Dalam dua barisan, sekitar 30 orang rombongan berjalan beriringan menembus panas pagi di sekitar Bulak Graulan dan Bulak Dubangsan Desa Giripeni Kecamatan Wates.
Rombongan yang masing-masing membopong uba rampe yang terdiri dari bermacam-macam hasil bumi mulai dari sayuran, buah-buahan, padi, hingga sebuah ingkung (ayam utuh) yang ditempatkan dalam sebuah nampan bambu.
Tentu saja, barisan itu dipimpin oleh dua orang sesepuh desa yang membawa sebuah sesaji berupa seikat padi dan tumpeng hasil bumi.
Dalam iringan gamelan, rombongan tersebut berjalan dari rumah salah satu warga menuju kedua bulak yang letaknya saling berhadapan tersebut.
Di sekitar bulak sendiri, dengan beratapkan tenda, sudah menunggu beberapa warga lainnya dan juga beberapa perwakilan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dipertahut) Kulonprogo, Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan (KP4K) serta aparatur desa setempat.
Setelah melewati warga yang berkumpul di bawah tenda tersebut, rombongan kemudian langsung menuju ke bulak yang kemudian diikuti dengan ritual penancapan sesaji berupa ikatan padi oleh sesepuh desa.
Bagi Sunaryono, sesepuh desa yang bertugas menancapkan ikatan padi itu ke lahan persawahan, mengatakan bahwa tradisi yang mereka sebut sebagai Wiwitan tersebut merupakan sebuah upaya untuk menjaga kelestarian tradisi adat Jawa.
Tradisi mereka memang mengajarkan bahwa wiwitan hanya dilakukan pada akhir musim tanam I. tradisi itu bagi mereka adalah salah satu bentuk doa dan pengharapan mereka atas Yang Maha Kuasa agar panen yang hendak mereka lakukan di Musim Tanam I bisa mencapai hasil yang maksimal. ”Kami percaya, kalau musim tanam I hasilnya bagus, biasanya di musin tanam II dan III hasilnya pun akan ikut bagus,” ujarnya yang saat ritual tersebut mengenakan busana adat jawa lengkap berupa jarik, beskap, dan blangkon.
Sedangkan untuk hasil panenan musim tanam I tahun lalu, Dikin, 62, yang merupakan Ketua Kelompok Martani menjelaskan bahwa hasil panen yang dicapai kelompoknya mencapai 9,63 ton per hektar. ”Sedangkan luas lahan pesawahan kami [Bulak Graulan] adalah 25 hektar dari total semuanya 43,04 hektar,” ucapnya.
Sedangkan pada masa tanam II, diakuinya, petani di kelompoknya mengalami penurunan produksi, lantaran disebabkan adanya musim kemarau yang menyebabkan kondisi tanah menjadi tidak subur.Akibatnya tanaman mereka yang waktu itu masih berumur 30 hari terserang penyakit hama ulat sundep seluas hampir lebih dari 2000 meter persegi. ”Akibatnya, saat itu produksi kami hanya mencapai 7,8 hektar per ton,” keluhnya.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut) Kulonprogo, M.Aris Nugroho justru memberikan apresiasi guna mendukung dengan kegiatan wiwitan yang dilakukan para kelompok tani. Hal itu merupakan wujud rasa syukur atas hasil pertanian yang diperoleh pasca bencana erupsi merapi yang melanda para petani. ”Semoga hasil pertanian petani pada musim tanam (MT) I ini mengalami peningkatan dengan hasil yang maksimal,” ujarnya.
Dalam wiwitan itu pula juga dilakukan sosialiasi tentang Temu Teknologi oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut) Kabupaten Kulonprogo, Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Perikanan Kehutanan (KP4K) Kulon Progo dan perangkat desa. Sosisalisasi tersebut bertujuan untuk memberikan pembinaan dan evaluasi terhadap kegiatan pertanian yang telah dilakukan masyarakat. ”Untuk tahun 2012 ini, target hasil produktifitas padi di Kulonprogo mencapai 127.901 ton gabah kering giling (GKG). Kami berharap mampu memberikan kontribusi kepada Pemerintah Provinsi DIJ,” ujarnya.