Menurutnya, melukis drawing tidak lebih rumit jika dibandingkan dengan melukis memakai oil atau acrylic. Baginya dalam melukis drawing, seorang seniman juga harus bergelut dengan unsur-unsur drawing, seperti shadow, gradasi, balance, dan volume. Ternyata, ornamen-ornamen itulah yang membuat sebuah lukisan drawing tampak hidup.
Nyatanya, memang itulah yang menjadi kelebihan pada karya-karya perupa lulusan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya tersebut. Dengan cermatnya perhitungan shadow, gradasi, balance, dan volume membuat karya-karyanya tampak hidup dan memiliki karakter yang kuat.
Dengan total 20 karya lukisan drawing yang memang hampir seluruhnya berukuran besar, Mufi Mubaroh menggelar pameran lukisan di Orasis Gallery. Pameran yang diselenggarakan mulai 15-24 Juli 2009 tersebut menampilkan karya-karya lukisan drawing Mufi Mubaroh yang dibuat antara periode 2007-2009.
Meski diakuinya, pada awal karirnya sebagai perupa, dia memang menggunakan oil sebagai media untuk melukis. Akan tetapi, setelah tahun 2003, khususnya saat menjelang tugas akhir kuliahnya, dia mencoba mencari media alternatif, yang murah tapi menghasilkan karya yang tidak kalah dengan oil atau acrylic, dan akhirnya pilihannya jatuh pada drawing. ”Maklum, mas, waktu itu harga oil atau acrylic, benar-benar sedang melangit,” tukasnya.
Setelah melihat hasil karya lukisan drawingnya yang pertama di tahun 2003 tersebut, kemudian muncul kepercayaan dirinya untuk melanjutkan melukis drawing. ”Jadilah akhirnya sampai sekarang,” katanya.
Perkembangan drawing sendiri sebenarnya tidak sepesat lukisan painting. Buktinya, di awal 2007, ketika painting kontemporer tengah mendominasi segala wacana dalam seni rupa, kehadiran Mufi dengan lukisan drawingnya di sebuah pameran yang bertempat di Jogjakarta, sempat menjadi pusat perhatian dari beberapa kalangan, baik seniman, maupun pengamat. Oleh karena itulah pada akhirnya dalam ajang tersebut, dirinya malah mendapatkan penghargaan sebagai lukisan terbaik dalam ajang Muara Seni Jogjakarta, 2004..
Itulah, yang menjadi dasar baginya untuk kemudian beranggapan bahwa drawing ini bisa dikatakannya merupakan semacam gerakan pemberontakan terhadap dominasi painting. Baginya, untuk mencapai detail dari sebuah objek, dengan menggunakan pensil dan charcoal (sejenis arang) pun juga bisa.
Sedangkan, mengenai tema karya, perupa yang juga pernah menjadi finalis dari Jakarta Art Award, 2008 tetrsebut lebih banyak berbicara tentang kekecewaan, khususnya terhadap segala bentuk realitas hidup yang dialaminya. Kekecewaan yang sifatnya lebih personal memang terlihat jelas dalam karya-karyanya.
Meski demikian, kekecewaan itu oleh Mufi diolah sedemikian rupa hingga akhirnya menjadi sebuah rasa optimisme.”Jadi, kekecewaan yang saya alami adalah kekecewaan dari seorang korban yang selalu ingin bangkit kembali,” ujarnya.
Oleh karena itulah, meski sarat akan nuansa kekecewaan, namun, diakui oleh Mufi, karya-karyanya lebih banyak menawarkan solusi dan harapan. Dia mencontohkan pada beberapa karyanya, Mufi banyak memakai simbol optimisme, yakni gambar ‘plus’. ”Gambar tersebut menurut saya lebih bermakna pada rasa optimisme dan harapan di tengah kekecewaan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Mufi juga menganggap karya-karyanya adalah seperti kamus, buku, yang memuat berbagai kenangan dan cara berinstrospeksi, merenung, dan kritik diri terhadap berbagai kehidupan dan tentu saja, sejumlah kekecewaan.
Kini, perupa yang tengah berupaya untuk menciptakan sebuah kreatifitas baru, yakni menggabungkan antara teknik drawing yang menggunakan pensil, dengan teknik painting yang menggunakan oil.
Surabaya Post, Minggu, 19 Juli 2009
No comments:
Post a Comment