Label

Seni (14) Features (8) Informasi (8) Budaya (6) Puisi (5) Tokoh (4) Lensa (3) Sastra (3) Buku (2) Umum (2) Cerpen (1) Komunitas (1) Resensi (1)

Monday, January 23, 2012

Ode Untuk Waktu



sebab tak pernah tegas kau bercerita soal langit, tak pernah tegas berkisah soal surga di sela dua awan yang mengambang di kamarmu. tak pernah pula kau tulis surat untuk daun-daun gugur itu. lalu dimana ukiran wajahmu kau sembunyikan: di bangkai malam, di sebalik cermin buram, atau sebuah telegram yang tak pernah terkirimkan.

kau di mana, aku bertanya pada sisa swaramu yang mendengung di secangkir kopi pahit yang tak mampu kuhabiskan pagi ini. sebab semua begitu getir, saat tarianmu mulai mengalir, tanah basah depan rumah hanya bisa meraung melihat keningmu diukir mendung.

bukan pantai, hanya segaris senja di teras rumahmu yang tampak menyala. hanya secarik kertas berisi sebuah prosa tentang kematian. tentang tubuhmu yang mendadak dingin ketika kau lihat matahari di ujung jariku mulai pecah. seperti tak mampu kau temukan aku, kau bayangkan bergemetarannya bibirmu: mengucap namaku.

betapapun, aku ingin tahu di mana kau kini. sebongkah alamat yang teronggok di pucuk kartu pos bergambar nabi seperti benar-benar telah menyesatkanmu. jangan kau buang kartu pos itu, sebab aku masih mencarimu: sebuah alif yang begitu naif.

mungkin aku yang keliru menerjemahkan setiap kertap dan ceracap, yang selama ini selalu kau dengungkan ke dalam asbak yang penuh dengan bangkai bebatang kretek yang tak habis terhisap. maka, kuminta selalu salahkan aku, hanya demi segaris sungai di bibirmu yang selalu ingin kulihat meluap.

coba lihat, anak kita sudah belajar menulis lagi. langit tanah dan laut adalah kertas baginya. takkah sesekali kau ingin kembali membunuhku. seperti yang kau lakukan dulu ketika tiba-tiba katamu kau melihat sebuah topeng menggantung di mata kiriku. sebab hanya dengan membunuhku, kulihat sungai itu semakin membuncah. itulah mimpi kita.

dan kita sering berdebat soal itu. tentang nama yang tak boleh disebut ketika sayup-sayup nafasmu mulai hambar dan redup. lalu kenapa bisa kau kehabisan suara. bukankah bagi kita suara adalah selembar waktu yang terasa begitu baka. bukankah waktu adalah pintu. pintu menuju hujan yang terus lelap dan tak pernah terselesaikan.

sayangku yang jauh, entah berapa kali harus kukelilingi ranjangku. setidaknya kota ini, hanya agar kembali kauberiku sobekan-sobekan kertas, pecahan botol tuak, dan potongan-potongan bintang. hanya agar aku bisa mabuk. mabuk oleh senyummu, oleh alamat rumahmu, oleh sungai senja di teras rumahmu.

aku tahu, toh kau tak pernah tertidur. selalu kau tanyakan dimana jasadku tersungkur. selalu kau cari tahu di mana bangkai sajakku kusimpan. itulah, selalu saja kau anggap aku ini adalah penyair, meski kau tahu, betapa aku tidak suka itu. aku bukan penyair, kataku. aku hanya sebuah gerbong kereta yang tak pernah lupa menyapa kursi-kursi dingin di sebuah stasiun tua.

dan kau tahu, mustahil kita menghentikan hujan. kerna kita bukan angin, bukan peletik nyala damar, bukan pula cemericit burung-burung manyar. kita hanya sebuah perahu, dari kertas yang bersiap dihanyutkan arus demetik waktu. sebab memang segala mula adalah waktu, dan kau tahu benar soal itu. lalu seperti tak peduli, darahku kemudian kau teteskan sebagai wujud persembahan rindumu pada selembar kabut yang lindap di puncak gunung dan aroma keringatmu yang menggantung.

begitu lelah. kita memang begitu lelah. itu pesan yang kau tulis kepadaku lengkap dengan gambar kepala berbuket berikut sepasang tanduk dari karet dan selembar ekor burung merak yang di ujungnya tertancap sepasang telur retak. hingga kini aku masih tak mampu menangkap makna pesan itu. entah karena begitu lamban, atau memang benar, kita telah begitu lelah.

kau tunjukkan aku jalan pulang ke rumah kita. rumah yang dulu pernah kita susun dari selembar kabut dan gerimis yang kau kata tak pernah terdengar ritmis. memang saat itu, kita berdua hanya bisa menunggu, perihal apa yang bakal diturunkan oleh mendung yang menggaung murung.

