastrodiwiryo, seorang tokoh seni asli Kulonprogo mendirikan Kelompok Seni Langen Kridhatama.

Saat itu pula, seniman tersebut mengembangkan gerakan-gerakan tarian yang terilhami oleh kisah peperangan yang terdapat di Babad Menak, atau yang biasa dikenal dengan Perang Babad.

Hingga kini, Kelompok Seni Langen Kridhatama telah diturunkan kepada beberapa generasi. Meski demikian, ternyata tidak ada perubahan kecuali hanya sebatas modifikasi-modifikasi gerakan yang memang disesuaikan dengan karakter para penarinya. ”Kalau syair-syairnya tetap diturunkan dari dulu-dulu. Kalaupun ada yang berubah, itu mengikuti pesanan,” candanya.

Kini, meski tak mendapatkan dukungan finansial dari pemerintah barang sepeserpun, kelompok kesenian itu tetap bertahan dengan keadaan yang seadanya.

Untuk mencukupi kebutuhan 60 orang anggotanya, tentu Ponijo harus memutar otak. Oleh karena itulah, kemudian dia coba mengomersilkan Panjidor. Tentu saja dengan dikomersilkan seperti itu, selain dirinya kemudian bisa menghidupi seluruh anggota kelompoknya, dirinya juga bisa lebih menyebarluaskan Panjidor hingga keluar Kulonprogo, bahkan sesekali, dirinya mendapat tawaran untuk bermain di luar DIY.

Biasanya, jika melayani pesanan seperti itu, kelompoknya sanggup menari semalam suntuk. Baginya, ini lebih mudah. Ibarat sebuah pentas teater, Panjidor yang ditampilkan semalam suntuk merupakan sebuah jalinan cerita yang utuh. ”Kalau kami pentas semalam suntuk, ada penari perempuan yang akan tampil,” ucapnya.

Memang, idealnya, Panjidor ini hanya dibawakan oleh laki-laki. Selain karena memang menceritakan tentang kisah prajurit, gerakan-gerakan Panjidor ini memang sejak awal sudah diciptakan untuk laki-laki. ”Jadi agak sulit jika ditarikan oleh perempuan. Kalaupun ada perempuan hanya sebagai figuran saja,” ucapnya.

Dengan uang hasil tanggapan yang berkisar antara Rp. 4-6 juta setiap kali tampil itulah, kelompok tersebut bisa bertahan. Mulai dari pembelian konsumsi untuk latihan yang digelar setiap sebulan sekali pada malam minggu wage hingga pengadaan kostum diambilkannya dari uang hasil tanggapan itu. ”Itu pun kami dapat tanggapan tidak rutin setiap bulan ada,” ucapnya.

Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpor) Kulonprogo Sarjana mengakui bahwa selama ini memang belum ada perhatian secara khusus terhadap masing-masing kelompok seni. ”Tapi kami berupaya untuk terus memberikan apresiasi dan proteksi terhadap kesenian-kesenian asli Kulonprogo, salah satunya adalah Panjidor ini,” ungkapnya.

No comments:

Post a Comment