nyawa puisi adalah seribu nama air mata,
begitu katamu,
setelah mematikan damar di sudut kamar
lalu, sejarah kembali murung
: mengurung diri dalam ruang mendung
kita pun kemudian sepi,
ketika kau lucutkan segala perlambang di mataku
dan ingatan yang sayup, saat
hujan membuat kelopakmu kuyup
lalu berikan aku
satu ruang kosong dalam sedihmu,
begitu ucapmu, setelah membakar gurat daun di bibirmu yang embun
(sambil membaca jarak
tubuhmu dengan gerimis yang ranum)
Jogjakarta, 2012
Gelap
hanya gumam,
kusadari, betapa cintaku teramat dalam
tersesat dalam matamu yang pualam
sediam ladam
sebab laut di dadamu lenyap, kucari
rahimmu senyap, hanya matahari
dan lantun musik belukar
setua senja
sungguh,
kusadari, betapa rinduku teramat jauh,
ketika kelak,
kunanti kanakmu, bersimpuh
--sebuah hujan yang lumpuh
Jogjakarta, 2012
Memusar
bukit hujan,
ketika kumeninggalkan
desember telanjang
di bawah bunyi kemarau, terakhir
namamu terukir
dalam rimbun suplir
(aku tahu, sebab kau tak merindukanku;
lalu retak tanah
sepenuh kabut, lelah)
membaca rajahmu,
serupa mengeja sajak tentang batu
mengepayangkanku, semua lambang
tentang nafasku yang jelma kupu
mencipta jejak menuju damar di kamarmu
(aku tahu, sebab kau tak pernah merindukanku;
memandangmu dalam diam
pada puncak suar malam)
Jogjakarta, 2012
No comments:
Post a Comment