tak pernah kau ajarkan aku tentang keajaiban. sebuah keajaiban yang mengubah malam menjadi sebuah bukit dengan puncak yang merobek langit. aku pun lupa, bahwa kita memang tidak terlahir dari sana, dari bukit itu. kita terlahir dari sungai-sungai keruh yang semalam tak usai bercinta dengan gedung-gedung tua.

bagi kita, hidup tak ubahnya selembar kertas koran yang memang tak mampu lagi garam-garam laut mewarnai dan melukisinya. hidup kita telah usai, katamu. saat takdir menjelma sebuah menara suar yang menuntun perahu yang gusar menjemput ajal, kita berpelukan. di bawah senja yang pecah, tubuhmu melepuh oleh api yang menjilat dari kedua mataku.

begitu bangganya dirimu atas kematian begitu biasa ini. sama bangganya ketika dulu kita lahir bersama, telanjang bersama saat ombak terbelah dua oleh buritan sampan. Sadarlah lelakiku, katamu. kita hanyalah makhluk sederhana hasil percintaan kota yang pengap oleh asap dengan gedung-gedung tua tanpa atap. itulah, maka kematian buatmu adalah hal yang biasa, sebab tak lagi ada yang istimewa dari arti sebuah persetubuhan.

memang itulah makna kematian buatmu. senja yang tak pernah kau jemput, mendadak menjadi sebilah pisau setajam batang-batang rumput. kau tahu, nyaris saja senja itu membakar atap kamar kita. tapi nyatanya, akhir-akhir ini senja memang selalu datang lebih awal. saat engkau mengira, senyum dan air susumu bakal banal.

sungguh, cintaku, tak pernah sanggup kulepas kau berlayar sendiri. betapa kau tak tahu makna angin yang menerbangkan dingin, atau hujan yang melarutkan ingatan. tapi tetap saja, kau pergi, sebab tanpa pergi, takkan pernah ada kembali, katamu. Seperti tanpa hilang, tak pernah ada kata datang.

cukup masuk akal, ketika langkahmu terdengar menjauh. betapapun, aku telah melempar sauh, jauh ke arah gugusan karang di sana yang tampak rapuh. mimpi kita terlihat berlesatan saat angin sore yang remuk berhembus dari sebuah menara tua yang nyaris ambruk.

jangan lupa matikan peletik damar, saat kelak tak lagi kau punya kamar. saat kelak tak lagi kau punya sayap yang selalu kau banggakan pada setiap sore yang senyap. ya, sore yang seperti tak pernah habis kau sesap. itulah kebanggaan kita atas kota ini. kau begitu takjub akan sore, bukan senja. Bagimu sore tak ubahnya adalah pintu menuju sebuah dunia baru yang begitu gelap dan tabu, namun justru itu yang membuatmu terlelap.

takkah kau sadar, kematian kita adalah nyanyian burungburung nazar saat melihat bangkai di tanah gersang yang memar. bagi kota ini, cinta kita adalah duri dan embun yang menyisipi urat daun. sebab setiap puing dan sisa batu bata, bagi kota ini adalah telinga, adalah mata, adalah jemari yang siap bersaksi saat kita bercinta nanti.

dan pagi, mungkin hanya mimpi yang tersisa. sisa gincu bercampur luka di tepian gelas berisikan cahaya senja. kutemukan biji matamu di sana. kutemukan sepotong bibir atasmu juga di sana. ku ajak bicara. tentang malam, asap, gerimis, dan sisa darah dari kemaluanmu yang mengamis.

ya, mungkin hanya kemaluanmu yang mampu kulupakan, saat kulihat waktu yang mencumbu karang bebatu di garis pantai yang landai. tak ada yang mampu kuingat dari sana, selain sebuah oase dengan sungai airmata jernih yang menderas di tengah hutan pinus dan sebuah altar kudus.

Sangat mungkin, serupa Ruci, kau membiarkan aku mengangkuh di lorong gelap telingamu. maka jadilah kau manusia, ucapmu dengan terus melihat gerak bibirku yang kau anggap sia-sia. hingga mataku membanjir oleh ritmis desahanmu yang dihujam mendung. sebuah fragmen bunuh diri yang begitu melankolis.

lalu dengan sangat ragu, aku langkahkan kaki yang lunglai akibat tikaman sejarah yang tak pernah usai. mengarah pada liang keperempuananmu yang riuh oleh sirine ambulans. Sedang jarum jam memutar terbalik, ketika nafasmu terdengar rintik.

2011-2012

No comments:

Post a Comment